Sleman (ANTARA) - Dua hajat besar pesta demokrasi baru saja usai digelar di seluruh pelosok tanah air.
Segala atmosfer yang menyertai pesta lima tahunan ini juga belum juga beranjak menjauh dari ingatan masyarakat Indonesia. Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2025 Serentak berlalu meninggalkan suka duka.
Mulai dari riuhnya bursa kandidat yang akan tampil sebagai calon pemimpin di pusat maupun di daerah, maraknya gambar-gambar para calon wakil rakyat yang menghiasi berbagai media massa maupun media sosial serta titik-titik strategis di sudut kota hingga desa-desa.
Dari kesuksesan pelaksanaan pesta demokrasi itu, ada catatan-catatan kecil dari mereka yang mengemban amanah di menggelar pesta rakyat yang demokratis, aman, jujur dan adil di Yogyakarta.
Kesuksesan menggelar Pemilu 2024 dan Pilkada Serentak 2025, tentu membuat rasa bangga pada diri insan-insan KPU maupun Bawaslu.
Setelah pesta demokrasi itu usai, para penyelenggara pemilihan ini sadar, ternyata pelaksanaan pemilu dan pilkada yang waktunya sangat berdekatan itu menguras energi, konsentrasi dan tentunya waktu.
Belajar dari pengalaman pertama penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak yang waktunya hanya berjarak tak lebih dari satu tahun ini, para penyelenggara pemilihan mengusulkan agar ada jeda waktu dalam penyelenggara dua agenda nasional tersebut.
Sorotan terkait mepetnya pelaksanaan pemilu dan pilkada tersebut secara tegas disampaikan Ketua KPU Afifuddin.
Nakhoda penyelenggara pemilihan ini menyoroti kepadatan jadwal Pemilu 2024 yang disebutnya sebagai pemilu paling rumit dalam sejarah Indonesia, bahkan mungkin dunia.
Dari pengalaman penyelenggaraan pemilihan, dia merasa bahwa beban KPU seperti menjalani double burden, karena belum rampung tahapan pemilu legislatif dan Presiden, sudah harus bersiap menghadapi pilkada.
Dari pengalaman itu, muncul usulan agar ada jeda waktu dalam pelaksanaan, karena kedua momen besar tersebut ternyata sangat beririsan.
Gagasan Ketua KPU itu pun disambut antusias oleh Bawaslu DIY. Pengawas pemilihan di tingkat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini sepakat ada jeda antara pemilu dan pilkada.
Alasan Ketua Bawaslu DIY Mohammad Najib, adanya jeda waktu tersebut penting untuk menjaga kualitas pelaksanaan serta menghindari tumpang tindih yang menyulitkan, khususnya bagi pelaksana pemilihan.
Beban kerja yang tinggi dan jadwal yang berdekatan membuat proses demokrasi menjadi tidak ideal.
Dia mengusulkan pengelompokan ulang jenis pemilu agar lebih proporsional, seperti membedakan antara pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Pemilihan DPR, DPD, dan DPRD dilakukan dalam satu periode, sementara pemilihan presiden, gubernur, dan bupati/wali kota dilakukan dalam periode lainnya.
Alternatif kedua adalah membagi pelaksanaan antara pemilu nasional yakni pemilihan DPR RI, DPD RI dan Presiden serta pemilu lokal yakni pemilihan DPRD, Gubernur, Bupati/Wali Kota, sehingga distribusi beban kerja dan tahapan menjadi lebih seimbang.
Jarak ideal antara dua pemilu itu dua tahun, dengan begitu KPU dan Bawaslu punya ruang untuk evaluasi dan merumuskan perbaikan. Karena melaksanakan Pemilu dan Pilkada dalam tahun yang sama membuat KPU dan Bawaslu tidak cukup punya waktu untuk mengelola siklus pemilu secara wajar.
Pada saat yang sama partai politik dan peserta pemilu untuk pemilu berikutnya juga tidak cukup waktu untuk melakukan konsolidasi dan mempersiapkan diri dengan baik.
Sementara rakyat atau pemilih juga mengalami kejenuhan akibat tidak tersedianya jeda waktu yang cukup antar-Pemilu.
Pemikiran yang sama juga diungkapkan Ketua Bawaslu Kabupaten Sleman Arjuna Al Ichsan Siregar, yang menyatakan adanya jeda waktu yang cukup dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada akan membantu mengoptimalkan dalam melakukan pengawasan setiap tahap dalam pelaksanaannya.
Dengan adanya jeda waktu yang cukup antara pelaksanaan pemilu dan pilkada, misalnya satu atau dua tahun, akan dapat mengoptimalkan penyelenggara dalam melakukan persiapan pelaksanaan setiap tahapan.
Dengan jeda waktu ini, persiapan tahapan pelaksanaan ini dapat dioptimalkan untuk mempersiapkan pasal-pasal pengawasan secara lebih efektif. Dengan waktu yang lebih longgar maka persiapan yang dilakukan dapat lebih baik, karena tidak ada tahapan-tahapan pelaksanaan yang berhimpitan.
Jika belajar dari Pemilu 2024 ada beberapa tahapan yang berhimpitan sehingga memecah konsentrasi kinerja penyelenggara pemilu dalam mempersiapkan tahapannya. Sehingga jika ada jeda waktu yang cukup tentu penyelenggara bisa lebih optimal dalam melakukan persiapan, baik itu KPU maupun Bawaslu.
Pemilu dan pilkada yang berhimpitan waktunya juga ditengarai membuat tingkat partisipasi pemilih menurun karena adanya kejenuhan dari pemilih.
Sebagai contoh, dalam pelaksanaan pemilihan presiden dan legislatif, tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Sleman bisa mencapai angka 90 persen. Namun pada pilkada, tingkat partisipasi pemilih hanya sekitar 75 persen.
Adanya penurunan angka partisipasi pemilih ini menggambarkan secara sekilas bahwa memang tingkat partisipasi itu terdampak dari pelaksanaan pemilu dan pilkada yang saling berdekatan waktunya di tahun yang sama.
Dengan adanya jeda, penyelenggara bisa lebih efektif dalam melakukan sosialisasi maupun dalam upaya mendorong partisipasi pemilih dalam tahapan pelaksanaan pemilu.
Mungkinkah terbuka peluang untuk adanya perubahan dalam pelaksanaan pesta demokrasi di tanah air? Sejak era reformasi, telah beberapa kali ada perubahan penyelenggaraan pemilihan. Berubah untuk lebih baik, tentunya menjadi harapan semua orang.