Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengantisipasi dampak ekonomi dari covid-19 dengan mengeluarkan paket kebijakan stimulus ekonomi jilid I, II, dan III. Namun, CORE Indonesia mendorong pemerintah untuk melakukan tujuh poin penting untuk mengantisipasi semakin buruknya covid-19 menghantam perekonomian dalam negeri.
Pertama, perlu percepatan pengobatan dan pencegahan yang lebih luas dengan menerapkan kebijakan at all cost. “Memang akan membebani pemerintah. Namun, perhitungan kemanusiaan harus lebih dikedepankan jika dibandingkan dengan kalkulasi ekonomi,” ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal melalui keterangan resmi, kemarin.
Kedua, pemerintah dapat mengurangi beban biaya yang secara langsung dalam kendali pemerintah seperti tarif dasar listrik, BBM, hingga air bersih. Hal itu perlu dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Ketiga, memperluas kebijakan relaksasi pajak penghasilan (PPh) yang saat ini baru dilakukan pada PPh 21, 22, dan 25 dengan sektor yang terbatas pada sektor manufaktur. Padahal, sektor manufaktur bukan satu-satunya sektor yang terdampak oleh pandemi covid-19.
“Pemerintah perlu melakukan relaksasi pajak seperti pemberian potongan pajak, percepatan pembayaran restitusi, dan penundaan pembayaran cicilan pajak kepada sektor-sektor yang terkena dampak paling parah, seperti sektor transportasi dan pariwisata,” jelas Faisal.
Keempat, pemerintah perlu menjamin kelancaran pasokan dan distribusi terutama pangan. Itu diperlukan sebagai pendorong dari kebijakan yang akan diambil untuk menyorong daya beli masyarakat bawah melalui bantuan langsung tunai (BLT).
Kelima, penyaluran BLT harus diikuti dengan ketepatan data penerima bantuan dan perbaikan mekanisme serta kelembagaan dalam penyalurannya. Keenam, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mengeluarkan kebijakan yang mendorong lembaga keuangan untuk melakukan rescheduling dan refinancing utang sektor swasta. Terakhir, menurut Faisal, pada sisi fi skal perlu diperlebar defi sit anggaran dari batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara. Di sisi moneter, Indonesia perlu mencontoh otoritas moneter yang aktif terjun memberikan insentif seperti The Fed yang mempunyai kebijakan quarantine easing untuk menginjeksi likuditas ke masyarakat.
“Peraturan BI No 10/13/PBI/2008 ataupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara perlu direvisi untuk memberikan keleluasaan BI membeli SUN di pasar keuangan primer untuk mengakomodasi kepentingan pembiayaan negara,” pungkas Faisal.
Menurut penulis, selain apa yang telah dikemukakan oleh pihak Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, maka ada beberapa strategi lainnya untuk menyelamatkan perekonomian nasional yang defisit anggarannya sudah membengkak 5,07 % (padahal yang diperbolehkan dalam undang-undang hanya 3%, namun karena forece majeur hal ini masih dibenarkan, sehingga tidak ada implikasi politisnya kepada pemerintahan).
Beberapa strategi yang lain antara lain : pertama, kebijakan tidak membayar THR dan gaji ke-13 diberlakukan untuk ASN golongan IV, pejabat eselon I dan II di setiap kementerian/lembaga, perwira menengah (Kolonel/Kombes) sampai perwira tinggi di TNI, Polri, pengurangan tunjangan kinerja pejabat eselon I dan II, pengurangan biaya taktis dan operasional.
Kedua, perlu pengawasan yang ketat terkait relokasi anggaran APBN dan APBD yang digunakan untuk penanganan Covid-19 agar menghindari terjadinya moral hazard, apalagi ada anekdot di tengah masyarakat bahwa “uang adalah agama semua orang” atau artinya manusia suka uang, sehingga kalau tidak diawasi, maka output dan outcomenya tidak jelas.
Ketiga, rescheduling dan refinancing utang sektor swasta harus benar-benar dilakukan secara hati-hati agar tidak melahirkan bailout secara sembunyi-sembunyi artinya rescheduling dan refinancing utang sektor swasta hanya dilakukan kepada sektor swasta yang selama ini berkontribusi positif menyumbang pendapatan negara dan taat dalam membayar pajaknya. Semoga. (13/*).
*) Penulis adalah, Kolumnis dan warga negara biasa saja. Tinggal di Kabupaten Lanny Jaya, Papua.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Pertama, perlu percepatan pengobatan dan pencegahan yang lebih luas dengan menerapkan kebijakan at all cost. “Memang akan membebani pemerintah. Namun, perhitungan kemanusiaan harus lebih dikedepankan jika dibandingkan dengan kalkulasi ekonomi,” ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal melalui keterangan resmi, kemarin.
Kedua, pemerintah dapat mengurangi beban biaya yang secara langsung dalam kendali pemerintah seperti tarif dasar listrik, BBM, hingga air bersih. Hal itu perlu dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Ketiga, memperluas kebijakan relaksasi pajak penghasilan (PPh) yang saat ini baru dilakukan pada PPh 21, 22, dan 25 dengan sektor yang terbatas pada sektor manufaktur. Padahal, sektor manufaktur bukan satu-satunya sektor yang terdampak oleh pandemi covid-19.
“Pemerintah perlu melakukan relaksasi pajak seperti pemberian potongan pajak, percepatan pembayaran restitusi, dan penundaan pembayaran cicilan pajak kepada sektor-sektor yang terkena dampak paling parah, seperti sektor transportasi dan pariwisata,” jelas Faisal.
Keempat, pemerintah perlu menjamin kelancaran pasokan dan distribusi terutama pangan. Itu diperlukan sebagai pendorong dari kebijakan yang akan diambil untuk menyorong daya beli masyarakat bawah melalui bantuan langsung tunai (BLT).
Kelima, penyaluran BLT harus diikuti dengan ketepatan data penerima bantuan dan perbaikan mekanisme serta kelembagaan dalam penyalurannya. Keenam, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mengeluarkan kebijakan yang mendorong lembaga keuangan untuk melakukan rescheduling dan refinancing utang sektor swasta. Terakhir, menurut Faisal, pada sisi fi skal perlu diperlebar defi sit anggaran dari batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara. Di sisi moneter, Indonesia perlu mencontoh otoritas moneter yang aktif terjun memberikan insentif seperti The Fed yang mempunyai kebijakan quarantine easing untuk menginjeksi likuditas ke masyarakat.
“Peraturan BI No 10/13/PBI/2008 ataupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara perlu direvisi untuk memberikan keleluasaan BI membeli SUN di pasar keuangan primer untuk mengakomodasi kepentingan pembiayaan negara,” pungkas Faisal.
Menurut penulis, selain apa yang telah dikemukakan oleh pihak Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, maka ada beberapa strategi lainnya untuk menyelamatkan perekonomian nasional yang defisit anggarannya sudah membengkak 5,07 % (padahal yang diperbolehkan dalam undang-undang hanya 3%, namun karena forece majeur hal ini masih dibenarkan, sehingga tidak ada implikasi politisnya kepada pemerintahan).
Beberapa strategi yang lain antara lain : pertama, kebijakan tidak membayar THR dan gaji ke-13 diberlakukan untuk ASN golongan IV, pejabat eselon I dan II di setiap kementerian/lembaga, perwira menengah (Kolonel/Kombes) sampai perwira tinggi di TNI, Polri, pengurangan tunjangan kinerja pejabat eselon I dan II, pengurangan biaya taktis dan operasional.
Kedua, perlu pengawasan yang ketat terkait relokasi anggaran APBN dan APBD yang digunakan untuk penanganan Covid-19 agar menghindari terjadinya moral hazard, apalagi ada anekdot di tengah masyarakat bahwa “uang adalah agama semua orang” atau artinya manusia suka uang, sehingga kalau tidak diawasi, maka output dan outcomenya tidak jelas.
Ketiga, rescheduling dan refinancing utang sektor swasta harus benar-benar dilakukan secara hati-hati agar tidak melahirkan bailout secara sembunyi-sembunyi artinya rescheduling dan refinancing utang sektor swasta hanya dilakukan kepada sektor swasta yang selama ini berkontribusi positif menyumbang pendapatan negara dan taat dalam membayar pajaknya. Semoga. (13/*).
*) Penulis adalah, Kolumnis dan warga negara biasa saja. Tinggal di Kabupaten Lanny Jaya, Papua.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020