Jakarta (ANTARA) - Ketika berbicara mengenai kemampuan fiskal Indonesia, istilah tax ratio hampir selalu muncul ke permukaan. Angka ini lazim digunakan sebagai tolok ukur seberapa besar negara mampu mengumpulkan penerimaan pajak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB).
Semakin tinggi tax ratio, semakin besar pula ruang gerak pemerintah dalam membiayai pembangunan tanpa harus terlalu bergantung pada utang.
Sayangnya, tax ratio Indonesia kerap dipandang rendah dibandingkan negara lain. Data resmi Kementerian Keuangan mencatat bahwa pada tahun 2023 tax ratio Indonesia berada di angka 10,31% PDB dan kemudian menurun menjadi 10,08% pada tahun 2024.
Angka ini memang masih jauh di bawah rata-rata negara OECD yang mencapai kisaran 30 persen lebih. Namun, perlu dipahami bahwa perbedaan tersebut tidak sepenuhnya disebabkan oleh kinerja perpajakan, melainkan juga oleh perbedaan metodologi perhitungan.
Indonesia selama ini menghitung tax ratio dengan definisi sempit: hanya penerimaan pajak pusat dan bea cukai.
Sementara itu, OECD memasukkan iuran jaminan sosial atau social security contributions (SSC) sebagai salah satu komponen penerimaan pajak.
Perbedaan ini terjadi karena dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), iuran BPJS tidak dicatat sebagai penerimaan negara, melainkan sebagai dana masyarakat yang dikelola untuk tujuan jaminan sosial.
Akibatnya, secara statistik ia tidak masuk klasifikasi pajak dalam laporan APBN meskipun secara fungsional memiliki kemiripan dengan pajak di banyak negara lain.
Jika standar OECD ini dipakai, maka tax ratio Indonesia pada tahun 2023 sebenarnya bukan 10,31 persen, melainkan 12,0 persen PDB. Perbedaan ini tampak sederhana, tetapi memiliki makna besar: iuran BPJS, termasuk BPJS Ketenagakerjaan, sejatinya adalah bagian dari kekuatan fiskal negara yang memperbaiki gambaran Indonesia dalam perbandingan global.
Keberadaan BPJS Ketenagakerjaan menjadi penting bukan hanya sebagai pelindung pekerja, melainkan juga sebagai instrumen bela negara ekonomi.
Dalam era modern, bela negara tidak lagi semata-mata soal angkat senjata, melainkan bagaimana negara mampu menjaga kedaulatan ekonomi, mengurangi ketergantungan pada asing, dan memastikan stabilitas fiskal.
BPJS Ketenagakerjaan hari ini mengelola dana yang luar biasa besar, lebih dari Rp800 triliun pada pertengahan 2025.
Mayoritas dana itu ditempatkan pada Surat Berharga Negara (SBN), sekitar 74 hingga 76 persen dari portofolio.
Artinya, iuran pekerja dan pemberi kerja kembali ke kas negara untuk membiayai pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur. Dengan posisinya sebagai salah satu pembeli SBN terbesar, BPJS menjadi jangkar stabilitas pasar obligasi.
Bila obligasi pemerintah terserap oleh investor domestik seperti BPJS, maka ketergantungan pada investor asing berkurang dan APBN terlindungi dari guncangan global.
Dengan begitu, iuran pekerja yang terkumpul setiap bulan sebenarnya ikut menjaga kedaulatan fiskal Indonesia.
Tidak berhenti di situ, BPJS Ketenagakerjaan juga berencana memperluas investasinya ke pasar modal domestik dengan meningkatkan porsi ekuitas hingga 20 persen dalam beberapa tahun ke depan.
Langkah ini akan membantu dunia usaha memperoleh pembiayaan lebih murah dan stabil, memperdalam pasar keuangan nasional, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru.
Fungsi BPJS dengan demikian meluas dari sekadar lembaga jaminan sosial menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi.
Di sinilah terlihat bahwa iuran yang selama ini dianggap beban wajib sesungguhnya kembali ke masyarakat dalam bentuk stabilitas fiskal dan penguatan dunia usaha.
Namun peran BPJS tidak hanya ada di ruang makro fiskal dan pasar modal. Pada tingkat rumah tangga, keberadaan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) memberi bukti nyata bagaimana lembaga ini menjadi penopang daya tahan sosial-ekonomi.
Program ini, yang diatur dalam PP 37 Tahun 2021 dan diperbarui melalui PP 6 Tahun 2025, memberikan perlindungan kepada pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Mekanismenya memberikan uang tunai maksimal enam bulan, dengan formula 45 persen dari gaji untuk tiga bulan pertama dan 25 persen untuk tiga bulan berikutnya, ditambah akses informasi pasar kerja dan pelatihan keterampilan. Dalam bahasa ekonomi, JKP berfungsi sebagai automatic stabilizer.
Ketika gelombang PHK terjadi, seperti akibat krisis global atau disrupsi industri, JKP menjaga agar daya beli rumah tangga tidak jatuh secara drastis.
Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari setengah PDB Indonesia, dengan demikian terlindungi.
Banyak penelitian dari ILO maupun Bank Dunia menunjukkan bahwa skema asuransi pengangguran semacam ini membantu rumah tangga keluar dari jebakan kemiskinan sementara, sekaligus memberi waktu yang layak untuk menemukan pekerjaan baru.
Dalam konteks inilah, BPJS tidak hanya menyelamatkan pekerja, tetapi juga menjaga stabilitas konsumsi nasional yang menjadi mesin utama perekonomian.
Kekuatan BPJS Ketenagakerjaan juga tampak dari jumlah peserta yang sangat besar. Pada November 2024, tercatat 63,58 juta peserta dengan tingkat keaktifan sekitar 68 persen.
Namun, pada April 2025 angka peserta aktif menurun menjadi 39,7 juta akibat lonjakan PHK. Data ini menunjukkan betapa erat hubungan antara dinamika pasar kerja dengan kepesertaan BPJS.
Semakin luas kepesertaan, semakin besar pula basis data formal tenaga kerja yang bisa dimanfaatkan pemerintah. Di sinilah peluang integrasi dengan sistem perpajakan menjadi relevan.
Perusahaan yang membayar iuran BPJS seharusnya juga tercatat dalam sistem pajak, dan pekerja formal yang terlindungi BPJS seharusnya tidak bisa begitu saja “hilang” dari radar otoritas pajak.
Dengan sinergi data BPJS dan Direktorat Jenderal Pajak, celah kepatuhan bisa semakin tertutup.
Hasilnya, penerimaan pajak meningkat tanpa harus menaikkan tarif, hanya dengan memperbaiki kepatuhan. Inilah salah satu cara realistis untuk memperkuat tax ratio secara berkelanjutan.
Semua hal tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa memperkuat BPJS Ketenagakerjaan sejatinya adalah bagian dari bela negara ekonomi.
Dana iuran yang dikelola bukan hanya melindungi pekerja, tetapi juga menopang APBN. Program JKP bukan hanya sekadar santunan, tetapi juga benteng daya beli nasional.
Data kepesertaan bukan sekadar catatan administrasi, melainkan modal fiskal yang bisa memperluas basis pajak. Bela negara ekonomi berarti memastikan ketahanan fiskal tetap terjaga, stabilitas sosial tetap terpelihara, dan kedaulatan pasar keuangan tidak mudah diguncang.
Di semua lini itu, BPJS Ketenagakerjaan memainkan peran strategis.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, dari krisis global hingga disrupsi teknologi, kedaulatan ekonomi hanya bisa ditegakkan bila fondasi fiskal dan perlindungan sosial sama-sama kokoh. Karena itu, setiap iuran yang dibayarkan pekerja dan pemberi kerja bukanlah sekadar potongan gaji atau kewajiban administratif.
Ia adalah kontribusi nyata bagi republik: membantu membiayai sekolah dan rumah sakit, menopang stabilitas APBN, melindungi jutaan keluarga ketika krisis melanda, sekaligus memastikan Indonesia lebih kuat di hadapan gejolak global.
BPJS Ketenagakerjaan, dalam kacamata ini, adalah instrumen bela negara ekonomi yang paling nyata—bukan dengan senjata, melainkan dengan dana, data, dan daya tahan sosial yang menopang masa depan bangsa.
*Penulis adalah Direktur Bina Mediator Hubungan Industrial, Direktorat Jenderal PHI dan Jamsos/Pemerhati Ekonomi Nasional
