Bogor (Antaranews Megapolitan) - Kearifan pemanfaatan pangan lokal banyak tersingkirkan dengan arus modernisasi yang berorientasi materialistik, skala besar, seragam dan jangka pendek. Sekitar 550 kelompok etnik dengan ribuan bahasa lokal tinggal di dalam dan di sekitar hutan Indonesia. Mereka dulunya telah mengelola keanekaragaman hayati pangan secara arif untuk menjamin kesinambungan pemanfaatannya.
Prof Ervizal A.M Zuhud, Guru Besar dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor, menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah yang cenderung kepada penyeragaman pangan yang didukung kelompok masyarakat yang terpengaruh nilai-nilai modernisasi yang serba materialistik dan berorientasi jangka pendek telah mengakibatkan tersingkirnya kearifan lokal dalam pemanfaatan kekayaan hayati ini.
Akibatnya sumberdaya pangan lokal dan sumber hayati liar yang belum ternikmati masyarakat luas, telah banyak yang hilang dari muka bumi Indonesia. Kearifan pemanfaatan tumbuhan pangan lokal perlahan tersingkir dari peradaban dan Indonesia terjajah melalui pangan impor.
Paradigma yang ditanamkan sejak pemerintah orde baru masa lalu ini masih melekat kuat di kehidupan masyarakat Indonesia. Dampaknya, sumber tumbuhan pangan lokal, termasuk jenis liar dari hutan tidak berkembang secara wajar.
Selain itu, belum banyak orang melakukan pengembangan secara optimal. Ia menjelaskan bahwa terdapat berbagai potensi pangan hutan yang umumnya masih hidup alamiah pada berbagai tipe ekosistem hutan seperti potensi pangan hutan mangrove, potensi pangan hutan pantai, potensi pangan hutan rawa, potensi pangan padang rumput (savana), serta potensi pangan hutan hujan tropis. “Potensi pangan hutan mangrove misalnya.
Pada kawasan ini hidup berbagai biota peralihan daratan dan lautan. Banyak potensi ekonomi dan pangan yang dapat dikembangkan. Umumnya bagian yang berpotensi sebagai sumber pangan adalah buah, contohnya buah api-api, buah lindur dan buah pidada yang dapat diolah sebagai sumber pangan,” tuturnya. Prof. Amzu menambahkan.
“Potensi pangan hutan hujan tropis misalnya. Di kawasan ini tercatat 150 jenis tumbuhan liar berpotensi pangan. Belum lagi aren, sukun, suweg, pisang-pisangan, nangka-nangkaan, gadung-gadungan, durian, mangga-manggan, rambutan-rambutanan, manggis-manggisan, rambai-rambaian, pakis dan lain-lain,” ujarnya.
Prof. Amzu ini menjelaskan bahwa strategi pengembangan melalui rediversifikasi pangan lokal di Indonesia adalah suatu keniscayaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan kebijakan pemerintah.
“Penganekaragaman kembali pangan lokal pada masing-masing wilayah (rediversifikasi pangan lokal) mutlak dilakukan. Rediversifikasi ini menggunakan hasil-hasil penelitian etnobiologi pada masing-masing tempat yang sudah dilakukan. Penganekaragaman pangan ke depan, terutama dari sumberdaya lokal sudah dimanfaatkan secara turun temurun dan sudah sesuai dengan eko-fisiologi dan budaya masyarakat setempat. Kemudian ditingkatkan dan disempurnakan dengan IPTEKS terkini dari perguruan tinggi. Hal ini terwujud melalui status gizi masyarakat kampung desa yang lebih baik dan sehat. Yang tentunya sangat berdampak kepada kinerja dan produktivitas kerja secara nasional. Di samping itu secara keseluruhan akan menguatnya kedaulatan pangan bangsa, menghindari ketergantungan pangan kepada negara lain,” urainya panjang lebar.
Terakhir, ia mengungkapkan bahwa sangatlah perlu dukungan kesadaran pejabat pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama membangun kebijakan dalam upaya menekan sekecil mungkin ancaman yang menyebabkan kerusakan habitat alam, terutama hutan hujan tropika Indonesia yang masih tersisa.
Pengrusakan lahan produktif dan hutan alam harus dihentikan sehingga sumber-sumber plasma nutfah untuk rediversifikasi pangan lokal dapat dikembangkan dan dilestarikan.
“Hutan yang sudah rusak kembali dibangun dengan sistem agroforestry bersama masyarakat desa dengan budaya spesifik lokal yang dikuatkan dengan IPTEKS terkini. Perguruan tinggi dari Sabang sampai Merauke sepatutnya dibagi habis per kluster untuk berperan aktif dalam pendampingan seluruh desa hutan di Indonesia sepanjang masa. Sehingga keragaman pangan dari hutan semakin berkualitas dan berkuantitas tinggi untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kesehatan bangsa Indonesia, dan bahkan bisa diekspor untuk masyarakat dunia,” tandasnya. (IRM/ris)
Guru Besar IPB bicara pentingnya rediversifikasi pangan lokal
Selasa, 12 Juni 2018 6:57 WIB
Potensi pangan hutan hujan tropis misalnya. Di kawasan ini tercatat 150 jenis tumbuhan liar berpotensi pangan.