Sejak awal 2019, publik di Indonesia khususnya warga Jakarta dan sekitarnya dikejutkan dengan berita-berita buruk mengenai kualitas udara ibu kota.
Berita buruknya adalah tentang kualitas udara yang buruk. Bahkan buruknya termasuk terburuk di dunia, kalaupun tidak terburuk nomor satu, setidaknya masuk lima besar.
Sejak awak 2019 itulah tiap hari muncul berita buruk mengenai kualitas udara Jakarta terburuk sedunia. Sumber yang sering dikutip adalah hasil pengukuran yang dilakukan AirVisual.
Dalam publikasi melalui situs resminya, AirVisual (penyedia peta polusi udara daring) menggunakan parameter Air Quality Index (AQI) untuk menentukan peringkat kualitas udara kota-kota besar dunia termasuk Jakarta. Embel-embel beritanya adalah kualitas udara buruk berarti tidak sehat.
Warga Kota Jakarta pun ada yang dihantui kekhawatiran dan kegelisahan, tetapi tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya pasrah saja.
Namun ada saja pihak yang merasa terusik, kemudian bergerak menuntut pemerintah melakukan aksi cepat. Ini karena waktu itu belum terlihat aksi cepat pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam merespons hal itu.
Sejumlah aktivis Greenpeace, misalnya, melakukan aksi teatrikal terkait kualitas udara Jakarta di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Selasa (5/3/2019). Kualitas udara itu mencerminkan tingginya polusi udara.
Greenpeace mencatat konsentrasi PM (particulate matter) 2.5 atau di Jakarta mencapai empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 10 ug per meter kubik. Bahkan melebihi batas aman menurut standar nasional pada PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pencemaran Udara, yaitu 15 ug per meter kubik (m3).
Baca juga: Sekda DKI: Monas belum pernah diresmikan presiden
Parameter
Perdebatan sempat mencuat di sebagian pihak menanggapi publikasi terkait kualitas udara Jakarta. Apalagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada pertengahan Maret 2019 menyampaikan tanggapan atas unjuk rasa Greenpeace bahwa kualitas udara Jakarta normal.
Pernyataan itu berdasarkan pengukuran kualitas udara dengan alat yang dipasang di beberapa tempat. Ditelisik lebih mendalam, perdebatan itu muncul karena adanya perbedaan parameter pada pengukurannya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat ditemui usai rapat paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (26/6/2019) tidak ingin terlibat dalam perdebatan.
Dia mengatakan, penyebab polusi udara karena saat itu 25 persen warga menggunakan kendaraan umum, sementara 75 persen kendaraan pribadi.
Karena itu, Anies terus mendorong pengintegrasian antarmoda transportasi, penuntasan proyek-proyek pembangunan kendaraan umum massal, perluasan Transjakarta dan ketersambungan antarmoda.
Pada 2030, ia menargetkan sebanyak 75 persen warga Jakarta sudah beralih ke kendaraan umum sehingga mengurangi kendaraan pribadi yang berarti mengurangi polusi udara.
Sehari sebelumnya, AirVisual menginformasikan bahwa kualitas udara Jakarta pada Selasa (25/6/2019) pagi sempat menyentuh angka AQI sebesar 216, tidak sehat nomor dua setelah Lahore, Pakistan.
Sedangkan pada Kamis (27/6/2019) malam, berdasarkan AirVisual meski AQI turun menjadi 152, kualitas udara Jakarta tetap tidak sehat kedua setelah Hangzhou, China.
Baca juga: Mobil listrik bisa untuk "drift"
Instruksi
Seolah terpecut dan terpicu hasil pengukuran itu, Anies menggerakkan jajarannya, termasuk dinas terkait untuk fokus menekan polusi udara.
Akhirnya, keluarlah Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara di Ibu Kota.
Instruksi tersebut selanjutnya diimplementasikan melalui kebijakan perluasan wilayah rekayasa lalu lintas ganjil-genap guna menekan populasi kendaraan sebagai salah satu pemicu polusi.
DKI juga melakukan uji emisi secara rutin hingga membatasi usia pakai kendaraan yang akan melintas di wilayah setempat.
Dinas Perhubungan, misalnya, menggelar serangkaian operasi pengukuran emisi pada gas buang kendaraan. Bengkel-bengkel mobil diwajibkan menyediakan pengukur emisi. Itu juga menjadi syarat bagi investor yang ingin membuka bengkel baru di Jakarta.
Selain itu, Pemprov DKI juga mengintensifkan pengawasan terhadap pabrik yang berpotensi melanggar aturan lingkungan hingga mengintensifkan penghijauan di sejumlah titik kawasan.
Kemudian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) melakukan penertiban terhadap pabrik atau industri khususnya yang proses produksinya menggunakan mesin yang mengeluarkan asap. Beberapa pabrik dan industri di Pulo Gadung ditindak terkait baku mutu asap.
Baca juga: Ini tren mobil diesel di era kendaraan listrik
Membaik
Sehari setelah Ingub tersebut terbit, kualitas udara Jakarta "nongkrong" di posisi kedua terburuk di dunia. Pada 8 Agustus hingga 16 September 2019 berada di urutan ketiga.
Pada 3 Oktober, peringkatnya berada di urutan empat dan 21 Oktober 2019 di peringkat lima dunia. Pada 17 November berada di angka 19 dunia.
Data-data itu menunjukkan bahwa langkah progresif dan konsisten mampu mengubah kualitas udara. Ke depan, upaya terus meningkatkan kualitas udara untuk Jakarta tampaknya juga tak lepas dari langkah tersebut.
Selain mendorong semakin banyak dan terintegrasinya angkutan umum masal agar kendaraan pribadi berkurang dan kemacetan teratasi, juga menghadirkan kendaraan nonpolusi. Pilihannya adalah kendaraan bertenaga listrik.
Kini dunia lalulintas di Indonesia, khususnya Jakarta memasuki babak baru dengan mulai mengaspalnya mobil-mobil tanpa bahan bakar berpolusi, tetapi menggunakan listrik. Kendaraan bermotor berbasis baterai adalah kendaraan yang digerakkan dengan motor listrik yang mendapat pasokan sumber daya listrik dari luar dengan cara diisi ulang.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengemukakan, hadirnya mobil listrik sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55/2019 tentang Akselerasi Program Kendaraan Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.
"Pemerintah berupaya untuk mempercepat ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dan diharapkan dapat menjadi solusi mobilitas yang mengusung konsep smart cities (kota pintar) dan ramah lingkungan," kata Menhub di Gate 2 Terminal 3, Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Senin (27/1).
Ini selangkah lebih maju lagi untuk bersama-sama mencapai target menghadirkan dua juta unit kendaraan listrik (Electric Vihicle/EV) di Indonesia pada 2025. Mobil listrik sebanyak 20 unit itu mulai mengaspal dari Bandara Soekarno-Hatta.
Insentif
Untuk memacu pertumbuhan kendaraan bertenaga listrik, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberi insentif berupa pembebasan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) bagi pemilik kendaraan bertenaga listrik
Kebijakan yang mulai berlaku 2020 itu dan Jakarta sebagai daerah pertama yang menerapkannya. Seiring dengan ketersediaan kendaraan listrik di pasar dan infrastruktur pendukungnya baik bengkel maupun stasiun pengisian listrik, perlahan-lahan merambah pula ke daerah.
Anies telah mengeluarkan payung hukum untuk kebijakan insentif itu, yaitu Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2020 tentang Insentif Pajak BBNKB atas Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Kebijakan ini tidak hanya berlaku untuk kendaraan pribadi saja, tapi juga transportasi umum.
Namun kebijakan ini, tidak berlaku untuk jenis kendaraan hybrid (setengah bensin dan setengah tenaga listrik) atau semi listrik. Hanya kendaraan bermotor yang 100 persen menggunakan baterai berbasis listrik yang mendapatkan insentif.
Sejak awal 2020, kegiatan jual-beli, tukar-menukar dan warisan kendaraan motor berbasis listrik baik roda empat maupun roda dua diberikan pembebasan BBNKB. Kebijakan ini akan diberikan secara otomatis dalam sistem pemungutan pajak dari di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta.
Selain insentif pajak, mobil listrik juga akan mendapat insentif parkir. Itu belum diumumkan tapi rencana tersebut tak akan ada perubahan.
Selain itu kendaraan listrik akan dapat insentif ketika memasuki seluruh kawasan ganjil-genap tanpa kecuali. Dengan berbagai insentif tersebut, jumlah kendaraan listrik di Jakarta diharapkan akan meningkat yang tentunya dibarengi adanya peningkatan produksi mobil listrik.
Saat ini, menurut Kepala Perhubungan DKI Jakara, Syafrin Liputo, jumlah kendaraan listrik di Jakarta baru ada sebanyak 669 unit. Dengan komposisi roda empat atau lebih ada 38 unit dan roda dua sebanyak 631 unit.
Dari 38 unit kendaraan roda empat atau lebih itu, 30 di antaranya adalah kendaraan umum. Diperkirakan jumlah itu meningkat seiring banyaknya insentif.
Kebijakan ini adalah tindak lanjut dari tujuh inisiatif yang ada di Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Berita buruknya adalah tentang kualitas udara yang buruk. Bahkan buruknya termasuk terburuk di dunia, kalaupun tidak terburuk nomor satu, setidaknya masuk lima besar.
Sejak awak 2019 itulah tiap hari muncul berita buruk mengenai kualitas udara Jakarta terburuk sedunia. Sumber yang sering dikutip adalah hasil pengukuran yang dilakukan AirVisual.
Dalam publikasi melalui situs resminya, AirVisual (penyedia peta polusi udara daring) menggunakan parameter Air Quality Index (AQI) untuk menentukan peringkat kualitas udara kota-kota besar dunia termasuk Jakarta. Embel-embel beritanya adalah kualitas udara buruk berarti tidak sehat.
Warga Kota Jakarta pun ada yang dihantui kekhawatiran dan kegelisahan, tetapi tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya pasrah saja.
Namun ada saja pihak yang merasa terusik, kemudian bergerak menuntut pemerintah melakukan aksi cepat. Ini karena waktu itu belum terlihat aksi cepat pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam merespons hal itu.
Sejumlah aktivis Greenpeace, misalnya, melakukan aksi teatrikal terkait kualitas udara Jakarta di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Selasa (5/3/2019). Kualitas udara itu mencerminkan tingginya polusi udara.
Greenpeace mencatat konsentrasi PM (particulate matter) 2.5 atau di Jakarta mencapai empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 10 ug per meter kubik. Bahkan melebihi batas aman menurut standar nasional pada PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pencemaran Udara, yaitu 15 ug per meter kubik (m3).
Baca juga: Sekda DKI: Monas belum pernah diresmikan presiden
Parameter
Perdebatan sempat mencuat di sebagian pihak menanggapi publikasi terkait kualitas udara Jakarta. Apalagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada pertengahan Maret 2019 menyampaikan tanggapan atas unjuk rasa Greenpeace bahwa kualitas udara Jakarta normal.
Pernyataan itu berdasarkan pengukuran kualitas udara dengan alat yang dipasang di beberapa tempat. Ditelisik lebih mendalam, perdebatan itu muncul karena adanya perbedaan parameter pada pengukurannya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat ditemui usai rapat paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (26/6/2019) tidak ingin terlibat dalam perdebatan.
Dia mengatakan, penyebab polusi udara karena saat itu 25 persen warga menggunakan kendaraan umum, sementara 75 persen kendaraan pribadi.
Karena itu, Anies terus mendorong pengintegrasian antarmoda transportasi, penuntasan proyek-proyek pembangunan kendaraan umum massal, perluasan Transjakarta dan ketersambungan antarmoda.
Pada 2030, ia menargetkan sebanyak 75 persen warga Jakarta sudah beralih ke kendaraan umum sehingga mengurangi kendaraan pribadi yang berarti mengurangi polusi udara.
Sehari sebelumnya, AirVisual menginformasikan bahwa kualitas udara Jakarta pada Selasa (25/6/2019) pagi sempat menyentuh angka AQI sebesar 216, tidak sehat nomor dua setelah Lahore, Pakistan.
Sedangkan pada Kamis (27/6/2019) malam, berdasarkan AirVisual meski AQI turun menjadi 152, kualitas udara Jakarta tetap tidak sehat kedua setelah Hangzhou, China.
Baca juga: Mobil listrik bisa untuk "drift"
Instruksi
Seolah terpecut dan terpicu hasil pengukuran itu, Anies menggerakkan jajarannya, termasuk dinas terkait untuk fokus menekan polusi udara.
Akhirnya, keluarlah Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara di Ibu Kota.
Instruksi tersebut selanjutnya diimplementasikan melalui kebijakan perluasan wilayah rekayasa lalu lintas ganjil-genap guna menekan populasi kendaraan sebagai salah satu pemicu polusi.
DKI juga melakukan uji emisi secara rutin hingga membatasi usia pakai kendaraan yang akan melintas di wilayah setempat.
Dinas Perhubungan, misalnya, menggelar serangkaian operasi pengukuran emisi pada gas buang kendaraan. Bengkel-bengkel mobil diwajibkan menyediakan pengukur emisi. Itu juga menjadi syarat bagi investor yang ingin membuka bengkel baru di Jakarta.
Selain itu, Pemprov DKI juga mengintensifkan pengawasan terhadap pabrik yang berpotensi melanggar aturan lingkungan hingga mengintensifkan penghijauan di sejumlah titik kawasan.
Kemudian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) melakukan penertiban terhadap pabrik atau industri khususnya yang proses produksinya menggunakan mesin yang mengeluarkan asap. Beberapa pabrik dan industri di Pulo Gadung ditindak terkait baku mutu asap.
Baca juga: Ini tren mobil diesel di era kendaraan listrik
Membaik
Sehari setelah Ingub tersebut terbit, kualitas udara Jakarta "nongkrong" di posisi kedua terburuk di dunia. Pada 8 Agustus hingga 16 September 2019 berada di urutan ketiga.
Pada 3 Oktober, peringkatnya berada di urutan empat dan 21 Oktober 2019 di peringkat lima dunia. Pada 17 November berada di angka 19 dunia.
Data-data itu menunjukkan bahwa langkah progresif dan konsisten mampu mengubah kualitas udara. Ke depan, upaya terus meningkatkan kualitas udara untuk Jakarta tampaknya juga tak lepas dari langkah tersebut.
Selain mendorong semakin banyak dan terintegrasinya angkutan umum masal agar kendaraan pribadi berkurang dan kemacetan teratasi, juga menghadirkan kendaraan nonpolusi. Pilihannya adalah kendaraan bertenaga listrik.
Kini dunia lalulintas di Indonesia, khususnya Jakarta memasuki babak baru dengan mulai mengaspalnya mobil-mobil tanpa bahan bakar berpolusi, tetapi menggunakan listrik. Kendaraan bermotor berbasis baterai adalah kendaraan yang digerakkan dengan motor listrik yang mendapat pasokan sumber daya listrik dari luar dengan cara diisi ulang.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengemukakan, hadirnya mobil listrik sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55/2019 tentang Akselerasi Program Kendaraan Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.
"Pemerintah berupaya untuk mempercepat ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dan diharapkan dapat menjadi solusi mobilitas yang mengusung konsep smart cities (kota pintar) dan ramah lingkungan," kata Menhub di Gate 2 Terminal 3, Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Senin (27/1).
Ini selangkah lebih maju lagi untuk bersama-sama mencapai target menghadirkan dua juta unit kendaraan listrik (Electric Vihicle/EV) di Indonesia pada 2025. Mobil listrik sebanyak 20 unit itu mulai mengaspal dari Bandara Soekarno-Hatta.
Insentif
Untuk memacu pertumbuhan kendaraan bertenaga listrik, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberi insentif berupa pembebasan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) bagi pemilik kendaraan bertenaga listrik
Kebijakan yang mulai berlaku 2020 itu dan Jakarta sebagai daerah pertama yang menerapkannya. Seiring dengan ketersediaan kendaraan listrik di pasar dan infrastruktur pendukungnya baik bengkel maupun stasiun pengisian listrik, perlahan-lahan merambah pula ke daerah.
Anies telah mengeluarkan payung hukum untuk kebijakan insentif itu, yaitu Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2020 tentang Insentif Pajak BBNKB atas Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Kebijakan ini tidak hanya berlaku untuk kendaraan pribadi saja, tapi juga transportasi umum.
Namun kebijakan ini, tidak berlaku untuk jenis kendaraan hybrid (setengah bensin dan setengah tenaga listrik) atau semi listrik. Hanya kendaraan bermotor yang 100 persen menggunakan baterai berbasis listrik yang mendapatkan insentif.
Sejak awal 2020, kegiatan jual-beli, tukar-menukar dan warisan kendaraan motor berbasis listrik baik roda empat maupun roda dua diberikan pembebasan BBNKB. Kebijakan ini akan diberikan secara otomatis dalam sistem pemungutan pajak dari di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta.
Selain insentif pajak, mobil listrik juga akan mendapat insentif parkir. Itu belum diumumkan tapi rencana tersebut tak akan ada perubahan.
Selain itu kendaraan listrik akan dapat insentif ketika memasuki seluruh kawasan ganjil-genap tanpa kecuali. Dengan berbagai insentif tersebut, jumlah kendaraan listrik di Jakarta diharapkan akan meningkat yang tentunya dibarengi adanya peningkatan produksi mobil listrik.
Saat ini, menurut Kepala Perhubungan DKI Jakara, Syafrin Liputo, jumlah kendaraan listrik di Jakarta baru ada sebanyak 669 unit. Dengan komposisi roda empat atau lebih ada 38 unit dan roda dua sebanyak 631 unit.
Dari 38 unit kendaraan roda empat atau lebih itu, 30 di antaranya adalah kendaraan umum. Diperkirakan jumlah itu meningkat seiring banyaknya insentif.
Kebijakan ini adalah tindak lanjut dari tujuh inisiatif yang ada di Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020