Badung, Bali (ANTARA) - Dunia sedang menghadapi tiga krisis yang saling terkait satu dengan lainnya, yaitu perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi yang mengancam tidak hanya Bumi tapi juga manusia.
Ketiga krisis tersebut memiliki keterkaitan erat dengan sampah plastik yang menjadi fokus peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025. Tema "Hentikan Polusi Plastik" diharapkan memberikan sorotan terkait bahaya yang ditimbulkan sampah plastik.
Sampah plastik yang bocor ke lingkungan menyebabkan polusi dan merusak ekosistem, yang kemudian berakibat kepada kematian flora dan fauna baik secara langsung maupun perlahan. Kerusakan ekosistem, terutama yang memiliki kemampuan penyimpanan karbon seperti mangrove, menjadi salah satu faktor yang meningkatkan suhu permukaan bumi, salah satu dampak dari perubahan iklim.
Indonesia adalah satu dari sejumlah negara dunia yang terdampak polusi plastik di lingkungan, mengingat sampah plastik kini sudah berada di posisi kedua komposisi sampah terbesar setelah sisa makanan. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) melaporkan dari 34,2 juta ton sampah pada 2024 dari 317 kabupaten/kota, sebanyak 19,74 persen di antaranya adalah sampah plastik.
Jumlah itu memperlihatkan peningkatan timbulan sampah plastik, dari 11 persen pada 2010 dan 19,26 persen pada 2023.
Berbeda dari sampah organik seperti sisa makanan yang dapat terurai secara alami, plastik yang terbuat dari bahan bakar fosil tidak dapat terdegradasi dengan mudah dan dapat mempertahankan bentuknya belasan sampai puluhan tahun setelah bocor ke lingkungan.
Bahkan ketika terjadi degradasi parsial, kandungan di dalamnya akan bertahan dalam ukuran sangat kecil yang disebut mikroplastik dan nanoplastik. Masuk ke dalam tubuh hewan dan manusia, menumpuk dan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan.
Sampah plastik yang bocor ke lingkungan bahkan bisa menjadi isu polusi lintas batas ketika produk plastik dengan tulisan "made in Indonesia" mengalir ke laut dan berakhir ke negara lain dan sebaliknya.
Data United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan pada 2020 secara global terdapat 9 juta-14 juta ton sampah plastik berakhir di lautan, yang dapat bertambah menjadi 23 juta-37 juta ton pada 2040 dan 155 juta-265 juta ton sampah plastik di laut pada 2060.
Menurut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova, sampah yang berasal dari kegiatan di Indonesia sekitar 10-20 persen akan berakhir di perairan internasional dan bahkan bisa hanyut sampai ke Afrika Selatan dalam periode sekitar satu tahun.
Tidak hanya itu, penelitiannya juga memperlihatkan potensi kehilangan dari sisi ekonomi akibat sampah plastik yang bocor ke perairan. Dengan berdasarkan penghitungan rata-rata per tahun terdapat kebocoran 484 ribu ton sampah ke lautan dengan estimasi memiliki nilai kehilangan berkisar Rp25 triliun sampai Rp255 triliun per tahun.
Di sisi pemerintah, sejak Presiden Prabowo Subianto dilantik pada akhir 2024, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) diberikan fokus isu sampah di Indonesia. Mulai dari penghentian impor bahan baku sampah untuk industri daur ulang, sampai penertiban tempat pemrosesan akhir (TPA) yang melakukan open dumping atau pembuangan secara terbuka.
Sejauh ini, sudah 343 TPA yang dikelola oleh pemerintah daerah mendapat sanksi administrasi dari KLH. Beberapa pengelola bahkan sudah mulai diproses pidana karena dinilai tidak menjalankan sanksi yang diberikan, termasuk Unit Pengelolaan Sampah Terpadu (UPST) Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta di Bantargebang.
Sejumlah TPA open dumping juga sudah ditutup meski mendapatkan penolakan warga, bahkan ada gugatan class action yang dilakukan sekelompok masyarakat Banjarmasin karena proses penutupan TPA Basirih.
Di sisi lain, solusi cepat diambil pemerintah untuk mencapai target pengelolaan sampah 100 persen pada 2029. Seperti mengejar pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang ditargetkan berada di 33 lokasi, naik dari target sebelumnya yang menyasar 12 kota.
Tengah dikejar juga pembangunan dan pemanfaatan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF). Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq bahkan meminta fasilitas yang sudah siap, seperti RDF Rorotan di Jakarta ,yang mendapatkan penolakan warga sekitar, untuk dapat segera dioperasikan.
Namun, semua solusi tersebut tidak akan dapat berjalan jika tidak ada kerja sama antarpemangku kepentingan yaitu pemerintah, masyarakat dan komunitas, serta dunia usaha.
Upaya jangka panjang
Mengubah kebiasaan masyarakat bukanlah hal mudah. Bahkan tragedi lingkungan yang menewaskan 157 orang karena longsor sampah TPA Leuwigajah di Jawa Barat pada 21 Februari 2005 tidak berhasil menjadi terapi kejut yang menyadarkan masyarakat akan urgensi penanganan sampah.
Yang perlu disadari dari hal itu adalah mengubah cara pandang dan kebiasaan masyarakat terkait sampah membutuhkan waktu panjang dan tidak ada waktu yang tepat untuk memulainya selain dari sekarang. Langkah itu diperlukan untuk mendukung penggunaan teknologi yang sudah dicanangkan pemerintah.
Indonesia sudah memiliki instrumen penting yang harus dimiliki untuk memulai perubahan, yaitu keberadaan kerangka hukum lewat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Selanjutnya adalah memastikan ketaatan terhadap peraturan dan memastikan turun sampai ke tingkat akar rumput.
Sosialisasi sudah pasti adalah satu yang harus dilakukan untuk mencapainya, selain juga pengawasan dan tanggung jawab individu.
Sistem pengelolaan sampah yang melibatkan masyarakat perlu dilakukan dengan kedisiplinan yang tinggi dan berkesinambungan. Dimasukkan ke dalam setiap jenjang pendidikan oleh pemerintah, dan didukung penegakkannya juga oleh dunia usaha.
Contoh baik dapat dilihat dari implementasi larangan kantong plastik sekali pakai di sejumlah kota akibat pengesahan aturan dari pemerintah daerah, yang meningkatkan penggunaan kantong guna ulang. Berdasarkan survei perusahaan riset berbasis digital Populix pada 2023 terhadap 1.018 responden memperlihatkan, 80 persen responden sudah membawa tas belanja dan botol minuman pribadi.
Kesuksesan itu tidak hanya karena keberadaan aturan, tapi juga keikutsertaan dunia usaha yang mulai tidak memberikan kantong plastik sekali pakai kepada konsumen. Beberapa bahkan mematok harga yang cukup tinggi ketika pembeli ingin menggunakan tas belanja yang mereka sediakan.
Dari contoh kasus di atas dapat terlihat pola yang dibutuhkan agar implementasi dapat berjalan. Dimulai dari keberadaan aturan dari pusat sampai ke tingkat pemerintah daerah, pengawasan, keterlibatan dunia usaha dan kemudian membentuk kebiasaan di masyarakat.
Jika pola tersebut berhasil dipertahankan dan dikembangkan, target Indonesia untuk mencapai pengelolaan sampah 100 persen pada 2029 sesuai dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bukanlah hanya angka yang tertulis di kertas dan dokumen digital.
Mimpi untuk menghentikan polusi plastik seperti yang digaungkan oleh Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 dapat menjadi nyata untuk lingkungan yang lebih asri. Memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sesuai dengan hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi negara.