Yogyakarta (ANTARA) - Seekor capung merah tampak hinggap sendirian di sebuah batang kayu dengan latar kuning cerah. Sayap-sayapnya terbuka lebar seolah bersiap untuk terbang.
Citraan itu terlihat pada lukisan berjudul The Red Dragonfly yang dipajang pada salah satu deret panel sebuah pameran seni rupa di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, 17-23 Mei 2025 .
Guratan halus dan detil dengan komposisi warna yang tegas memperlihatkan ketelitian sekaligus daya imajinasi kreatornya.
"Saya tertarik dengan warnanya yang cerah. Jadi, itu enggak seperti capung yang lain," ujar Ruben Rayhan Rotty (24) kepada ANTARA menjelaskan buah karyanya itu.
Ruben adalah salah seorang dari 43 penyandang autis yang dilibatkan dalam pameran lukis bertajuk "I'm Possible: Ekspresikan Dirimu" yang digagas Komunitas Seni Pesona Autistik Indonesia (PAI).
Bagi Ruben, ini kali pertama karyanya tampil di Yogyakarta. Selama ini ia lebih sering mengikuti pameran di Jakarta, termasuk pameran tunggal di Darmawangsa Square, bahkan ia sempat mengikutkan salah satu lukisannya dalam ajang internasional di Singapura.
Dukungan keluarga menjadi kekuatan penting dalam perjalanan pemuda asal Bintaro itu. Ani Rotty Martokoesoemo, sang ibu, mengakui bahwa proses menerima tak selalu mudah, tapi kejujuran dan keterlibatan seluruh keluarga besar merupakan fondasi yang menguatkan langkahnya.
Saat kata-kata belum lancar keluar, Ruben kecil memilih menjawab dengan gambar. Di usia tiga sampai empat tahun, ia mulai menunjukkan ketertarikan yang kuat pada aktivitas menggambar.
Seorang psikolog lantas menyarankan les menggambar sebagai bagian dari terapi. Namun, keluarga lebih dulu memprioritaskan terapi kemandirian dan bela diri. Baru pada usia 13 tahun Ruben mulai menekuni melukis secara serius.
Kini, Ruben yang merupakan lulusan S1 Desain Komunikasi Visual Universitas Multimedia Nusantara Jakarta menjadi "freelancer" atau pekerja lepas di bidang ilustrasi.
Dia ingin menjadi pelukis atau ilustrator profesional. Beberapa karyanya sudah terjual, bahkan pernah mencapai harga Rp22 juta.
Namun, lebih dari pencapaian itu, Ruben berharap lukisannya bisa memberi semangat bagi para penyandang autis lainnya.
"Setiap orang punya cerita yang berbeda-beda. Tapi dengan berkebutuhan khusus, jangan menyerah. Terus cari solusi supaya bisa maju," ucap pria berkacamata itu.
Selain lukisan beraliran realis seperti karya Ruben, sejumlah lukisan lain menampilkan gaya yang lebih bebas dan emosional. Salah satunya karya berjudul "Kembali ke Jalan yang Benar" yang dibuat Anugrah Fadly K, atau acap disapa Uga.
Dalam lukisan ekspresionis itu, beberapa botol minuman keras terletak di sisi kiri dan kanan dengan api menyala dari mulut botol. Di tengah, tampak sosok manusia duduk bersimpuh dengan tangan menengadah dalam posisi berdoa. Warna-warna kontras seperti merah dan hitam dipoleskan dengan kuas kasar membentuk kesan pergolakan batin yang kuat.
"Ini untuk merenungi dosa-dosa yang sudah ada," ucap Uga.
Lukisan itu dibuat Uga pada medio 2018, setelah melewati masa sulit di awal kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Kala itu, ia sempat larut dalam pergaulan dan mulai mengonsumsi minuman keras. Ketika orang tuanya mengetahui hal itu, konflik tak terhindarkan. Namun dari teguran sang bapak, Uga tersadar dan memilih menjadi marbot di masjid kampus sembari kuliah dan akhirnya menuangkan semuanya ke dalam lukisan.
Bagi Uga, melukis adalah cara berdamai dengan diri sendiri. Ia menuangkan rasa bersalah dan semangat memperbaiki diri lewat media visual. Kini, karya itu menjadi bagian dari data tesis S2-nya di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang membahas seni sebagai terapi.
"Sejak Uga kecil saya tahu bahwa seni adalah bagian dari terapinya. Saya ajarkan dia melukis, saya cari referensinya, dan saya teruskan sampai sekarang," tutur Samudro, ayah Uga yang juga seorang dosen.
Seni sebagai terapi
Dosen Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pascasarjana UGM Hadjar Pamadhi menjelaskan bahwa seni, khususnya seni rupa seperti melukis, bekerja langsung pada sistem neurologis anak penyandang autisme.
Dalam ilmu neurologi modern terdapat dua sistem utama yang memengaruhi perkembangan yakni neurokognitif, yang menyerap informasi dari luar, dan neuroestetik, yang memunculkan kepekaan terhadap seni dari dalam diri.
"Saat anak diajak melukis, kedua sistem itu bekerja bersamaan. Warna, bentuk, dan kreativitas yang ditangkap otak bisa membangkitkan potensi tersembunyi mereka," ujar Hadjar.
Kendati autisme tak bisa disembuhkan sepenuhnya, namun potensi anak bisa berkembang pesat dengan stimulasi yang tepat dan berkelanjutan.
Dukungan terhadap peran seni sebagai medium terapi juga datang dari pendiri Yayasan Nalar Naluri Nurani, Prof Muhammad Baiquni.
Baiquni yang juga Ketua Dewan Guru Besar UGM memandang seni, terutama seni rupa, sebagai salah satu terapi yang efektif bagi penyandang autisme karena mampu memadukan kerja otak kanan dan kiri, serta menyatukan nalar, naluri, dan nurani manusia.
Istilah "Art therapy" atau seni sebagai medium terapi ini pertama kali dikenalkan oleh seorang seniman sekaligus penulis asal Inggris, Adrian Hill pada 1942. Hill menemukan manfaat dari melukis dan menggambar saat sedang dalam masa pemulihan dari tuberkulosis.
Lebih dari terapi, menurut Baiquni, menggambar dan melukis bukan sekadar kegiatan estetika, melainkan bagian dari upaya memanusiakan manusia dan membangun kemuliaan hati.
Seni, katanya, menjadi jalan untuk menghadirkan kembali martabat manusia melalui cara yang lembut dan reflektif.
Baginya, pendidikan semestinya tidak hanya mengutamakan pencapaian akademik atau kecerdasan logis karena anak-anak dengan kebutuhan khusus juga harus dimuliakan dan diberi ruang berkembang agar potensi mereka yang unik bisa tumbuh menjadi prestasi.
Tak hanya seni rupa, Baiquni juga menghubungkan terapi seni dengan unsur alam, seperti praktik "mandi oksigen" atau shinrin yoku dari Jepang, dan seni menata batu (rock balancing). Semua itu, menurutnya, adalah bagian dari terapi alami yang merangsang ketenangan dan keseimbangan batin.
Ia percaya bahwa seni dan alam adalah dua kekuatan yang bisa menyeimbangkan kehidupan. Ketika kedua hal itu dikaitkan dengan terapi, terutama bagi anak-anak autis, dampaknya bisa sangat signifikan membantu mereka membentuk nalar emosional, menyusun ulang makna, serta menemukan kembali rasa percaya diri.
Warna sebagai bahasa
Pameran seni rupa "I'm Possible: Ekspresikan Dirimu" bukan sekadar ajang unjuk karya. Di balik puluhan lukisan yang dipamerkan ada proses panjang yang melibatkan emosi, refleksi, dan penyembuhan.
Mirah Hartika, Ketua Komunitas Seni Pesona Autistik Indonesia (PAI) sekaligus penggagas pameran, menyebut bahwa pameran ini menjadi ruang aman dan ekspresif bagi para penyandang autis yang selama ini mungkin kesulitan mengungkapkan perasaan mereka secara verbal. Di sinilah seni berperan sebagai jembatan komunikasi, terapi, dan pengakuan eksistensi.
"Lewat seni, mereka bisa menyampaikan apa yang tak bisa diucapkan," tutur Mirah.
Mirah menyadari bahwa dukungan bagi kegiatan seni penyandang autisme di Yogyakarta belum semeriah di Jakarta.
Karena itu, ia berinisiatif menggandeng jejaring lokal seperti Forum Kompak Jogja, Yayasan Permata Ananda, dan Studio Tanjakan 98. Dengan melibatkan komunitas, ia berharap kesadaran kolektif bisa tumbuh dan seni dipahami bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai kebutuhan.
Ani, ibu Ruben, memahami betul bahwa tak semua keluarga memiliki kondisi finansial atau akses yang sama dalam mendampingi anak berkebutuhan khusus.
Ia berharap kebersamaan dalam komunitas, serta saling bantu antarorang tua di Indonesia bisa terbangun disertai keyakinan bahwa jalan keluar akan selalu ada meski dalam keterbatasan.
"Yang utama, keluarga jangan sampai putus asa. Kita ini, ditunjuk Tuhan," ucap Ani pelan dengan mata berkaca.
