Jakarta (ANTARA) - Baru-baru ini, Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka melalui Menteri Pertanian dan Wakil Menteri Pertanian menegaskan akan melarang impor singkong dan tapioka.
Kebijakan tersebut untuk menjaga semangat petani menanam singkong agar harga tidak anjlok terkena gempuran impor singkong dan turunannya.
Kebijakan larangan impor tapioka dan singkong akan diatur melalui berbagai mekanisme, seperti larangan terbatas, neraca komoditas, atau tarif impor sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto.
Pengaturan impor tersebut untuk memastikan agar petani singkong mendapatkan harga jual yang layak sehingga tetap semangat menanam dan produksinya dapat menyokong kebutuhan dalam negeri.
Saat ini singkong atau ubi kayu memang merupakan komoditas pangan penting di Indonesia setelah padi dan jagung.
Singkong dapat menjadi bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri dari hulu hingga hilir. Singkong adalah pangan masa depan karena memiliki karakteristik yang adaptif terhadap perubahan iklim global.
Indonesia tergolong lima besar negara penghasil singkong di dunia setelah Nigeria, Kongo, Thailand, dan Ghana.
Namun, daya saing ekspor Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan Vietnam yang berada di peringkat ke-7 dunia, apalagi dengan Thailand yang berada di atasnya.
Berdasarkan Analisis Kinerja Perdagangan Ubi Kayu 2023 yang dirilis Kementerian Pertanian, terdapat tujuh provinsi sentra singkong di Indonesia yang mendominasi produksi singkong sepanjang 2018-2022.
Lampung menjadi sentra utama produksi singkong di Indonesia. Pada tahun 2022, produksi ubi kayu di Lampung berkontribusi 39,74 persen dari total produksi Indonesia yang setara dengan 5,95 juta ton.
Provinsi selanjutnya adalah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat dengan kontribusi masing-masing 16,58 persen; 9,58 persen; dan 6,91 persen.
Provinsi sentra lainnya Sumatera Utara, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur yang kontribusinya kurang dari 6 persen. Lainnya sebesar 12,71 persen disumbang provinsi lain di luar ke tujuh provinsi tersebut.
Pada 2022, volume ekspor singkong turun 94,89 persen dibandingkan 2021. Volume ekspor pada tahun tersebut turun menjadi 14,9 ribu ton, sedangkan volume impornya meningkat menjadi sebesar 290,3 juta ton.
Hal ini menyebabkan neraca perdagangan ubi kayu pada 2022 menjadi defisit dengan nilai neraca perdagangannya sebesar 147,3 juta dolar AS.
Mayoritas aktivitas ekspor dan impor ubi kayu pada 2022 tersebut berupa pati singkong dengan kontribusi ekspor 86,76 persen dari total ekspor ubi kayu Indonesia dan impornya sebesar 99,92 persen dari total impor ubi kayu.
Negara tujuan ekspor singkong Indonesia terbesar pada 2018 dan 2022 adalah Taiwan dalam bentuk pati singkong.
Pada 2018 ekspor ke Taiwan berkontribusi 61,79 persen yang meningkat menjadi 72,91 persen pada 2022. Sedangkan impor ubi kayu Indonesia umumnya berasal dari Thailand dengan persentase 97,46 persen dari total impor ubi kayu Indonesia tahun 2022.
Tentu larangan impor singkong dan tapioka yang dipilih pemerintah jangan dianggap sekadar langkah proteksionisme.
Langkah ini idealnya menjadi bagian dari panggilan strategis untuk membangun kemandirian pangan nasional dan memperkuat ekosistem produksi singkong nasional, dari hulu hingga hilir.
Indonesia, sebagai negeri tropis, dengan sinar matahari yang dapat dipanen sepanjang tahun dan tenaga kerja melimpah, seharusnya tak bergantung pada impor bahan pangan yang bisa ditanam di negeri sendiri.
Singkong (Manihot esculenta Crantz) bukan tanaman sembarangan karena tergolong tanaman bandel. Tanaman ini tumbuh baik di lahan marginal, tahan kekeringan, dan memerlukan input relatif rendah dibanding padi, jagung, atau kedelai.
Dengan demikian singkong dapat menjadi salah satu tanaman pangan strategis yang dapat menjadi sumber karbohidrat, bahan baku industri, hingga energi alternatif.
Namun, kenyataannya, Indonesia sebagai produsen lima besar dunia ternyata masih mengimpor tepung tapioka jutaan ton per tahun dari negara tetangga.
Dengan kata lain nilai tambah dari bahan baku singkong segar menjadi tepung tapioka justru dinikmati oleh negara lain, sementara petani lokal masih terjebak dengan produktivitas rendah, kadar pati yang rendah, harga yang fluktuatif, dan akses pasar yang terbatas.
Perlu Intervensi
Momentum kebijakan larangan impor harus dilihat sebagai pintu masuk membangun ekosistem singkong nasional yang kuat dan berkelanjutan. Namun, kebijakan ini tidak akan berdampak signifikan jika tidak diikuti dengan intervensi di berbagai lini.
Pertama, perbaikan produktivitas di tingkat petani. Saat ini umumnya petani masih menggunakan varietas lokal dengan produktivitas rendah, sekitar 15–20 ton per hektar.
Padahal varietas unggul seperti UJ 5, Adira 4, Malang 4, Litbang UK 2, Vati 1, atau Vati 2 bisa menghasilkan lebih dari 30 ton per hektar jika dibarengi praktik budi daya yang baik.
Tersedia pula varietas singkong genjah (panen 7 bulan) yang memiliki rata-rata hasil di atas 30 ton per hektar yaitu UK 1 Agritan, Vamas 1, Ukage 1, Ukage 2, dan Ukage 3.
Penyuluhan intensif, penyediaan benih unggul, dan pemanfaatan teknologi pertanian presisi menjadi kunci. Penyediaan benih varietas unggul perlu didukung dengan sistem perbenihan yang kuat.
Upaya meningkatkan produkivitas juga jangan hanya terfokus pada kuantitas bobot singkong semata, tetapi juga berfokus pada kualitas singkong yaitu kadar pati yang tinggi.
Kedua, revitalisasi lahan tidur dan sub-optimal. Indonesia memiliki jutaan hektar lahan sub-optimal yang kurang sesuai untuk padi atau jagung, tetapi ideal untuk singkong.
Pemerintah daerah dapat mendorong pemanfaatan lahan ini dengan skema insentif dan kemitraan petani-pengusaha.
Namun demikian perlu dianalisis secara spasial luasan yang paling rasional untuk singkong karena umumnya lahan kering di Indonesia digunakan untuk beberapa jenis komoditas yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi serta status kepemilikannya belum tentu dimiliki petani atau yang mengijinkan untuk penggunaan pertanian singkong. Lahan suboptimal seringkali terdapat pada daerah berlereng yang rawan erosi.
Ketiga, petani singkong sering menghadapi kendala modal. Perlu dukungan pembiayaan yang mudah diakses serta asuransi pertanian berbasis risiko agroklimat untuk mengurangi kerugian petani.
Di samping modal, kendala lain yang dihadapi petani adalah kepemilikan lahan yang sempit, infrastruktur jalan kurang memadai, pendidikan formal petani kurang memadai untuk menyerap perkembangan teknologi.
Keempat, mewujudkan kepastian harga agar petani merasa aman untuk menanam singkong dalam skala besar.
Diperlukan regulasi harga dasar serta skema off-taker melalui BUMN pangan atau koperasi yang dapat menyerap hasil panen dengan harga yang adil. Pengaturan waktu tanam dan panen juga sangat menentukan kestabilan harga karena panen tidak terkonsentrasi di satu waktu.
Kelima, melakukan penguatan industri hilir dan inovasi produk. Singkong jangan hanya dipandang sebagai makanan pokok. Tapioka, mocaf, bioetanol, tepung komposit, kosmetik, hingga plastik ramah lingkungan dapat dihasilkan dari singkong.
Diperlukan insentif bagi industri pengolahan lokal serta riset untuk mendorong diversifikasi produk turunan yang bernilai tinggi. Perlu ditingkatkan kegiatan diseminasi hulu hingga hilir.
Keenam, kolaborasi multipihak sebagai kunci membangun ekosistem. Dibutuhkan kolaborasi lintas sektor seperti periset dan akademisi yang memasok inovasi, swasta yang membangun rantai pasok, koperasi petani sebagai simpul produksi, serta masyarakat yang menyadari pentingnya konsumsi lokal.
Model kemitraan yang inklusif dapat diterapkan seperti perusahaan tapioka bermitra langsung dengan kelompok tani, menyediakan benih unggul, pelatihan teknis, dan jaminan pembelian dengan kesepakatan harga yang menguntungkan kedua pihak.
Pemerintah hadir dengan fasilitasi, insentif fiskal, dan perlindungan regulasi. Semua pihak bekerja dalam satu ekosistem yang saling memperkuat.
Jika keenam langkah tersebut dilakukan, maka upaya mewujudkan singkong sebagai simbol ketahanan dan kedaulatan pangan bukan isapan jempol lagi.
Singkong dapat bermetamorfosa bukan lagi pangan inferior, tetapi tanaman masa depan karena diproduksi dengan rendah emisi karbon, mudah dibudidayakan, dan dapat menopang industri modern.
Bayangkan jika di setiap daerah memiliki klaster singkong terpadu. Petani menanam varietas unggul, hasilnya diolah di industri lokal menjadi produk bernilai tambah, diserap oleh pasar nasional hingga ekspor. Pendapatan petani naik, lapangan kerja tercipta, dan Indonesia tak lagi tergantung pada produk impor.
Terakhir, Indonesia harus yakin. Jika dikelola serius, singkong dapat menjadi “emas putih” Indonesia. Negara Thailand dan Vietnam telah membuktikan bahwa dengan ekosistem yang tepat, singkong mampu menopang ekonomi desa sekaligus menjadi komoditas ekspor strategis. Indonesia tak boleh tertinggal lagi.
Jika berhasil, ini bukan hanya cerita tentang singkong, tetapi juga tentang bagaimana bangsa ini bangkit dari ketergantungan menjadi negara mandiri pangan dan industri.
*) Penulis adalah Pengurus Pusat Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) dan Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).