Jakarta (ANTARA) - Dalam kancah perfilman Indonesia, salah satu genre yang masih mengukuhkan posisinya di box office dengan kekuatan menarik penonton yang tak terbantahkan adalah horor.
Direktur JAFF Market Linda Gozali dalam konferensi JAFF Market di Jakarta, Rabu, mengatakan, "Di dunia, K-pop adalah 'pop culture', itu merambah luar biasa. Tapi buat Indonesia, horor adalah 'pop culture'."
Film horor Indonesia membuktikan dapat meraih popularitas, baik secara komersial maupun kualitas, seperti film "Pengabdi Setan" dan "Perempuan Tanah Jahanam", bukan hanya mencapai "box office" secara domestik, tetapi juga mendapatkan pujian di berbagai festival film internasional.
Kesuksesan horor tidak terbatas pada medium film saja; industri game juga turut "unjuk gigi" dengan game horor lokal seperti "DreadOut" yang berhasil menarik perhatian gamer internasional.
Itu adalah serangkaian cerita manis tentang horor Indonesia yang tidak hanya mampu membangkitkan rasa takut, tetapi juga menyajikan narasi yang kuat dan karakter yang kompleks, memungkinkan penonton untuk terhubung pada level yang lebih dalam daripada sekadar ketegangan sesaat.
Namun di balik pencapaian yang mengesankan itu, masih bisa diperdebatkan di forum publik apakah horor Indonesia bisa dikategorikan sebagai "pop culture" Indonesia? Padahal film tentang budaya Indonesia itu sendiri ada yang berhasil populer secara global, seperti film silat.
Walaupun Indonesia memiliki banyak film horor berkualitas, film silat dinilai lebih menarik dari segi budaya, terutama setelah kesuksesan film "The Raid".
Strategi investasi
Terlepas dari latar belakang budaya, atmosfer takut akan hal yang tidak diketahui adalah "emosi primal" yang dapat dipahami oleh setiap individu. Ditambah dengan kekayaan folklor Indonesia yang tak terbatas, mulai dari kuntilanak, pocong, sundel bolong, hingga berbagai ritual mistis seperti pesugihan, potensi untuk menciptakan genre horor yang unik dan orisinal sangatlah besar.
Juga keberagaman cerita rakyat menjadi sumber inspirasi tak berujung yang dapat diadaptasi dan dikembangkan menjadi narasi horor yang segar dan berbeda dari horor yang biasa ditemukan di perfilman Barat.
Menurut Linda Gozali, untuk benar-benar mengukir nama di kancah internasional, film horor Indonesia memerlukan strategi terencana yang matang. Ini bukan hanya tentang menciptakan film yang menakutkan, tetapi juga tentang memberikan pengalaman sinematik yang tak terlupakan.
Investasi pada produksi harus ditingkatkan secara signifikan, mencakup penggunaan efek visual dan suara yang lebih canggih, serta sinematografi yang memukau.
Kualitas produksi yang meningkat akan membantu film-film horor Indonesia bersaing dengan standar global dan menarik perhatian audiens yang lebih luas.
Selain itu, pengembangan talenta adalah aspek krusial. Talenta ini mencakup tidak hanya aktor, sutradara, dan penulis skenario, tetapi juga tim di belakang layar seperti sinematografer, penata rias efek, dan penata suara yang ahli dalam menciptakan atmosfer horor yang efektif.
Lebih jauh lagi, pemasaran yang agresif dan tepat sasaran di pasar internasional adalah elemen yang tidak boleh diabaikan.
Strategi pemasaran harus mampu mengkomunikasikan keunikan horor Indonesia, menyoroti elemen-elemen folklor yang khas, dan membedakannya dari film horor konvensional.
Mengikuti festival film internasional terkemuka, menjalin koneksi dengan distributor global, dan memanfaatkan platform streaming adalah langkah-langkah penting untuk memperluas jangkauan.
Adaptasi dan kolaborasi
Eksplorasi sub-genre horor yang lebih beragam juga dapat menjadi daya tarik baru dan membuka pintu bagi audiens yang berbeda.
Alih-alih hanya berfokus pada horor supranatural yang telah akrab, film-film dapat mencoba horor kosmik ala H.P. Lovecraft dengan sentuhan lokal, horor psikologis yang menggali sisi gelap pikiran manusia, atau bahkan horor "found footage" dengan narasi yang inovatif dan relevan dengan isu-isu kontemporer.
Film "Waktu Maghrib 2" karya Sidharta Tata adalah contoh terbaru yang berupaya melakukan pendekatan itu. Film itu menyajikan isu tawuran remaja di Indonesia kala malam menjelang dengan tingkah polah remaja-remaja itu, mirip orang-orang yang kerasukan setan.
Penonton diperkenalkan pada premis inti tentang horor yang terjadi kala maghrib menipiskan tirai antara dua dunia, alam nyata dan alam gaib.
Film itu juga memanfaatkan kepercayaan lokal, dan membangun ketegangan secara bertahap tanpa harus mengandalkan "jumpscare" berlebihan. Momen anak-anak yang dirasuki setan membawa senjata tajam lalu menghantui tokoh utama film berpotensi menciptakan atmosfer kekacauan yang menyeramkan.
Ini menunjukkan bahwa film horor Indonesia bisa tetap efektif meski hanya mengandalkan unsur naratif semata.
Pendiri Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) Ifa Isfansyah baru-baru ini memproduksi Angkara Murka (2025), menghadirkan horor bertema pesugihan dengan latar yang unik. Biasanya, film horor mengambil lokasi yang sunyi dan angker, namun film itu mengambil lokasi di pertambangan.
Pada akhirnya, keberhasilan film horor Indonesia di kancah internasional akan sangat bergantung pada kemampuan adaptasi, inovasi, dan kualitas internasional yang mampu bersaing dengan film-film horor dari negara lain.
Kolaborasi internasional juga menjadi kunci untuk membuka gerbang ini. Dengan menggandeng rumah produksi, sutradara, atau penulis skenario dari luar negeri, film horor Indonesia dapat menjangkau distribusi yang lebih luas dan menyesuaikan penceritaan agar lebih relevan dengan audiens global tanpa kehilangan esensi lokalnya.
Kolaborasi semacam itu juga dapat membawa pertukaran pengetahuan dan keahlian yang berharga, serta meningkatkan kualitas produksi secara keseluruhan.
Horor Indonesia memiliki potensi besar, namun kuncinya adalah bagaimana "story-telling" dapat memikat penonton global, tidak hanya dengan menakut-nakuti, tetapi juga dengan menyajikan cerita yang kaya, unik, dan relevan secara universal.