Banjarnegara (ANTARA) - "Ana kidung rumekso ing wengi, teguh hayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh… (ada sebuah lagu untuk melindungimu di malam hari, tetaplah kuat, lupakan rasa sakit, lupakan semua kesedihan…)"
Alunan tembang Dhandhanggula itu terdengar lirih di pelataran Kompleks Candi Arjuna, Dataran Tinggi Dieng, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Suasana pun menjadi hening dan terasa sakral ketika pemangku adat Dieng memulai upacara penjamasan. Namun penjamasan itu bukan dilakukan terhadap benda pusaka, melainkan menjamas anak-anak berambut gimbal yang akan menjalani ruwatan.
Ritual yang dikenal dengan sebutan ruwatan anak berambut gimbal itu diperkirakan telah menjadi tradisi masyarakat Dieng sejak ratusan tahun silam dan kini dikemas menjadi bagian dari agenda wisata tahunan berupa Dieng Culture Festival (DCF) yang diselenggarakan oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa, Desa Dieng Kulon.
Di sekitaran Dataran Tinggi Dieng, baik yang masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, maupun Batang, hingga saat ini masih banyak terdapat anak berambut gimbal. Bahkan, anak-anak berambut gimbal itu juga bisa dijumpai di sejumlah daerah seperti Jakarta dan Yogyakarta karena orang tuanya memiliki garis keturunan dengan masyarakat Dieng.
Berdasarkan legenda yang diyakini masyarakat setempat, anak berambut gimbal yang kerap disebut anak bajang itu merupakan titisan Kiai Kolodete --seorang tokoh sakti yang memiliki kemampuan spiritual tinggi dan dipercaya memiliki kekuatan luar biasa untuk menjaga dan memakmurkan daerah Dieng.
Kiai Kolodete yang merupakan tokoh pembuka kawasan Dieng itu merupakan sosok berambut gimbal dan panjang. Ia pernah bersumpah tidak akan mencukur rambutnya jika Dataran Tinggi Dieng belum makmur dan akan menitiskan rohnya kepada anak yang baru lahir atau baru saja bisa berjalan apabila keinginan tersebut tidak terkabul.
Oleh karenanya, anak-anak bajang yang diyakini sebagai titisan Kiai Kolodete itu memiliki rambut gimbal yang tumbuh secara alami sejak masih balita. Ketika rambut gimbalnya akan tumbuh, anak-anak itu terlebih dahulu sakit demam dan sebagainya.
Anak-anak tersebut diyakini tidak akan berambut gimbal lagi setelah menjalani ruwatan untuk memotong rambut gimbalnya. Dalam hal ini, pemotongan rambut gimbal harus dilakukan melalui ruwatan karena jika tanpa diruwat, sang anak akan sakit dan rambut gimbalnya akan kembali tumbuh.
Kendati demikian, ruwatan rambut gimbal dapat dilakukan kapan saja sesuai kemampuan orang tua karena biayanya tidak sedikit dan hal itu atas permintaan sang anak. Jika anaknya belum berkehendak, orang tua tidak bisa memaksanya meskipun telah memiliki dana untuk menggelar ruwatan termasuk menuruti apa pun permintaan anak yang akan diruwat.
Atas dasar itulah, Pokdarwis Dieng Pandawa menyelenggarakan ruwatan massal anak-anak berambut gimbal yang dikemas melalui agenda wisata budaya DCF yang telah memasuki tahun ke-15 dan sempat tidak diselenggarakan pada tahun 2023 karena adanya pembenahan di Kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng.
Dalam setiap pelaksanaan ruwatan, permintaan dari seluruh anak anak berambut gimbal yang akan diruwat itu disediakan oleh Pokdarwis Dieng Pandawa selaku panitia guna meringankan beban orang tua masing-masing. Oleh karena itu, Panitia DCF XV Tahun 2025 berupaya memenuhi seluruh permintaan anak berambut gimbal yang menjalani ruwatan pada Minggu (24/8) meskipun sering kali menemui kesulitan untuk mendapatkannya.
Ketua Pokdarwis Dieng Pandawa Alif Faozi mengatakan ruwatan massal pada DCF 2025 diikuti delapan anak berambut gimbal dengan permintaan beragam, mulai dari jajanan pasar, buku tulis, ponsel, hingga buah rambutan.
Jejak rambut gimbal
Berdasarkan data, delapan anak berambut gimbal yang menjalani ruwatan tersebut adalah Adinda Wijayanti Putri yang berasal dari Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat, dengan permintaan dicukur sama Wak Iyeng (dicukur oleh pemangku adat Dieng, yakni Mbah Sumarsono dan Mbah Sumanto).
Aisyah Rahmadani asal Sigaluh, Banjarnegara, dengan permintaan baju kembar dan sepeda lipat warna biru.
Adinda Nesya Salsabila asal Sojokerto, Wonosobo, dengan permintaan menanggap lengger dan dibelikan ponsel.
Faedza Ahmad Al Afghani asal Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan permintaan mobil-mobilan yang menggunakan pengendali jarak jauh.
Aisyah Alifah Syaefudin asal Blado, Kabupaten Batang, dengan permintaan dua buah gelang emas dan buku belajar lengkap.
Yulviana asal Garung, Wonosobo, dengan permintaan ponsel baru, buah rambutan, dan buah jambu air.
Shajfa Syaqila Sakennarava asal Kalikajar, Wonosobo, dengan permintaan sepatu roda, ingkung ayam, dan ingkung bebek.
M Ghibran Althaf Dhaifullah asal Mojotengah, Wonosobo, dengan permintaan sebuah perangkat tablet.
Alif mengakui panitia kesulitan untuk memenuhi permintaan buah rambutan, bahkan telah mencarinya hingga ke Yogyakarta tapi tidak mendapatkannya karena belum musim. Kendati demikian, pihaknya mencoba memenuhi permintaan tersebut dengan menyediakan buah rambutan dalam kemasan dengan harapan anak itu berkenan untuk menerimanya.
Kesulitan itu bukan hanya soal barang, juga menjaga keyakinan karena pernah ada seorang anak berambut gimbal yang meminta ular sekandang. Oleh karena permintaannya tidak terpenuhi, anak tersebut batal menjalani ruwatan dan kemudian menjadi terbelakang, sehingga kisah tersebut menjadi pengingat betapa kuatnya ikatan spiritual antara anak gimbal dengan permintaan mereka.
Meski penuh tantangan, panitia berusaha keras memenuhi semua permintaan sebagai bentuk penghormatan.
“Kami mencoba membantu karena event ini bagian dari kegiatan sosial. Anak-anak gimbal dari keluarga membutuhkan juga kita bantu," kata Alif.
Ditemui di sela persiapan ruwatan, Yulviana (12) mengaku meminta ponsel baru, buah rambutan, dan buah jambu air sebagai syarat pencukuran rambut gimbalnya. Menurut dia, dua jenis buah tersebut merupakan kesukaannya, sehingga tidak masalah jika buah rambutan yang diberikan bukan buah segar karena saat sekarang memang belum musim rambutan.
Sementara ibunda Yulviana, Soimah mengatakan anaknya berambut gimbal sejak usia 5 tahun yang muncul ketika sering sakit. Tidak seperti anak bajang lainnya yang kerap memiliki garis keturunan serupa, menurut dia, Yulviana tidak memiliki leluhur berambut gimbal.
Anak bajang lainnya, Faedza Ahmad Al Afghani (7,5) mulai tumbuh rambut gimbal sejak berusia enam bulan. Ayahanda Faedza, Yoga Dwi Nugroho meyakini rambut gimbal itu warisan turun-temurun dari garis keluarga ibunda Faedza, Niken Larasati, yang berasal dari Dataran Tinggi Dieng.
"Sejak kecil memang rambutnya sudah tumbuh gimbal, dan beberapa waktu lalu anaknya sendiri yang meminta dipotong," katanya.
Ia mengatakan keluarga sempat berkonsultasi dengan tokoh masyarakat Dieng untuk memastikan kesiapan prosesi pencukuran rambut gimbal, hingga akhirnya memutuskan mengikuti ruwatan tersebut agar sesuai tradisi.
Kembali ke budaya
Pergelaran DCF XV Tahun 2025 yang dilaksanakan pada 23-24 Agustus memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena pertunjukan Jazz Atas Awan ditiadakan, diganti dengan Gelaran Simfoni Dieng yang memadukan orkestra dan musik tradisi.
Dengan mengusung tema Back to Culture, DCF 2025 menghadirkan 80 persen konten acara berbasis budaya yang menampilkan berbagai seni tradisional seperti sendratari, ketoprak, dan ndolalak (tarian tradisional dari daerah Purworejo, Jawa Tengah).
"Festival tahun ini kami coba kembalikan ke akar budaya. Kalau digabung dengan musik dan hiburan, biasanya yang ditanya pengunjung itu artisnya siapa, bukan budayanya. Tahun ini lebih ditekankan pada nilai-nilai tradisi Dieng," kata Bupati Banjarnegara Amalia Desiana.
Meskipun pelaksanaan tahun ini terlihat lebih sederhana dibandingkan sebelumnya, dia mengatakan hal itu merupakan bagian dari kesepakatan bersama Pokdarwis Dieng Pandawa untuk lebih mengedepankan identitas budaya.
Selain DCF, pihaknya bersama Pokdarwis berencana mengembangkan pertunjukan Jazz Atas Awan sebagai kegiatan tersendiri agar keduanya dapat saling melengkapi dan tidak kehilangan ciri khas.
Bahkan, pihaknya ingin mendaftarkan kembali DCF ke dalam Karisma Event Nusantara (KEN) Tahun 2026 agar semakin dikenal luas. Dalam hal ini, Pokdarwis Dieng Pandawa tidak mendaftarkan DCF XV ke dalam KEN Tahun 2025 meskipun sebelumnya masuk Top 10 KEN Tahun 2024.
Ketidakikutsertaan DCF XV dalam KEN Tahun 2025 dilakukan karena Pokdarwis Dieng Pandawa ingin kembali ke akar budaya serta ingin melihat antusiasme pengunjung tanpa adanya pertunjukan Jazz Atas Awan. Namun ternyata antusiasme wisatawan tetap tinggi karena paket wisata satu hingga dua hari ludes terjual lebih dari 5.000 unit meski persiapan DCF XV Tahun 2025 mepet.
Panitia menjual paket wisata yang di dalamnya termasuk suvenir seperti batik khas Gumelem Banjarnegara dan beberapa produk lainnya serta kartu pengenal untuk masuk dan menyaksikan berbagai pertunjukan di ajang DCF 2025.
"Kami bersyukur, meski waktunya terbatas, Dieng tetap menjadi tujuan utama,” ujar Ketua Pokdarwis Dieng Pandawa Alif Faozi.
Konsistensi penyelenggaraan DCF yang telah berlangsung selama 15 tahun itu pun mendapatkan apresiasi dari Kementerian Pariwisata (Kemenpar).
Kepala Bidang Promosi dan Kemitraan Kemenpar Eni Komiarti menilai, festival tersebut terbukti memberikan dampak besar bagi perputaran ekonomi daerah, pemberdayaan UMKM, dan penguatan identitas budaya.
Selain itu, DCF mempunyai identitas kuat, dari ritual cukur rambut gimbal, seni pertunjukan, hingga kearifan lokal masyarakat, sehingga berpeluang besar menjadi agenda wisata budaya berkelas dunia.
Meskipun DCF tahun ini tidak mendaftar ke dalam program KEN, dia meyakini festival tersebut akan kembali masuk dalam daftar KEN pada tahun-tahun berikutnya. Dia juga mendorong sinergi melalui gerakan wisata bersih (GWB) untuk memastikan setiap acara pariwisata tidak hanya meriah secara seremonial, juga berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Menurut Eni, DCF dapat menjadi contoh kegiatan yang ramah lingkungan karena sudah memulainya dengan program Dieng Bersih yang mengajak semua pihak menjaga lingkungan agar tetap lestari.
Anugerah Ilahi
Rambut gimbal yang dahulu dianggap kutukan kini diterima sebagai anugerah Ilahi. Dari situlah lahir kebanggaan masyarakat Dieng akan identitasnya, sekaligus peluang ekonomi melalui pariwisata dan UMKM.
Tradisi ini menunjukkan betapa budaya tidak hanya menyimpan nilai spiritual, tapi juga mampu menghadirkan manfaat nyata bagi masyarakat. Rambut gimbal bukan sekadar ciri fisik, melainkan simbol keberkahan dan pengingat akan keterhubungan manusia dengan alam, leluhur, dan Sang Pencipta.
Di balik rambut yang kusut dan gimbal itu, tersimpan pesan bahwa setiap warisan budaya adalah karunia. Karunia yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan, bukan sekadar untuk generasi kini, tetapi juga untuk anak cucu kelak.
Ketika kidung "Rumeksa Ing Wengi" kembali terdengar di pelataran Kompleks Candi Arjuna, semua hadirin seakan tersadar bahwa rambut gimbal Dieng bukan sekadar mitos atau tontonan, melainkan jejak sakral dari sebuah anugerah Ilahi yang menjelma menjadi warisan budaya dunia.
