Jakarta (ANTARA) - "Air tenang menghanyutkan." Peradaban yang tampak megah di atas fondasi ilmu dan teknologi modern ternyata menyembunyikan arus deras kehancuran ekologi. Krisis lingkungan bukan sekadar dampak dari keserakahan manusia, melainkan juga lahir dari cara kita berpikir tentang alam: apakah ia sekadar sumber daya, ataukah ibu yang harus dijaga?
Kini, di era kecerdasan buatan (AI — Akal Imitasi), nanoteknologi, dan rekayasa biologis seperti stem cells serta nanoimunobioteknomedisin, paradigma eksploitasi semakin kompleks, merambah hingga ke batas moral dan etika.
Martin Heidegger memperingatkan dalam The Question Concerning Technology bahwa teknologi bukan sekadar alat, tetapi cara manusia menyingkap realitas. Alam kini tak lagi "diizinkan" menunjukkan dirinya, melainkan dipaksa tunduk dalam logika kapitalisme data dan eksploitasi bioindustri.
Filsuf asal Prancis Jacques Derrida, dengan dekonstruksinya, menantang oposisi biner antara manusia dan alam — mempertanyakan klaim superioritas manusia atas lingkungan sebagai suatu konstruk yang bisa diretas dan direstrukturasi.
Sejak era pencerahan (enlightenment), manusia mulai memandang alam sebagai mesin raksasa yang dapat diukur, dianalisis, dan dimanipulasi. Carolyn Merchant dalam The Death of Nature menggambarkan bagaimana revolusi ilmiah abad ke-16 mengubah metafor alam dari terra mater (ibu bumi) menjadi objek mekanistik yang boleh dieksploitasi. Alam bukan lagi sesuatu yang sakral, tetapi sumber daya yang harus ditundukkan.
Hutan tropis ditebang tanpa henti, lautan menjadi asam, biodiversitas menyusut drastis, dan perubahan iklim mempercepat kehancuran ekosistem. Kita telah memasuki era Antroposen — zaman geologi di mana jejak tangan manusia lebih mendominasi lanskap bumi ketimbang proses alami.
Gagasan etika lingkungan berkembang ke berbagai arah. Pertama, antroposentrisme moderat. Alam harus dijaga demi kesejahteraan manusia. Prinsip keberlanjutan menjadi pijakan utama.
Kedua, zoosentrisme dan biosentrisme. Zoosentrisme menekankan perjuangan hak-hak binatang sementara biosentrisme mengenali hak alam semesta dan berusaha menjaga keberagaman ekosistem dengan tidak mengeksploitasi satu spesies di atas yang lainnya.
Ketiga, ekosentrisme yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem tanpa memihak pada satu entitas tertentu.
Keempat, deep ecology, etika yang memandang bahwa manusia merupakan bagian integral dari lingkungannya. Arne Naess mengajukan delapan prinsip ekologi mendalam, termasuk pengurangan populasi manusia dan kesadaran bahwa nilai kehidupan non-manusia tidak bergantung pada manusia.
Kelima, ecofeminisme: Rosemary Radford dan Francoise d’Eaubonne mengkritisi bagaimana patriarki tidak hanya menindas perempuan tetapi juga memperlakukan alam dengan cara yang sama: sebagai objek eksploitasi.
Apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan apakah mereka akan hidup dalam dunia yang masih hijau atau hanya mewarisi reruntuhan peradaban. Kemajuan peradaban yang seharusnya membawa kesejahteraan tidak seharusnya menjadi senjata yang merusak keseimbangan alam. Ketika teknologi dan akal buatan menggantikan kebijaksanaan alami, manusia semakin jauh dari harmoni dengan lingkungan.
Kita harus segera menyadari itu, agar tidak meninggalkan warisan kehancuran bagi generasi mendatang.
*) Dokter Dito Anurogo MSc PhD adalah pembelajar filsafat, alumnus IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen tetap di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia, peneliti Institut Molekul Indonesia
Baca juga: Dalam pertemuan di Prancis, Menkomdigi komitmen tata kelola AI
Baca juga: Pemerintah harus punya strategi nyata bangun ekosistem AI