Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, hingga 20 April 2020, sudah ada 241.431 pekerja sektor formal yang terkena PHK dan 1,3 juta lainnya dirumahkan akibat dampak pandemi ke dunia usaha. Bahkan menurut proyeksi Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, pengangguran terbuka secara nasional pada kuartal II/2020 bisa bertambah 4,25 juta orang untuk sekenario ringan akibat COVID-19, 6,68 juta orang dalam skenario sedang, dan 9,25 juta orang pada kondisi terburuk.

Denyut nadi perekonomian nasional sudah sangat lemah setelah COVID-19 dinyatakan masuk pada 2 Maret. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha mengindikasikan aktivitas bisnis menurun signifikan pada kuartal I/2020. Pertumbuhan saldo bersih tertimbang turun signifikan (-5,6%) pada kuartal I/2020 dari 7,8% pada kuartal sebelumnya. Begitu juga industri pengolahan turun sangat dalam dan berada dalam zona kontraksi. Prompt Manufacturing Index (PMI) tercatat 45,6% di kuartal I/2020, turun dari 51,5% pada kuartal sebelumnya.

Dari sisi permintaan juga terlihat sangat lemah. Penjualan ritel berlanjut turun 0,8% (yoy) pada Februari 2020 seperti dua bulan sebelumnya. Untuk itu, Indonesia membutuhkan stimulus fiskal dan moneter yang superagresif seperti yang dilakukan banyak negara lain. Perppu dan POJK yang sudah ditebitkan seharusnya menjadi angin segar dan harapan baru.

Sementara itu, tingkat kriminalitas di Jakarta pasca dikeluarkannya ribuan Napi dalam program asimilasi yang ternyata banyak diantaranya kambuh kembali, menyebabkan derita anak bangsa semakin mengenaskan, karena kriminalitas semakin menunjukkan trend yang naik dan meluas.

Belum lagi adanya penolakan pemakaman korban Covid-19 oleh beberapa masyarakat di berbagai daerah, penyaluran bantuan sosial yang rawan kurang tepat sasaran dan rawan dipolitisasi untuk kepentingan Pilpres 2024, termasuk adanya kemungkinan “moral hazard” penggunaan dana Covid-19, ditambah dengan adanya judicial review terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 di MK oleh sejumlah politisi, tokoh, dan civil society membuat langkah pemerintah untuk menyelesaikan segera Covid-19 semakin berat dan banyak kerikilnya.

Situasi sama kronisnya juga terjadi di 210 negara yang terserang wabah Covid-19 seperti Amerika Serikat yang positif Covid-19 sudah mencapai 1 juta orang, termasuk banyaknya aksi vandalisme dan kekerasan sebagai ekses negatif Covid-19. Brasil disebut-sebut akan menjadi epinsentrum global penyebaran Covid-19 karena dinilai kurang taat dalam melaksanakan lockdown.

Hanya beberapa negara yang penanganan Covid-19 sudah membuahkan hasil seperti Selandia Baru, Vietnam, Bhutan dan beberapa negara lainnya mulai geliat kegiatan masyarakatnya, walaupun WHO tetap memberikan warning agar negara-negara yang menurunkan status kewaspadaan lockdownnya tetap waspada, karena menurut WHO, Covid-19 masih “senang berlama-lama” di dunia.

Sejumlah pemerintahan di semua negara yang terserang Covid-19 jelas akan berpacu dalam waktu dengan penanganan secepatnya Covid-19 di negaranya, atau mereka akan mendapatkan pendadakan strategis lanjutan bahkan sampai ke tingkat yang paling parah yaitu social riots, political and security turbulence sampai beberapa penguasa bahkan harus “ousted from his/her throne” karena ketidakpercayaan masyarakatnya semakin meluas.

Ketahanan pangan, kedisiplinan, kepatuhan, ketersediaan cash flow, ketegasan pemerintah untuk menerapkan regulasi terkait lockdown/karantina wilayah atau PSBB, termasuk solidaritas global akan menjadi kunci-kunci penting dalam upaya #BersatuMelawanCorona, karena jika wabah ini lama berakhirnya kita tidak bisa membayangkan apa tragedi mengerikan dalam “the next scene” yang akan menimpa kita dan masyarakat global. Kita berharap dan berdoa semoga wabah ini segera teratasi, dan kita segera menyadari kekhilafahan, dosa bahkan kesombongan kita selama ini yang mungkin membuat penguasa alam menjadi murka. Semoga, kita cari hikmahnya saja. (60/*).

*) Penulis adalah, Pemerhati masalah Indonesia.

Pewarta: Oleh: Otjih S *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020