Bogor (ANTARA) - Masyarakat adat memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan sebagaimana dibahas dalam diskusi Daulat Pangan Nusantara yang diinisiasi Yayasan Kehati di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Sabtu.
Manajer Advokasi Kebijakan Lingkungan Yayasan Kehati Muhamad Burhanudin menyebutkan, masyarakat adat telah menunjukkan bahwa praktik dan pengetahuan yang mereka miliki mampu memenuhi kebutuhan kedaulatan pangan mereka sekaligus tetap melindungi alam.
“Saat kita melestarikan pangan lokal, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga mempertahankan fungsi-fungsi ekologis hutan, air, dan tanah. Ini adalah investasi masa depan. Selama ratusan tahun, masyarakat adat Nusantara sudah mempraktikkannya,” kata Burhanudin.
Menurut dia, Indonesia adalah rumah bagi 50–70 juta masyarakat adat (sekitar 18–25 persen populasi nasional) yang memainkan peran penting dalam menjaga ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan.
Melalui sistem pangan lokal berbasis kearifan tradisional, seperti ladang berpindah, subak, dan repong damar, sasi, lubuk larangan, serta praktik agroekologis yang menjaga biodiversitas dan siklus alam, mereka menjadi benteng konservasi hutan dan sumber pangan berkelanjutan.
Dengan potensi 30,1 juta hektar hutan adat, mereka mampu menyediakan pangan tanpa merusak lingkungan dan menjamin ketahanan pangan jangka panjang berbasis keadilan ekologis.
“Ini dapat berkontribusi vital dalam menghadapi krisis iklim dan membangun masa depan yang berdaulat dan berkelanjutan,” ungkap Burhanudin yang juga Inisiator Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI).
Namun, modernisasi pertanian di Indonesia telah membawa konsekuensi serius bagi masyarakat adat dan lokal. Varietas benih lokal menghilang, digantikan oleh benih homogen, sementara lahan-lahan produktif dialihfungsikan menjadi perkebunan skala besar, tambang, dan proyek food estate.
Di sisi lain, perubahan iklim menyebabkan cuaca ekstrem, pergeseran musim tanam, banjir, dan kekeringan yang mengancam ketahanan pangan komunitas lokal.
Di sisi lain, ketimpangan agraria makin tajam, dengan 30,1 juta hektar wilayah adat yang terdaftar, namun baru 265.250 hektar hutan adat yang diakui secara sah (BRWA, 2024). Ironisnya, 8,16 juta hektar di antaranya tumpang tindih dengan izin konsesi tambang dan perkebunan, dan lebih dari 11 juta hektare menjadi lokasi konflik agraria. Masyarakat adat kerap tersingkir dan terusir dalam konflik tersebut, baik terkait konflik dengan lahan konsesi maupun konservasi.
“Ekosistem pangan lokal terdesak oleh ekspansi sawit, tambang, dan pembangunan infrastruktur yang mengabaikan keberlanjutan ekologis. Ini bukan sekadar kehilangan pangan, tapi kehilangan hidup itu sendiri bagi banyak komunitas adat,” ujarnya.
Burhanudin juga mendesak agar kebijakan lingkungan dan pangan tidak lagi bersifat sektoral dan eksploitatif.
Ia mendorong integrasi kebijakan berbasis bentang alam dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai garda depan konservasi pangan Nusantara. Salah satu upaya strategis yang harus ditempuh adalah segera disahkannya RUU Masyarakat Adat.
“Regulasi hari ini harus melindungi, bukan menghambat masyarakat adat yang telah ratusan tahun menjaga bumi lewat pangan mereka,” ucap Burhanudin.
Kehati: Masyarakat adat kunci kedaulatan pangan dan ekologi
Sabtu, 17 Mei 2025 19:58 WIB

Diskusi Daulat Pangan Nusantara yang diinisiasi Yayasan Kehati di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Sabtu (17/5/2025). ANTARA/HO-Kehati