Bogor, (Antara Megapolitan) - Guru Besar Teknologi Pertanian IPB Prof Nastiti Siswi Indrasti menyebutkan pemilihan sampah mulai dari masyarakat menjadi sangat penting sebagai kunci utama dalam menangani masalah persampahan yang terus menumpuk.
"Apabila sampah terkelola dengan baik, maka persoalan sampah dapat diselesaikan secara bertahap," kata Nastiti yang sudah meneliti soal sampah sejak 1996, saat ditemui di Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat.
Nastiti mengatakan, untuk bisa keluar dari persoalan penumpukan sampah, perlu ada kemauan yang didukung kebijakan politik dari pemerintah, termasuk etika menangani sampah.
"Yang paling penting mengedukasi masyarakat supaya memilah-milah sampah mulai dari rumah, karena 65 persen sampah yang dihasilkan dapat diolah," katanya.
Ia mengatakan, sejak awal proses penanganan sampah di Indonesia mulau dari produksi di rumah tangga, perkantoran, industri, restoran, tingkat RT, berlanjut tingkat RW, kelurahan hingga kekecamatan dan kota madya dicampur semua baik organik dan non organik. Produksi sampah di masyarkaat 65 persen organik dan sisanya non organik.
Dikatakannya, kalaupun sudah ada Bank Sampah, atau masyarakat yang mulai melakukan pemilahan sampah dari rumah, tetapi sampah yang diangkut oleh petugas ditingkat RT, RW, kelurahan dan kecamatan, hingga diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir masih tetap mencampurkan sampah yang sudah terpilah.
"Sarana dan prasaran, serta edukasi terkait pemilahan dilakukan secara berjenjang, mulai dari masyarakat, petugas pengangkut sampah, dinas, instansi hingga pemerintah, bahkan pemerintah pusat sekaligus," katanya.
Menurutnya, apabila pola pembuangan sampah yang dilakukan masyarakat tetap menggunakan metode lama tanpa melakukan pemilahan, seluas apapun lahan tempat penampungan sampah (TPA) tidak akan mampu menampung sampah yang tidak terkelola dengan baik.
"Meski sampah yang dibuang ke TPA, contohnya Bantar Gebang, akan terurai, tapi karena tercampur dengan sampah non organik, maka prosesnya akan lebih lama. Selain itu, kompos yang dihasilkan kualitasnya jelek karena tercampur dengan sampah lainnya," kata dia.
Dikatakannya, bila sudah ada kesadaran untuk melakukan pemilihan sampah dari tingkat masyarakat, 65 persen sampah organik yang dihasilkan sudah mengurangi beban pengangkutan ke TPA, karena sudah diolah sendiri oleh masyarakat untuk dijadikan kompos. Kompos yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk pupuk tanaman, ataupun mereklamasi bekas tambang.
Ia mengatakan, jika masyarakat diberikan pelatihan untuk mengolah sampah non organik menjadi bahan-bahan bernilai ekonomis, maka akan semakin sedikit sampah yang dikirim ke TPA.
"Perlu ada payung hukum yang kuat dari pemerintah, agar aturan mengenai sampah ini ditegakkan. Misalnya kalau sudah disepakati pengolahan, apabila ada yang melanggar sanksinya tegas berlaku. Bisa juga aturan untuk mewajibkan developer perumahan menyediakan fasilitas umum pengolahan sampah organik sebagai kompos," katanya.
Nastiti juga menambahkan, perlu ada perhatian pemerintah kepada masyarakat yang sudah menerapkan pengolahan sampah secara baik, dengan dukungan fasilitas, seperti lahan untuk pengolahan, dan insentif untuk para pekerjanya.
"Karena tentu masyarakat tidak memiliki dana lebih untuk mengupah orang yang mengolah sampah. Mereka sudah dibebankan dengan retribusi setiap bulan, untuk mengupah pekerja sampah. Kalau mereka terkendala lahan tempat pengolahan, pemerintah bisa membantu memfasilitasi," kata dia.
Pemilihan Kunci Utama Penanganan Sampah
Jumat, 13 November 2015 14:10 WIB
Apabila sampah terkelola dengan baik, maka persoalan sampah dapat diselesaikan secara bertahap.