Jakarta (ANTARA) - Teguh Joko Dwiyono menempatkan seni ke tahap yang dapat mengubah kebiasaan masyarakat memperlakukan limbah rumah tangga.
Dwi (69), demikian ia disapa, adalah seorang pelukis yang menjadikan sisa sampah plastik sebagai salah satu medium dalam melahirkan karya seni. Lewat kreativitas dan ketekunannya, Dwi menjadikan limbah plastik sebagai medium artistik yang tak hanya estetik, tapi juga sarat nilai edukatif dan sosial.
Ia mendedikasikan hidupnya untuk mengubah cara masyarakat memandang sampah.
Meski kini dikenal sebagai seniman, Teguh Joko Dwiyono tidak memiliki latar belakang akademik di bidang seni rupa. Sejak kecil, ia tumbuh dalam keterbatasan. Sang ayah, yang seorang guru, tak mampu membelikan kertas gambar atau pensil warna. Sebagai gantinya, sang ayah kerap membawakan kapur tulis yang kemudian digunakan Dwiyono kecil untuk menggambar di lantai rumah.

Bakatnya mulai terlihat sejak usia dini. Selama duduk di bangku taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, Dwiyono kerap dipercaya mewakili sekolahnya dalam berbagai lomba melukis.
Namun, mimpi untuk mengenyam pendidikan formal di bidang seni rupa harus pupus. Keinginannya masuk ke Akademi Seni Rupa Indonesia, cikal bakal Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, tidak mendapat restu dari orang tuanya.
Ia pun diarahkan mengikuti jejak kakak-kakaknya untuk kuliah di jurusan Teknik Sipil. Setelah lulus dan bekerja sebagai insinyur, Dwiyono justru merasa ada ruang kosong dalam hidupnya, sebuah keganjilan yang menyadarkannya bahwa seni adalah panggilan jiwa yang tak bisa ditekan oleh logika.
Dari kegelisahaan
Di galeri sederhana miliknya di kawasan Jakarta Timur, Dwi tampak tekun menyusun potongan-potongan plastik bekas menjadi sebuah lukisan. Sambil bekerja, ia bercerita tentang kegelisahan yang akhirnya menjelma menjadi sumber inspirasi.
Kisah Dwiyono mengolah limbah rumah tangga menjadi karya seni dimulai secara tak sengaja pada tahun 1995. Saat itu, sang istri tengah memasak nasi goreng favoritnya. Tanpa sadar, ia menginjak cangkang telur yang terjatuh di lantai.
“Krrrieekkk! Saya angkat kaki pelan-pelan, dan saya lihat pecahannya indah sekali, punya nilai seni yang tinggi,” tuturnya.
Temuan itu mengantarnya pada proses eksplorasi yang tidak sebentar. Selama dua tahun, Dwiyono bereksperimen memahami struktur, tekstur, dan karakteristik kulit telur. Ia bahkan menelusuri filosofi yang terkandung di balik benda yang tampak rapuh itu.
Menurut dia, kulit telur mencerminkan paradoks kehidupan. Meski tipis dan mudah pecah, ia justru memiliki ketahanan terhadap cuaca dan goresan.
Dari situlah, Dwiyono melihat makna dalam kerapuhan ada kekuatan yang tersembunyi. Lebih dari sekadar medium seni, ia memaknai cangkang telur sebagai simbol kehidupan. Bagi Dwiyono, kulit telur adalah ruang awal terciptanya nyawa dan rahim sementara yang melahirkan kehidupan ke dunia
“Hidup berasal dari telur. Saya mengibaratkannya sebagai rahim. Dan rahim itu hanya dimiliki oleh ibu. Maka, jangan pernah lupakan ibu kita,” ujarnya.
Refleksi itu lantas meluas. Tak hanya mengingatkan pada peran ibu kandung, baginya, menciptakan karya seni dari limbah kulit telur juga menjadi bentuk penghormatan pada “ibu pertiwi” bumi yang harus dilindungi dari kerusakan lingkungan.
Dedikasinya pun membuahkan hasil. Hingga kini, Dwiyono telah berhasil mengidentifikasi sekitar 40 jenis warna alami dari kulit telur sebagai elemen visual dalam karya-karyanya. Inovasi itu memperkuat pesan bahwa seni tak hanya soal estetika, tapi juga kesadaran akan keberlanjutan dan kehidupan.
Sampah jadi estetika
Pada masa pandemi COVID-19, Dwi menyadari lingkungan rumahnya mulai dipenuhi sampah plastik sisa belanja daring. Jumlahnya terus menumpuk, tak terangkut petugas kebersihan.
“Awalnya saya tanya ke tukang sampah mengapa sampah plastik tidak diangkut? Katanya tidak laku. Di situlah mendapatkan plastik-plastik yang beranekaragam, bagus-bagus warnanya, dan unik-unik. Itu menarik perhatian saya,” ujarnya.
Dari sana, ide untuk menjadikan sampah sebagai karya seni mulai tumbuh. Sebelumnya, Dwi memang sudah dikenal sebagai pelukis yang pernah menggunakan limbah cangkang telur sebagai bahan lukisan sejak 1995. Namun plastik menawarkan tantangan dan peluang baru.
Kesadaran akan persoalan tersebut mendorong Dwi untuk tidak tinggal diam. Dia mulai bereksperimen tanpa bahan kimia untuk mengolah plastik menjadi lukisan. Dalam waktu tiga bulan, dia menemukan metode yang sederhana tentunya juga tanpa bahan kimia agar karya seninya tak mencemari lingkungan.
Limbah sampah plastik tersebut, ia rekatkan tanpa menggunakan lem melainkan alat pengering rambut seharga Rp40 ribu. Tujuannya, agar karya seni tersebut dapat dicontoh oleh masyarakat sehingga dapat mengolah limbah plastik secara mandiri dengan mudah dan alat yang murah.
Langkah Dwi tak datang di ruang hampa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, timbunan sampah nasional Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 7,68 juta ton atau 12 persen merupakan sampah plastik limbah yang dikenal sulit terurai dan sangat mencemari lingkungan jika tak ditangani serius.
Sampah plastik juga mencemari laut, mengancam ekosistem, dan masuk ke rantai makanan manusia dalam bentuk mikroplastik. Tantangan ini membutuhkan solusi kreatif dan keterlibatan banyak pihak.
Edukasi komunitas
Namun, Dwi tidak ingin bergerak sendirian. Ia membangun konsep edukatif menginspirasi warga untuk menciptakan karya seni dari sampah rumah tangga.
"Dari satu RW, jika ada seribu warga, dan masing-masing melukis satu karya, itu sudah mengurangi sampah secara signifikan" kata dia.
Tak hanya pada tingkat RT dan RW, dirinya juga tergerak membuka kelas secara gratis untuk skala yang lebih besar hingga ke berbagai daerah di Jakarta, Aceh hingga Makassar untuk bisa mengajarkan pembuatan lukisan dari sampah plastik. Hal ini semata-mata dilakukan agar bisa bermanfaat untuk orang lain serta menciptakan komunitas yang sadar lingkungan.
Bagi Dwi, sampah plastik juga bukan sekadar limbah tak berguna, tetapi juga potensi untuk melahirkan karya seni yang memiliki nilai jual. Ia percaya bahwa setiap orang memiliki bakat dan cara unik untuk berkontribusi, asalkan mereka diberikan kesempatan dan pengetahuan.
"Setiap sampah memiliki cerita. Melalui seni, kita bisa menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga lingkungan," tuturnya.
Konsistensinya dalam mengolah sampah plastik menjadi karya seni membuahkan hasil. Karyanya mulai dilirik kolektor mancanegara. Pesanan berdatangan dari berbagai daerah di Indonesia hingga penjuru dunia mulai dari London, Amerika Serikat, Prancis, Bahrain, hingga Jepang.
Kini, Dwi memiliki harapan besar mencetak generasi yang tidak hanya kreatif, tetapi juga peduli lingkungan. Ia terus mengajak masyarakat untuk mengubah cara pandang terhadap sampah dari sekadar limbah menjadi sumber inspirasi karya seni yang memiliki estetika dan nilai ekonomis.
Apa yang dilakukan Dwi mungkin terlihat sederhana yakni merekatkan plastik di kanvas. Tapi di balik setiap karya, tersimpan niat untuk menyelamatkan bumi, memberdayakan komunitas, dan membuktikan bahwa limbah bukan akhir dari sebuah benda, melainkan awal dari sebuah cerita baru.
Dari galeri mungil di Jakarta Timur, suara hair dryer yang menyatu dengan riuh sampah plastik itu perlahan mengubah dunia jadi satu lukisan, satu kesadaran, satu aksi nyata pada satu waktu.