Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR pada 22 Januari 2020 menekankan bahwa pihaknya tetap bersikeras untuk menyelesaikan pembahasan perubahan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua. Hal ini beliau jadikan perhatian utama mengingat UU yang lama hanya berlaku selama 20 tahun. Itu berarti, di tahun 2021, kebijakan mengenai Otsus tidak lagi memiliki landasan hukum di Papua.
Dalam skenario yang dibangun Pemerintah, pemebahasan RUU Otsus Papua yang baru memiliki dua opsi. Opsi pertama, Otsus Papua yang baru akan dilanjutkan menggunakan alokasi dana dari Dana Alokasi Umum (DAU). Sementara opsi kedua revisi Otsus akan berpatokan pada amanat presiden tentang Pemerintahan Otsus bagi Papua di tahun 2014. Kedua opsi tersebut masih terus digali melalui delapan poin pembahasan yang hingga saat ini belum rampung.
Selama perjalanan sejarah, UU Otsus Papua telah menjadi semacam konsesi sosial ekonomi yang sangat besar terutama dalam pembagian hasil SDA prioritas pendidikan kesehatan dan pemberdayaan ekonomi orang asli Papua. Tidak hanya pendekatan sosial ekonomi, UU Otsus juga memberikan konsesi politik dan HAM yang sangat luas. Salah satu yang paling unik adalah Majelis Rakyat Papua MRP yang diharapkan berfungsi sebagai lembaga perwakilan orang asli Papua.
Melihat perannya yang cukup penting bagi Pemerintah, baik pusat maupun daerah Papua sendiri, maka seharusnya rencana revisi UU Otsus Papua adalah hal esensial yang harusnya dipahami urgensinya untuk segera diselesaikan. Namun, mengapa membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan revisi tersebut?.
Keperluan untuk Evaluasi Perjalanan 20 Tahun Otsus Papua Selama pelaksanaan implementasinya, UU Otsus Papua yang disahkan pada tahun 2001 mengalami pasang-surut politis, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Banyak pihak yang memiliki kepentingan di dalamnya sehingga, tidak jarang iterpretasi dalam setiap ayat di UU tersebut mengalami kesalahan tafsir. Pada akhirnya, apa yang diamanatkan konstitusi justru tidak tercapai, yaitu untuk mendukung peningkatan kualitas hidup manusia di Papua melali koreksi Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya.
Apabila diperhatikan selama perjalanan 20 tahun Otsus Papua, anggaran yang seharusnya digunakan sebagai penjungkit bagi aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi masyarakat Papua dan Papua Barat justru belum tepat sasaran sepenuhnya. Pada beberapa pertanggungjawaban anggarannya, cenderung diisi oleh pelaksanaan kegiatan normatif yang mendukung kepentingan politik tertentu.
Oleh karena itu, evaluasi total memang diperlukan sebagai bahan koreksi agar perjaanan panjang Otsus Papua di masa yang akan datang tidak mengulang pola yang sama seperti 20 tahun belakangan. Hal tersebut tentu membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari berbagai lapisan pemerintah serta legislatif.
Upaya memperkecil Potensi Kebocoran Anggaran Akibat Tindak Korupsi Berkaca dari Otsus Aceh, Pemerintah banyak belajar bahwa anggaran Otsus sangat rentan tindak penyelewengan. Otsus Aceh sebagai contoh, di tahun 2018, justru menjadi alasan Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf, serta Bupati Bener Meriah, Ahmadi, terpaksa harus ditangkap oleh KPK dalam operasi tangkap tangan. Keduanya ditangkap karena penerimaan hadian yang berkaitan dengan alokasi dan penyaluran dana Otsus TA 2018.
Tidak ingin hal tersebut kembali terulang, pada Kabinet Presiden RI Joko Widodo yang kedua kali ini, Kementerian Dalam Negeri jauh lebih berhati-hati untuk lebih menutup celah yang ada pada regulasi Otsus yang ada. Prolegnas pada RUU Otsus Papua ini menjadi salah satu momentum untuk mengoreksi celah kesempatan korupsi agar program-program yang dianggarkan pada pelaksanaan Otsus Papua berikutnya lebih tepat sasaran, bukan hanya bersifat Sent, tetapi juga Delivered kepada masyarakat Papua dan Papua Barat.
Optimisme Pembangunan Tanah Papua
Di atas semua itu, kita tidak bisa memungkiri bahwa pelaksanaan Otsus di tanah Papua memang memberikan kebakan kepada masyarakatnya. Papua menjadi lebih baik secara signifikan dari berbagai aspek, yang terlihat dari kondisinya saat ini. Namun tentu kita ingin hal ini bisa semakin dimaksimalkan dengan hasil yang lebih memuaskan. Papua harus terus dirangkul sampai pada saatnya nanti seluruh daerah di Indonesia bisa memiliki kualitas hidup yang sama dan merata. (33/*).
*) Penulis adalah, Mahasiswa Pasca Sarjana di Bogor.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Dalam skenario yang dibangun Pemerintah, pemebahasan RUU Otsus Papua yang baru memiliki dua opsi. Opsi pertama, Otsus Papua yang baru akan dilanjutkan menggunakan alokasi dana dari Dana Alokasi Umum (DAU). Sementara opsi kedua revisi Otsus akan berpatokan pada amanat presiden tentang Pemerintahan Otsus bagi Papua di tahun 2014. Kedua opsi tersebut masih terus digali melalui delapan poin pembahasan yang hingga saat ini belum rampung.
Selama perjalanan sejarah, UU Otsus Papua telah menjadi semacam konsesi sosial ekonomi yang sangat besar terutama dalam pembagian hasil SDA prioritas pendidikan kesehatan dan pemberdayaan ekonomi orang asli Papua. Tidak hanya pendekatan sosial ekonomi, UU Otsus juga memberikan konsesi politik dan HAM yang sangat luas. Salah satu yang paling unik adalah Majelis Rakyat Papua MRP yang diharapkan berfungsi sebagai lembaga perwakilan orang asli Papua.
Melihat perannya yang cukup penting bagi Pemerintah, baik pusat maupun daerah Papua sendiri, maka seharusnya rencana revisi UU Otsus Papua adalah hal esensial yang harusnya dipahami urgensinya untuk segera diselesaikan. Namun, mengapa membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan revisi tersebut?.
Keperluan untuk Evaluasi Perjalanan 20 Tahun Otsus Papua Selama pelaksanaan implementasinya, UU Otsus Papua yang disahkan pada tahun 2001 mengalami pasang-surut politis, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Banyak pihak yang memiliki kepentingan di dalamnya sehingga, tidak jarang iterpretasi dalam setiap ayat di UU tersebut mengalami kesalahan tafsir. Pada akhirnya, apa yang diamanatkan konstitusi justru tidak tercapai, yaitu untuk mendukung peningkatan kualitas hidup manusia di Papua melali koreksi Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya.
Apabila diperhatikan selama perjalanan 20 tahun Otsus Papua, anggaran yang seharusnya digunakan sebagai penjungkit bagi aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi masyarakat Papua dan Papua Barat justru belum tepat sasaran sepenuhnya. Pada beberapa pertanggungjawaban anggarannya, cenderung diisi oleh pelaksanaan kegiatan normatif yang mendukung kepentingan politik tertentu.
Oleh karena itu, evaluasi total memang diperlukan sebagai bahan koreksi agar perjaanan panjang Otsus Papua di masa yang akan datang tidak mengulang pola yang sama seperti 20 tahun belakangan. Hal tersebut tentu membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari berbagai lapisan pemerintah serta legislatif.
Upaya memperkecil Potensi Kebocoran Anggaran Akibat Tindak Korupsi Berkaca dari Otsus Aceh, Pemerintah banyak belajar bahwa anggaran Otsus sangat rentan tindak penyelewengan. Otsus Aceh sebagai contoh, di tahun 2018, justru menjadi alasan Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf, serta Bupati Bener Meriah, Ahmadi, terpaksa harus ditangkap oleh KPK dalam operasi tangkap tangan. Keduanya ditangkap karena penerimaan hadian yang berkaitan dengan alokasi dan penyaluran dana Otsus TA 2018.
Tidak ingin hal tersebut kembali terulang, pada Kabinet Presiden RI Joko Widodo yang kedua kali ini, Kementerian Dalam Negeri jauh lebih berhati-hati untuk lebih menutup celah yang ada pada regulasi Otsus yang ada. Prolegnas pada RUU Otsus Papua ini menjadi salah satu momentum untuk mengoreksi celah kesempatan korupsi agar program-program yang dianggarkan pada pelaksanaan Otsus Papua berikutnya lebih tepat sasaran, bukan hanya bersifat Sent, tetapi juga Delivered kepada masyarakat Papua dan Papua Barat.
Optimisme Pembangunan Tanah Papua
Di atas semua itu, kita tidak bisa memungkiri bahwa pelaksanaan Otsus di tanah Papua memang memberikan kebakan kepada masyarakatnya. Papua menjadi lebih baik secara signifikan dari berbagai aspek, yang terlihat dari kondisinya saat ini. Namun tentu kita ingin hal ini bisa semakin dimaksimalkan dengan hasil yang lebih memuaskan. Papua harus terus dirangkul sampai pada saatnya nanti seluruh daerah di Indonesia bisa memiliki kualitas hidup yang sama dan merata. (33/*).
*) Penulis adalah, Mahasiswa Pasca Sarjana di Bogor.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020