Cirebon (ANTARA) - Batas waktu pencarian dan evakuasi korban longsor di area tambang Gunung Kuda, Cirebon, Jawa Barat, ditetapkan selama tujuh hari sesuai masa tanggap darurat yang ditentukan dalam Surat Keputusan (SK) Bupati.
Akan tetapi, bagi sebagian keluarga, itu bukan akhir. Sebaliknya, waktu pencarian, menurut mereka, seharusnya tak berhenti selama jasad yang tertimbun material longsor belum ditemukan.
Pada Rabu (4/6) pagi, salah satu posko di area Gunung Kuda mulai dipadati. Matahari sudah cukup terik saat itu, tetapi aktivitas pencarian belum dimulai. Belasan orang dari berbagai unsur justru duduk di tikar-tikar yang dibentang di dalam tenda.
Enam pemuka agama, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Cirebon pun hadir, duduk bersama dalam satu barisan.
Bergiliran mereka memimpin doa, masing-masing dengan cara dan keyakinannya. Tidak ada pembatas maupun urutan lebih tinggi.
Hanya lantunan doa yang bergema di sekitar area Gunung Kuda pagi itu, lalu disimak dalam diam oleh keluarga korban, petugas SAR gabungan, relawan, dan warga sekitar
Suara doa itu memecah keheningan yang tak benar-benar tenang. Khidmat, tetapi sarat beban. Beberapa warga terlihat menunduk dalam, sebagian lagi menyeka mata.
Doa bersama lintas iman itu menjadi penanda belasungkawa, sekaligus cara untuk menguatkan, bahwa yang hilang belum dilupakan.
Euis Nurhayati, yang suaminya belum ditemukan, duduk agak di sisi kanan tenda. Ia sudah mengikuti kegiatan sejak pagi, tapi pikirannya terus mengarah ke jalur evakuasi yang kini kembali disterilkan.
“Suami saya belum ketemu,” ucapnya pelan seusai acara. Dedi Setiadi, suaminya, adalah kuli muat yang sudah bekerja di tambang itu selama 17 tahun.
Saat longsor terjadi, ia ada di dalam area kerja, tertimbun bersama alat berat dan rekannya.
Hampir enam hari proses pencarian berjalan, belum ada tanda-tanda keberadaan Dedi. Namun Euis tidak ingin harapan itu dihentikan.
“Saya maunya enggak hanya tujuh hari, kalau bisa terus sampai ketemu gitu,” katanya.
Ia sudah bicara langsung dengan tim SAR. Bahkan, berencana mengajukan permohonan resmi ke Bupati Cirebon agar masa pencarian diperpanjang.
Selama ini, Euis dan keluarga terus memantau pencarian dari dua tempat yakni posko evakuasi dan rumah sakit. Baginya, belum sepenuhnya ikhlas bila jasad itu tidak ditemukan dan dimakamkan dengan layak.
“Sebenarnya sudah ikhlas, tetapi pengen jasadnya ditemukan,” kata Euis.
Berjibaku
Operasi pencarian hari keenam dilakukan, dan tim gabungan kembali menyusuri area longsor di Gunung Kuda. Tanah belum sepenuhnya stabil kala itu.
Sejak pukul 08.30 WIB, anggota Dalmas Polresta Cirebon bersama unit K-9 Polda Jawa Barat memulai tugas mereka. Anjing pelacak pun dikerahkan satu per satu.
Hidung hewan itu tajam, terlatih membedakan aroma manusia dari bau tanah dan bebatuan. Tak lama, empat titik terdeteksi yang kemungkinan besar menyimpan korban yang masih tertimbun.
Salah satu titik berada di dekat ekskavator berwarna kuning yang tertimbun. Petugas langsung menandai semuanya dengan patok.
Hingga hari itu, total 21 jenazah telah dievakuasi. Namun data dan kesaksian lapangan menunjukkan masih ada empat korban yang belum ditemukan.
Empat korban yang masih tertimbun diketahui bernama Muniah (45), Tono (57), Dedi Setiadi (47) dan Nurakman (51). Seluruhnya adalah warga Kabupaten Cirebon.
Proses pencarian dilakukan bersama personel gabungan, termasuk operator alat berat yang bekerja di tambang tersebut. Salah satunya adalah Rahmat (28).
Baginya, ikut turun menggali tanah longsor bukan semata panggilan tugas. Dia datang karena nyawa-nyawa yang tertimbun di bawah sana adalah teman-temannya sendiri.
Sehari-hari mereka bekerja bersama, satu tim, satu warung makan, satu risiko. Lalu saat longsor datang, ia menjadi sedikit orang yang selamat dari insiden tersebut.
“Mayoritas di sini teman-teman saya semua. Saya yang selamat. Kenapa harus diam? Harus ikut andil,” ucapnya.
Selain operator, Ia juga menjadi saksi mata terjadinya longsor itu.
Beberapa detik sebelum longsor terjadi, terjadi gangguan teknis pada alat beratnya. Kemudian dia turun beberapa meter dari lokasi kerja untuk mengecek monitor.
Saat menoleh ke belakang, runtuhan material longsor datang begitu cepat dan suaranya terdengar sangat keras.
Ekskavator yang dikemudikannya jadi satu-satunya dari empat unit yang selamat. Namun alat lainnya tertimbun, bersama para pekerja yang tak sempat lari.
Ia mulai terlibat sejak hari kedua pencarian korban longsor di tambang Gunung Kuda.
Tidak ada yang memerintahnya, karena dia turun atas kehendaknya sendiri, membawa ekskavator yang masih bisa bergerak, meski dengan medan tanah labil dan berisiko longsor susulan.
Ia masih ingat titik jatuhnya longsor. Menurutnya, ada empat korban yang kemungkinan tertimbun di sebelah timur, di balik batu besar.
Itu lokasi yang ditandai dan terus ia ingat sejak hari pertama. Rahmat memperkirakan masih ada tujuh hingga delapan orang lainnya, terutama kuli-kuli lokal yang belum tercatat.
Ketika menggali di sisi batu besar itu, Rahmat sering kali mencium bau menyengat yang berasal dari area longsor.
Ia menyebutkan, kondisi jenazah yang sudah berhasil dievakuasi sangat bervariasi, beberapa masih utuh, tetapi ada pula yang rusak, terutama di kalangan kuli harian.
Rahmat tahu betul, setiap inci tanah di Gunung Kuda menyimpan risiko. Namun ia juga menyadari, diam bukan pilihan bagi yang selamat.
Namun siang itu juga, keputusan besar diambil. Tim SAR gabungan menghentikan sementara proses pencarian.
Komandan Kodim 0620/Kabupaten Cirebon Letkol Inf Mukhammad Yusron menjelaskan, keputusan ini diambil pukul 13.30 WIB pada Rabu, setelah dilakukan asesmen bersama Inspektur Tambang dari Kementerian ESDM.
“Hasil pemantauan menunjukkan pergeseran tanah mencapai 4 meter dalam sehari. Total pergerakan sejak Senin sampai Rabu sudah 9 meter,” kata Yusron.
Di sektor tengah (worksite A), ditemukan aliran air dari patahan tanah. Kemudian pada sektor kanan (worksite B), longsor susulan kembali terjadi.
Lokasi pencarian disebut masuk zona merah, karena terlalu dekat dengan titik longsor dan berada di luar radius aman 350 meter dari area longsor di Gunung Kuda.
“Saya tegaskan, kami bekerja ini termasuk zona merah. Kami sejak hari pertama, selalu berupaya keras mengevakuasi korban. Ini tugas kemanusiaan,” tuturnya.
Kepala Kantor SAR Bandung Ade Dian juga menegaskan bahwa batas toleransi pergerakan tanah adalah 3 cm dalam 30 menit. Akan tetapi di Gunung Kuda, pergerakannya sudah mencapai 4 meter dalam waktu singkat.
“Ini membahayakan tim di lapangan. Kami harus utamakan keselamatan,” kata dia.
Evaluasi lanjutan dijadwalkan dilakukan pada Kamis (5/6). Apabila kondisi dinyatakan aman, pencarian bisa dilanjutkan. Namun jika tidak, maka penghentian total bisa menjadi pilihan pahit yang harus dihadapi.
Bagi keluarga korban, hal itu bukan keputusan mudah. Meski demikian, keselamatan petugas pun harus dinomorsatukan.
Intinya hari itu doa lintas iman sudah dipanjatkan, serta prosedur sudah dijalankan, walaupun masih ada nama-nama korban yang belum pulang.
Ketegasan
Tragedi longsor tambang galian C di Gunung Kuda Cirebon, yang menewaskan sejumlah pekerja, menjadi titik balik kebijakan pertambangan di Jabar.
Pemprov Jabar memastikan seluruh aktivitas tambang di kawasan itu dihentikan secara permanen menyusul pelanggaran berulang terhadap aspek keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan.
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi mengemukakan, lokasi tambang yang dikelola oleh sebuah koperasi pondok pesantren itu sejak awal tidak memenuhi standar keamanan kerja.
Tiga tahun lalu, ia mengaku telah mengingatkan agar kegiatan penambangan di kawasan tersebut dihentikan karena terlihat membahayakan.
Sejak dilantik sebagai gubernur pada Februari 2025, Dedi telah menerapkan moratorium terhadap seluruh perizinan tambang, termasuk tidak memperpanjang izin-izin yang telah habis masa berlakunya.
Kebijakan ini diberlakukan untuk menekan risiko kecelakaan kerja, serta mengurangi kerusakan lingkungan di wilayah rawan.
Tambang milik Koperasi Pondok Pesantren Al-Azhariyah, yang izinnya berlaku hingga November 2025, termasuk yang akhirnya dicabut izinnya setelah insiden tragis ini.
Selain tambang tersebut, dua lokasi lain yang dikelola oleh yayasan berbeda juga dihentikan operasionalnya secara permanen.
Pemerintah juga berkomitmen melakukan pemulihan kondisi lingkungan sekitar, termasuk sungai yang terdampak aktivitas tambang di Gunung Kuda, serta menanggung aspek sosial bagi keluarga korban.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat Bambang Tirto Yuliono menjelaskan, pengelola tambang di Gunung Kuda telah melanggar kewajiban administratif sejak 2024.
Salah satu pelanggaran krusial adalah tidak menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), dokumen dasar yang wajib diserahkan setiap tahun untuk kegiatan penambangan.
Dari hasil pengamatan teknis, area tambang di kawasan Gunung Kuda memiliki karakteristik batuan yang mirip serta metode kerja yang dinilai tidak aman. Hal ini meningkatkan potensi kecelakaan serupa jika kegiatan tetap dilanjutkan.
Sebagai langkah lanjut, Dinas ESDM bersama instansi terkait akan memperketat pengawasan terhadap pemegang izin tambang resmi, serta menerbitkan surat edaran kepada ratusan pemegang IUP agar mematuhi peraturan dan menyusun RKAB secara tertib.
Bambang juga menyebutkan, saat ini terdapat 176 titik tambang ilegal di Jawa Barat yang tersebar di 16 kabupaten dan satu kota. Seluruh lokasi tersebut telah dilaporkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindak sesuai ketentuan.
Pemulihan
Gunung Kuda merupakan kawasan dengan risiko tinggi terhadap bencana longsor, dan kondisinya semakin parah akibat aktivitas penambangan yang terus berlangsung.
Aktivitas tambang ini menjadi salah satu faktor utama yang mempercepat kerusakan lingkungan di wilayah tersebut.
Berdasarkan pemantauan citra satelit oleh BNPB, degradasi lahan akibat tambang di Gunung Kuda sudah terdeteksi sejak 2009.
Pada 2019, aktivitas tambang di kawasan ini menningkat signifikan, yang turut mempercepat kerusakan lereng.
Selama lebih dari 15 tahun terakhir, penambangan menyebabkan kemiringan lereng Gunung Kuda mencapai 60 derajat, jauh melebihi ambang batas aman.
Kondisi ini secara signifikan meningkatkan potensi longsor, yang dapat membahayakan masyarakat di sekitar kawasan.
Usai insiden, Wakil Ketua DPRD Jabar Ono Surono meminta pemerintah daerah segera mengevaluasi menyeluruh aktivitas tambang yang berisiko merusak lingkungan dan membahayakan keselamatan.
Ia menilai, pemberian izin saja tak cukup. Pemerintah daerah harus memastikan operasional tambang dijalankan sesuai standar teknis dan prinsip keselamatan.
Moratorium izin tambang dinilai langkah awal yang tepat, tetapi perlu diperkuat dengan pengawasan lapangan.
Namun, penutupan tambang juga membawa dampak sosial ekonomi. Banyak warga yang menggantungkan hidup dari sektor ini, baik sebagai pekerja maupun pelaku usaha kecil. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu menyiapkan strategi lanjutan.
Tragedi ini menjadi pengingat bagi pengawasan pertambangan galian C di Jabar, khususnya Kabupaten Cirebon.
Pemerintah daerah seyogyanya, harus konsisten untuk menindak tambang bermasalah dan melakukan pemulihan ruang hidup masyarakat secara berkelanjutan.