Depok (ANTARA) - Universitas Indonesia (UI) membangun kesadaran iklim kolektif guna mengurangi emisi karbon yang menjadi nasional maupun internasional, apalagi Indonesia menempati peringkat ke-42 pada Climate Change Performance Index (CCPI), yang menunjukkan performa perlindungan iklim yang rendah.
Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan FISIP UI Nurul Isnaeni, di Kampus UI Depok, Kamis, menjelaskan keberlanjutan bukan hanya soal tren, tetapi juga hasil kesepakatan global sejak tahun 1992 di Rio de Janeiro.
Dunia berkomitmen menyeimbangkan tiga kepentingan penting yakni ekonomi, sosial, dan ekologis.
“Bagi kita di kampus, sebagai mahasiswa adalah agen perubahan. Peran generasi muda dalam memastikan keberlanjutan sangat krusial. Jika tidak ada kesadaran kolektif, konsep sustainability hanya akan jadi kata-kata manis tanpa tindakan nyata," ujarnya.
Baca juga: Pajak karbon pada bangunan yang boros energi masih dikaji
"Harapannya dari forum ini, para mahasiswa semakin paham isu lingkungan dan energi, dan terlibat aktif, karena semangat keberlanjutan harus terus diwariskan dan dijaga,” kata Nurul.
Sementara itu Ari Mochamad dari Climate and Energy Lead at World Wide Fund for Nature Indonesia mengatakan manusia saat ini sedang hidup di masa ketika perubahan lingkungan fisik berlangsung jauh lebih cepat dari kemampuan manusia untuk beradaptasi.
Eskalasi emisi gas rumah kaca, lanjutnya, membuat magnitudo bencana semakin besar, frekuensinya makin sering, dan intensitasnya makin tinggi.
“Itulah sebabnya dunia menetapkan target menahan kenaikan suhu global di bawah dua derajat Celcius, idealnya 1,5 derajat Celcius. Karena bagi negara-negara kepulauan kecil, dua derajat Celcius berarti tenggelam, betapa pun baik mereka mengelola lingkungannya. Saat ini suhu global sudah naik sekitar 1,1 derajat Celcius. Artinya, kita berpacu dengan waktu,” jelas Ari.
Baca juga: Planetary Carbon Certification Program langkah UI kurangi emisi karbon
Dia pun menyarankan dua pendekatan, yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah upaya menekan sumber emisi seperti ketergantungan pada energi fosil. Sedangkan adaptasi adalah upaya menyesuaikan diri dengan perubahan yang sudah terjadi.
“Maka isu ini menjadi tanggung jawab bersama untuk menjadikan aksi nyata, bukan hanya retorika, jika kita tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan ekosistem dan masyarakat rentan serta menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang,” jelas Ari.
Perubahan iklim adalah isu kompleks yang tidak bisa diselesaikan dari satu sisi saja. Dampaknya luas, yakni sosial, ekonomi, lingkungan, bahkan budaya.
Alfath Alima Hakim dari Energy Advisor at Energy Management Investment B.V. mengatakan masyarakat harus menjadi bagian utama solusi, bukan sekadar objek kebijakan. Sebab masyarakat lah yang sehari-hari juga menghasilkan jejak karbon dari aktivitasnya.
Menurut Alfath, dampak iklim bukan sekadar soal cuaca namun perubahan iklim juga mengancam budaya lokal.
Baca juga: Mapala UI serukan gerakan pariwisata dan pendakian ramah lingkungan
“Di Sumba, atap rumah adat biasanya menggunakan alang-alang. Namun sekarang sudah beralih ke seng, bukan karena lebih praktis, tetapi karena alang-alang sulit didapat. Jadi, perubahan iklim mengubah ekosistem dan warisan budaya pun ikut terancam. Ini refleksi penting, krisis iklim bukan hanya tentang suhu bumi naik, tapi juga tentang identitas dan keberlanjutan hidup kita,” tutur Alfath.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kisah dari Sumba mengajarkan bahwa transisi energi harus berbasis masyarakat serta mengedukasi dan memberdayakan sumber daya masyarakat (SDM) setempat.
Ketahanan energi sebaiknya mampu membangun ketahanan sosial, serta yang terpenting bahwa perubahan iklim adalah tren yang nyata dan bahkan terasa sampai ke akar budaya.
Dosen UI Muhammad Fatahillah, menjelaskan bahwa isu lingkungan tidak hanya melibatkan negara, tetapi ada masyarakat sipil, sektor swasta, lembaga internasional, dan komunitas adat, di mana semuanya membawa kepentingan.
Contohnya, lanjutnya, negara-negara utara meminta negara-negara selatan menjaga hutannya. Dalam pendekatan post-kolonial.
