Pelaksanaan Otonomi Khusus sebagai penterjemahan dari konsep asimetric decentralization dilangsungkan di propinsi Aceh, Papua dan Papua Barat. Bentuk kekhususan yang tidak simetris dibanding daerah otonomi lainnya adalah adanya affirmasi berupa alokasi dana Otsus dalam hubungan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Papua menerima dana Otsus sejak tahun 2002 sebagai amanat dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Selama rentang waktu tahun 2002-2020, pemerintah pusat telah mengalokasikan total dana Otsus yang diterima oleh Papua sebesar Rp. 93,05 T, serta Papua Barat Rp. 33,94 T.
Dana otonomi khusus bagi Papua dinyatakan dalam pasal 34 ayat (3) huruf C poin (1), UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, dimana besaran dana otonomi khusus Papua dihitung sebesar 2% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) dan berlaku selama 20 tahun sejak peraturan tersebut diterbitkan. UU Otsus Papua juga menyatakan sektor prioritas yang dapat didanai dari dana Otsus yakni ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Khusus untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan, UU Otsus Papua mengamanatkan masing-masing minimal 30% dan 15% dari dana yang diterima. Selain itu, Papua dan Papua Barat juga menerima alokasi Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) di samping dana Otsus yang diterima.
Sedangkan Aceh menerima dana Otsus sejak tahun 2008 sebagai amanat dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) selama 20 tahun mendatang. Rincian besaran dana Otsus untuk tahun 1 sampai tahun ke 15 adalah 2% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional, dan tahun ke 15 hingga tahun ke 20 adalah 1% dari plafon DAU nasional. secara kumulatif, pemerintah NAD dalam kurun waktu 2008-2019 telah menerima Rp. 73,1 T dengan rata-rata pertumbuhan dana Otsus Aceh sebesar 8,59%. Peruntukan dana Otsus Aceh sendiri diatur dalam UU PA, pasal 183 ayat (1) yang menyatakan bahwa alokasi dana Otsus Aceh ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Ironi Dana Otsus
Menilik dari amanat UU Otsus Papua dan Aceh, semestinya dari total dana Otsus yang diterima dapat berbanding lurus dengan capaian tujuan yang telah ditetapkan, terutama peningkatan kualitas SDM, fasilitas layanan dasar, dan kesejahteraan masyarakat Aceh, Papua maupun Papua Barat. Ironinya, jumlah dana Otsus yang secara kumulatif makin besar justru tidak paralel dengan tujuan dari pada Otsus itu sendiri. Sejumlah indikator menempatkan Aceh, Papua dan Papua Barat pada posisi propinsi miskin dan capaian Indeks Pembangunan Manusia yang rendah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Aceh mencatat pada September 2019, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 810 ribu orang atau 15,01%. Angka itu membuat Aceh menjadi provinsi termiskin di Pulau Sumatera atau peringkat termiskin dan terkorup ke 6 secara nasional. Begitu pula dengan Papua, persentase kemiskinan tertinggi yakni 26,55%, disusul Papua Barat sebesar 21,51%. Besarnya alokasi dana Otsus bahkan tidak mampu mengerek pertumbuhan ekonomi Papua dan Papua Barat secara signifikan. Data BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Papua minus 15,72% di tahun 2020 dan Papua Barat sebesar 2,92% pada triwulan III 2019 dimana sebelumnya sempat minus 0,5%. Selain itu, buruknya layanan sosial dasar terutama sektor pendidikan dan kesehatan merupakan potret dari ironi pembangunan yang melengkapi problem pelaksanaan Otsus di Papua dan Papua Barat.
Merujuk pada realitas pelaksanaan Otsus di Papua, Papua Barat dan Aceh, jelas menunjukkan adanya masalah fundamental dalam tata kelola keuangan yang bersumber dari dana Otsus. Prinsip-prinsip good governance tidak berjalan dan alokasinya sering tidak sesuai dengan prioritas pembangunan yang dimaksudkan dalam UU Otsus. Hal ini terkait dengan tidak adanya pedoman baku dalam pelaksanaan, pemeriksaan dan pengawasan dana Otsus di ketiga propinsi tersebut. Tidak adanya instansi yang secara spesifik berperan dalam pengawasan dana Otsus membuat alokasi dana Otsus menjadi tidak tepat sasaran, memiliki celah lebar untuk disalahgunakan, dan tidak menyentuh langsung kepentingan masyarakat. Selama ini fokusnya baru sebatas pada pemeriksaan administrasi yang terkesan prosedural semata, belum sampai pada pengawasan substansi dari pelaksanaan alokasi dana Otsus.
Perlu Badan Pengawas
Penelitian yang dilakukan Tim Otonomi Daerah Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI (2017), menunjukkan bahwa aspek pengawasan menjadi isu krusial dalam pengelolaan dana otonomi khusus (Otsus) dan daerah istimewa. P2P LIPI (2017) mengidentifikasi empat isu penting dalam konteks pengawasan dana Otsus yang menjadi persoalan, pertama, faktor kapasitas kelembagaan, terutama pemerintah pusat sebagai pihak pengawas masih lemah; kedua, instrument pengendalian yang mengatur soal pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah masih belum jelas; ketiga kuatnya kepentingan politik elite, baik pusat maupun daerah; dan keempat aspek lokalitas yang berlaku di daerah otsus dan istimewa turut pula mempengaruhi kualitas dan dinamika pengawasan yang terjadi.
Temuan tersebut telah membuktikan bahwa lemahnya aspek pengawasan menjadi hal mendasar yang menjelaskan kenapa alokasi dana Otsus yang semakin besar tiap tahun justru tidak berkontribusi bagi peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Aceh, Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu, gagasan untuk mengefektifkan pengawasan dana Otsus melalui suatu lembaga khusus yang dibentuk dan langsung bertanggungjawab pada presiden menjadi rasional.
Suatu lembaga khusus itu dapat berupa suatu Badan Otoritas Khusus Pengawasan Dana Otsus dengan lingkup kewenangan mensupervisi alokasi kebijakan pembangunan yang dapat didanai dari sumber dana alokasi khusus. Dengan demikian, diharapkan bahwa rencana pemerintah pusat untuk memperpanjang Otsus Papua maupun Aceh kelak dapat bersinergi dengan gagasan pembentukan lembaga pengawas dana Otsus dan mempercepat realisasi janji pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di Aceh, Papua dan Papua Barat. (47/*).
*) Penulis adalah, Doktor lulusan Universitas Indonesia (UI), dan berprofesi sebagai Dosen.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Dana otonomi khusus bagi Papua dinyatakan dalam pasal 34 ayat (3) huruf C poin (1), UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, dimana besaran dana otonomi khusus Papua dihitung sebesar 2% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) dan berlaku selama 20 tahun sejak peraturan tersebut diterbitkan. UU Otsus Papua juga menyatakan sektor prioritas yang dapat didanai dari dana Otsus yakni ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Khusus untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan, UU Otsus Papua mengamanatkan masing-masing minimal 30% dan 15% dari dana yang diterima. Selain itu, Papua dan Papua Barat juga menerima alokasi Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) di samping dana Otsus yang diterima.
Sedangkan Aceh menerima dana Otsus sejak tahun 2008 sebagai amanat dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) selama 20 tahun mendatang. Rincian besaran dana Otsus untuk tahun 1 sampai tahun ke 15 adalah 2% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional, dan tahun ke 15 hingga tahun ke 20 adalah 1% dari plafon DAU nasional. secara kumulatif, pemerintah NAD dalam kurun waktu 2008-2019 telah menerima Rp. 73,1 T dengan rata-rata pertumbuhan dana Otsus Aceh sebesar 8,59%. Peruntukan dana Otsus Aceh sendiri diatur dalam UU PA, pasal 183 ayat (1) yang menyatakan bahwa alokasi dana Otsus Aceh ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Ironi Dana Otsus
Menilik dari amanat UU Otsus Papua dan Aceh, semestinya dari total dana Otsus yang diterima dapat berbanding lurus dengan capaian tujuan yang telah ditetapkan, terutama peningkatan kualitas SDM, fasilitas layanan dasar, dan kesejahteraan masyarakat Aceh, Papua maupun Papua Barat. Ironinya, jumlah dana Otsus yang secara kumulatif makin besar justru tidak paralel dengan tujuan dari pada Otsus itu sendiri. Sejumlah indikator menempatkan Aceh, Papua dan Papua Barat pada posisi propinsi miskin dan capaian Indeks Pembangunan Manusia yang rendah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Aceh mencatat pada September 2019, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 810 ribu orang atau 15,01%. Angka itu membuat Aceh menjadi provinsi termiskin di Pulau Sumatera atau peringkat termiskin dan terkorup ke 6 secara nasional. Begitu pula dengan Papua, persentase kemiskinan tertinggi yakni 26,55%, disusul Papua Barat sebesar 21,51%. Besarnya alokasi dana Otsus bahkan tidak mampu mengerek pertumbuhan ekonomi Papua dan Papua Barat secara signifikan. Data BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Papua minus 15,72% di tahun 2020 dan Papua Barat sebesar 2,92% pada triwulan III 2019 dimana sebelumnya sempat minus 0,5%. Selain itu, buruknya layanan sosial dasar terutama sektor pendidikan dan kesehatan merupakan potret dari ironi pembangunan yang melengkapi problem pelaksanaan Otsus di Papua dan Papua Barat.
Merujuk pada realitas pelaksanaan Otsus di Papua, Papua Barat dan Aceh, jelas menunjukkan adanya masalah fundamental dalam tata kelola keuangan yang bersumber dari dana Otsus. Prinsip-prinsip good governance tidak berjalan dan alokasinya sering tidak sesuai dengan prioritas pembangunan yang dimaksudkan dalam UU Otsus. Hal ini terkait dengan tidak adanya pedoman baku dalam pelaksanaan, pemeriksaan dan pengawasan dana Otsus di ketiga propinsi tersebut. Tidak adanya instansi yang secara spesifik berperan dalam pengawasan dana Otsus membuat alokasi dana Otsus menjadi tidak tepat sasaran, memiliki celah lebar untuk disalahgunakan, dan tidak menyentuh langsung kepentingan masyarakat. Selama ini fokusnya baru sebatas pada pemeriksaan administrasi yang terkesan prosedural semata, belum sampai pada pengawasan substansi dari pelaksanaan alokasi dana Otsus.
Perlu Badan Pengawas
Penelitian yang dilakukan Tim Otonomi Daerah Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI (2017), menunjukkan bahwa aspek pengawasan menjadi isu krusial dalam pengelolaan dana otonomi khusus (Otsus) dan daerah istimewa. P2P LIPI (2017) mengidentifikasi empat isu penting dalam konteks pengawasan dana Otsus yang menjadi persoalan, pertama, faktor kapasitas kelembagaan, terutama pemerintah pusat sebagai pihak pengawas masih lemah; kedua, instrument pengendalian yang mengatur soal pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah masih belum jelas; ketiga kuatnya kepentingan politik elite, baik pusat maupun daerah; dan keempat aspek lokalitas yang berlaku di daerah otsus dan istimewa turut pula mempengaruhi kualitas dan dinamika pengawasan yang terjadi.
Temuan tersebut telah membuktikan bahwa lemahnya aspek pengawasan menjadi hal mendasar yang menjelaskan kenapa alokasi dana Otsus yang semakin besar tiap tahun justru tidak berkontribusi bagi peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Aceh, Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu, gagasan untuk mengefektifkan pengawasan dana Otsus melalui suatu lembaga khusus yang dibentuk dan langsung bertanggungjawab pada presiden menjadi rasional.
Suatu lembaga khusus itu dapat berupa suatu Badan Otoritas Khusus Pengawasan Dana Otsus dengan lingkup kewenangan mensupervisi alokasi kebijakan pembangunan yang dapat didanai dari sumber dana alokasi khusus. Dengan demikian, diharapkan bahwa rencana pemerintah pusat untuk memperpanjang Otsus Papua maupun Aceh kelak dapat bersinergi dengan gagasan pembentukan lembaga pengawas dana Otsus dan mempercepat realisasi janji pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di Aceh, Papua dan Papua Barat. (47/*).
*) Penulis adalah, Doktor lulusan Universitas Indonesia (UI), dan berprofesi sebagai Dosen.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020