Presiden Jokowi telah memutuskan untuk memindahkan ibukota negara melalui Rapat Terbatas pada tanggal 29 April 2019. Sebagaimana direncanakan, ibukota negara akan dipindahkan dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Rencana pemindahan ini juga dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Selain itu, pemerintah juga telah mengusulkan draft RUU Ibukota Negara (RUU IKN) ke DPR dan masuk dalam Prolegnas 2020. Hal ini menjadi sinyal kuat bahwa pemindahan ibukota negara tidak lagi wacana, namun menunggu realisasi. Jika UU IKN rampung maka akan ada dasar hukum yang kuat untuk merealisasikan proses pemindahan yang akan berimplikasi pada beragam sektor, terutama anggaran dan jalannya roda pemerintahan.
Perpindahan ibukota negara tidak sesederhana perpindahan administrasi dan kantor pemerintahan pusat. Ini merupakan pekerjaan besar yang bersifat transformasional dengan implikasi yang sangat luas. Ibukota negara selama ini tidak hanya pusat administrasi pemerintahan, tetapi sekaligus pusat aktifitas sosial, pendidikan, bisnis, dan hubungan internasional. Kompleksitas dalam perpindahan ibukota negara karenanya memerlukan fokus penanganan oleh suatu badan tersendiri sehingga dapat berlangsung lebih efektif dan komprehensif. Hal inilah yang melandasi gagasan tentang urgensi suatu badan otorita khusus ibukota negara.
Pengalaman Negara Lain
Pemindahan ibukota bukan hal baru dan bisa disebabkan beragam pertimbangan. Tahun 1957 presiden Soekarno pernah menggagas rencana memindahkan ibukota dari Jakarta ke Palangkaraya. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam (2019), rencana tersebut tidak berlanjut karena Indonesia menerima tawaran sebagai tuan rumah Asian Games tahun 1962 dan akhirnya memilih membangun dan melengkapi infrastruktur di Jakarta. Sebelumnya, ibukota negara dan pusat pemerintahan RI juga pernah berpindah dari Jakarta ke Jogjakarta pada tahun 1945, dan tahun 1948 ke Bukittinggi atas pertimbangan keamanan dan politik di tengah suasana agresi militer Belanda.
Kini, rencana pemindahan ibukota oleh Jokowi didasarkan pada pertimbangan pemerataan ekonomi antar kawasan sekaligus kondisi faktual tentang daya dukung Jakarta yang tidak lagi memadai sebagai pusat administrasi pemerintahan, pelayanan publik, dan bisnis sekaligus. Senyatanya, Jakarta sebagai kota metropolitan sangat padat penduduknya. Lalulintas macet dan sering banjir menjadi masalah klasik yang belum dapat diatasi hingga kini.
Pengalaman pindah ibukota juga terjadi di negara lain. Sebelum menetapkan Washington DC sebagai ibukota negara, Amerika Serikat telah memindah ibukotanya sebanyak 9 kali sejak mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1776. Washington DC ditetapkan melalui The Residence Act, lengkapnya “An Act for Establishing the Temporary and Permanent Seat of the Government of the United States," pada 16 Juli 1790, yang menetapkan wilayah di samping Potomac River sebagai ibukota permanen (Washington, D.C.), dalam waktu sepuluh tahun dan menjadikan Philadelphia sebagai ibukota negara sementara untuk periode 10 tahun. Residence Act merupakan hasil kompromi politik antara Thomas Jefferson, Alexander Hamilton dan James Madison tentang lokasi permanen untuk ibukota federal.
Tahun 1976, Ferdinand Marcos mengeluarkan Dekrit Presiden No. 940 yang memerintahkan pemindahan ibukota Philipina dari Quezon City ke Manila. Proses pemindahan ini memakan waktu sekitar 3 Tahun. Perdana Menteri Mahathir Muhammad memilih memindahkan pusat pemerintahan Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya yang hanya berjarak sekitar 25 kilometer. Kuala Lumpur dianggap telah terlalu padat penduduknya dan kurang mendukung bagi aktifitas pemerintahan. Sementara itu, Pakistan memindahkan ibukota negara dari Karachi ke Islamabad pada tahun 1967. Pemindahan ini didasari oleh motivasi politik untuk memperkuat integrasi nasional Pakistan sekaligus memperkuat daya dukung ekosistem dimana Karachi merupakan daerah yang dikelilingi padang pasir dan akses air yang sangat minim sehingga tidak mendukung sebagai ibukota negara.
Agenda Penting
Merujuk berbagai pengalaman negara lain, pemindahan ibukota negara merupakan proses transformasional yang dapat berlangsung cepat. Modal dukungan politik yang kuat harus ditindaklanjuti dengan langkah operasional yang fokus dan terukur sehingga penting untuk segera memfinalisasi gagasan tentang pembentukan Badan Otoritas Khusus Ibukota Negara. Sejumlah agenda penting perlu untuk ditindaklanjuti antara lain:
Pertama, penyiapan payung hukum. Sembari menunggu pengesahan UU IKN, pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Presiden sebagai payung hukum Badan Otoritas Khusus Ibukota Negara. Hal ini akan mengatur tentang kelembagaan, tugas dan fungsi, kewenangan serta rekrutmen SDM. Hal-hal krusial seperti level kedudukan Badan Otoritas Ibukota Negara dalam hierarki pemerintahan, lingkup kewenangan dan hubungannya dengan pemangku kepentingan lainnya akan menjadi lebih jelas.
Kedua, menentukan kriteria dan proses rekrutmen guna menduduki posisi di Badan Otoritas Khusus Ibukota Negara. Pemerintah perlu segera merilis kriteria dan proses rekrutmen sehingga dapat menjaring figur yang kapabel dan kredibel guna menjalankan organisasi yang baru ini.
Ketiga, menentukan agenda kerja yang terukur dan jelas. Hal mendasar tidak hanya terletak pada bagaimana nanti ibukota negara baru ini dikelola, namun juga proses teknis pemindahan dan penyiapan infrastruktur pemerintah, sosial ekonomi, maupun SDM. Selama ini ada wacana Tim Teknis Pemindahan Ibukota yang dimotori oleh Bappenas dan didukung kementerian lain.
Keempat, menyiapkan daya dukung anggaran. Badan Otoritas Khusus Ibukota Negara memerlukan daya dukung anggaran yang cukup besar sehingga harus disiapkan nomenklatur tersendiri agar dapat bekerja lebih efektif.
Melalui Perpres itu maka transformasi menuju ibu kota negara yang baru dapat diakselerasi dan lebih fokus. Dengan demikian, pembentukan Badan Otoritas Khusus Ibukota Negara menjadi agenda penting untuk diprioritaskan sambil menanti UU IKN disahkan oleh DPR. (34/*).
*) Penulis adalah, Doktor luluasan Universitas Indonesia (UI) dan juga dosen.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Perpindahan ibukota negara tidak sesederhana perpindahan administrasi dan kantor pemerintahan pusat. Ini merupakan pekerjaan besar yang bersifat transformasional dengan implikasi yang sangat luas. Ibukota negara selama ini tidak hanya pusat administrasi pemerintahan, tetapi sekaligus pusat aktifitas sosial, pendidikan, bisnis, dan hubungan internasional. Kompleksitas dalam perpindahan ibukota negara karenanya memerlukan fokus penanganan oleh suatu badan tersendiri sehingga dapat berlangsung lebih efektif dan komprehensif. Hal inilah yang melandasi gagasan tentang urgensi suatu badan otorita khusus ibukota negara.
Pengalaman Negara Lain
Pemindahan ibukota bukan hal baru dan bisa disebabkan beragam pertimbangan. Tahun 1957 presiden Soekarno pernah menggagas rencana memindahkan ibukota dari Jakarta ke Palangkaraya. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam (2019), rencana tersebut tidak berlanjut karena Indonesia menerima tawaran sebagai tuan rumah Asian Games tahun 1962 dan akhirnya memilih membangun dan melengkapi infrastruktur di Jakarta. Sebelumnya, ibukota negara dan pusat pemerintahan RI juga pernah berpindah dari Jakarta ke Jogjakarta pada tahun 1945, dan tahun 1948 ke Bukittinggi atas pertimbangan keamanan dan politik di tengah suasana agresi militer Belanda.
Kini, rencana pemindahan ibukota oleh Jokowi didasarkan pada pertimbangan pemerataan ekonomi antar kawasan sekaligus kondisi faktual tentang daya dukung Jakarta yang tidak lagi memadai sebagai pusat administrasi pemerintahan, pelayanan publik, dan bisnis sekaligus. Senyatanya, Jakarta sebagai kota metropolitan sangat padat penduduknya. Lalulintas macet dan sering banjir menjadi masalah klasik yang belum dapat diatasi hingga kini.
Pengalaman pindah ibukota juga terjadi di negara lain. Sebelum menetapkan Washington DC sebagai ibukota negara, Amerika Serikat telah memindah ibukotanya sebanyak 9 kali sejak mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1776. Washington DC ditetapkan melalui The Residence Act, lengkapnya “An Act for Establishing the Temporary and Permanent Seat of the Government of the United States," pada 16 Juli 1790, yang menetapkan wilayah di samping Potomac River sebagai ibukota permanen (Washington, D.C.), dalam waktu sepuluh tahun dan menjadikan Philadelphia sebagai ibukota negara sementara untuk periode 10 tahun. Residence Act merupakan hasil kompromi politik antara Thomas Jefferson, Alexander Hamilton dan James Madison tentang lokasi permanen untuk ibukota federal.
Tahun 1976, Ferdinand Marcos mengeluarkan Dekrit Presiden No. 940 yang memerintahkan pemindahan ibukota Philipina dari Quezon City ke Manila. Proses pemindahan ini memakan waktu sekitar 3 Tahun. Perdana Menteri Mahathir Muhammad memilih memindahkan pusat pemerintahan Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya yang hanya berjarak sekitar 25 kilometer. Kuala Lumpur dianggap telah terlalu padat penduduknya dan kurang mendukung bagi aktifitas pemerintahan. Sementara itu, Pakistan memindahkan ibukota negara dari Karachi ke Islamabad pada tahun 1967. Pemindahan ini didasari oleh motivasi politik untuk memperkuat integrasi nasional Pakistan sekaligus memperkuat daya dukung ekosistem dimana Karachi merupakan daerah yang dikelilingi padang pasir dan akses air yang sangat minim sehingga tidak mendukung sebagai ibukota negara.
Agenda Penting
Merujuk berbagai pengalaman negara lain, pemindahan ibukota negara merupakan proses transformasional yang dapat berlangsung cepat. Modal dukungan politik yang kuat harus ditindaklanjuti dengan langkah operasional yang fokus dan terukur sehingga penting untuk segera memfinalisasi gagasan tentang pembentukan Badan Otoritas Khusus Ibukota Negara. Sejumlah agenda penting perlu untuk ditindaklanjuti antara lain:
Pertama, penyiapan payung hukum. Sembari menunggu pengesahan UU IKN, pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Presiden sebagai payung hukum Badan Otoritas Khusus Ibukota Negara. Hal ini akan mengatur tentang kelembagaan, tugas dan fungsi, kewenangan serta rekrutmen SDM. Hal-hal krusial seperti level kedudukan Badan Otoritas Ibukota Negara dalam hierarki pemerintahan, lingkup kewenangan dan hubungannya dengan pemangku kepentingan lainnya akan menjadi lebih jelas.
Kedua, menentukan kriteria dan proses rekrutmen guna menduduki posisi di Badan Otoritas Khusus Ibukota Negara. Pemerintah perlu segera merilis kriteria dan proses rekrutmen sehingga dapat menjaring figur yang kapabel dan kredibel guna menjalankan organisasi yang baru ini.
Ketiga, menentukan agenda kerja yang terukur dan jelas. Hal mendasar tidak hanya terletak pada bagaimana nanti ibukota negara baru ini dikelola, namun juga proses teknis pemindahan dan penyiapan infrastruktur pemerintah, sosial ekonomi, maupun SDM. Selama ini ada wacana Tim Teknis Pemindahan Ibukota yang dimotori oleh Bappenas dan didukung kementerian lain.
Keempat, menyiapkan daya dukung anggaran. Badan Otoritas Khusus Ibukota Negara memerlukan daya dukung anggaran yang cukup besar sehingga harus disiapkan nomenklatur tersendiri agar dapat bekerja lebih efektif.
Melalui Perpres itu maka transformasi menuju ibu kota negara yang baru dapat diakselerasi dan lebih fokus. Dengan demikian, pembentukan Badan Otoritas Khusus Ibukota Negara menjadi agenda penting untuk diprioritaskan sambil menanti UU IKN disahkan oleh DPR. (34/*).
*) Penulis adalah, Doktor luluasan Universitas Indonesia (UI) dan juga dosen.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020