Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) berharap pemerintah tidak lagi melupakan tokoh pergerakan penyemai nasionalisme dan bapak kebangsaan Indonesia Haji Bagindo Dahlan Abdullah dalam penulisan Sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan yang dipimpin Fadli Zon.
“Banyak pemikiran dan perjuangannya yang terlupakan selama ini padahal ia tokoh pergerakan dan tokoh kebangsaan Indonesia. Bahkan akhir hayat Dahlan sebagai diplomat pionir untuk negara di Timur Tengah diserahkan untuk bangsanya yang baru merdeka. Kami masyarakat Pariaman dan Sumbar berharap tim penulisan sejarah tak lagi melupakannya,” kata Dr Evita Nursanty, Wakil Ketua Komisi VII DPR, yang juga tokoh masyarakat Sumbar.
Menurut Ketua Umum Keluarga Besar Putra Putri Polri (KBPP Polri) ini, Dahlan Abdullah pertama kali mengucapkan kalimat Wij Indonesier dalam ceramah publik bernuansa politis pada acara Indisch Studiecongres di lustrum perkumpulan mahasiswa Indologi (Indologenvereeniging), Leiden pada 23 November 1917.
Setahun sebelumnya, pada 1916 atas desakan Soewardi Soerjaningrat, Dahlan berbicara di depan umum untuk pertama kali di Kongres Pendidikan Kolonial (Eerste Koloniaal Onderwijscongres) dan menganjurkan peran guru pribumi dalam pengajaran di Indonesia.
Kiprah Dahlan Abdullah dalam pergerakan Indonesia banyak tercatat dalam dokumen di Universitas Leiden, almamater Dahlan Abdullah, dan sejumlah perpustakaan lain di Belanda. Kiprahnya juga ditulis dalam buku oleh Dr Suryadi berjudul Baginda Dahlan Abdullah (1895-1950) Penyemai Nasionalisme Indonesia dan Diplomat Pionir yang Terlupakan, dan buku Baginda Dahlan Abdullah-Bapak Kebangsaan Indonesia karya Hasril Chaniago, Nopriyasman, dan Iqbal Alan Abdullah.
Setelah kembali ke Tanah Air pada 1922, selain aktif mengajar, Dahlan Abdullah terlibat perjuangan kemerdekaan berlanjut di Partai Indonesia Raya (Parindra) seangkatan dengan M Husni Thamrin. Juga, di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berjuang bersama Ir Soekarno, Drs M Hatta, KH M Mansoer, Ki Hadjar Dewantara, Soetardjo, Prof Dr Hoesein Djajadiningrat, Soekardjo Wirjopranoto, Prof Mr Soepomo, dan lainnya, termasuk menjadi wali kota Jakarta hingga menjadi diplomat pionir.
Salah seorang cucu Haji Bagindo Dahlan Abdullah, Mochamad Indrawan mengatakan dukungan kepada Fadli Zon untuk meluruskan Sejarah Indonesia termasuk memasukkan nama tokoh yang sempat disebut-sebut hilang seperti KH Hasyim Asy’ari dan Haji Bagindo Dahlan Abdullah, tokoh pergerakan Indonesia pra-kemerdekaan di Belanda.
“Semoga upaya meluruskan sejarah ini dapat dilancarkan berdasarkan data ilmiah akurat,” kata Indrawan.
Dahlan Abdullah, putera Pariaman lahir 15 Juni 1895 adalah Ketua Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) pada 1917 dan sebagai ketua termuda dalam sejarah perkumpulan tersebut yakni 22 tahun.
Ia juga menjadi orang Indonesia pertama yang menggunakan kata istilah Indonesia dan Kami Orang Indonesia (Wij Indonesier) sebagai awal konsep Indonesia yang bermakna politis dan merujuk pada suatu bangsa. Ini kemudian menjadi tonggak penting pembentukan identitas nasional Indonesia serta menginspirasi semangat persatuan dalam Sumpah Pemuda.
Kontribusi Dahlan Abdullah sebagai tokoh pendidikan, politisi, hingga diplomat pionir juga seakan lenyap ditelan bumi. Karena itu, perlu ditulis agar bangsa ini mengingat perjuangannya dalam membela bangsanya.
Sebelumnya, Fadli Zon dalam acara bedah buku Baginda Dahlan Abdullah (1895-1950) Penyemai Nasionalisme Indonesia dan Diplomat Pionir yang Terlupakan karya Dr Suryadi di BRIN, Jakarta, pada 17 Januari 2024, mengatakan, dirinya sudah berkali-kali ziarah ke makam tokoh ini di Baghdad, Irak, terakhir pada 11 November 2023.
Dahlan, kata Fadli, dimakamkan di tempat terhormat di Masjid Syekh Abdul Qadir Jailani di Baghdad atas saran H Agus Salim. Bahkan, Irak menyatakan libur nasional 5 hari saat Dahlan Abdullah meninggal dunia.
Pada dunia pendidikan, Dahlan Abdullah antara lain mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kelak jadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta melalui rapat Masyoemi pada 1945 bersama tokoh besar lain seperti KH Abdul Wahid, KH Bisri, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, KH Hasyim, KH Faried Ma’ruf, KH Abdul Mukti, KH Imam Ghazali, Dr Soekiman Wirjosandjojo, Wondoamiseno, Anwar Cokroaminoto, Harsono Cokroaminoto, Mr Moch Roem, dan lainnya.
Dahlan Abdullah lahir di Pasia, Pariaman, 15 Juni 1895, dan meninggal dunia dalam tugas sebagai Duta Besar Indonesia untuk Irak, Syria, dan Trans-Jordania pada 12 Mei 1950.
Dahlan Abdullah juga satu sekolah dengan Tan Malaka di Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi. Mereka adalah teman sekelas di sekolah tersebut. Lulus dari Kweekschool, atas sokongan keluarga dan karena kepandaiannya, Dahlan dikirim belajar ke Negeri Belanda bersama dua sepupunya, Zainuddin Rasad and Jamaluddin Rasad.
Dalam beberapa catatan menunjukkan, M Hatta saat di Negeri Belanda pernah menginap di tempat Dahlan Abdullah. Ini menunjukkan mereka sahabat dekat, bahkan Dahlan menemani Hatta berkeliling Eropa serta mengenalkannya pada tokoh-tokoh nasionalis Indonesia di Eropa.
Masyarakat Sumbar berharap Dahlan Abdullah Masuk Penulisan Sejarah Indonesia
Selasa, 24 Juni 2025 19:38 WIB

Haji Bagindo Dahlan Abdullah (ANTARA/istimewa)