Pengamat sosial dan budaya Universitas Pakuan, Dr Agnes Setyowati H., M.Hum. mengingatkan tentang tingginya nilai historis dan budaya Kampung Urug di Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang porak-poranda dan sempat terisolir karena longsor pada Rabu (1/1).
"Kampung Urug bukan hanya sekadar tempat tinggal secara fisik, tapi juga memiliki nilai historis dan budaya yang telah mengakar dan terinternalisasi sejak lama," ujarnya kepada ANTARA di Bogor, Selasa.
Kampung Urug yang merupakan Kampung Adat, sudah lama menjadi salah satu destinasi wisata budaya di Kabupaten Bogor. Menurut sejarahnya, kata “Urug” merupakan kebalikan dari kata “guru”.
Baca juga: Bupati janjikan pekan ini buka semua akses di Sukajaya Bogor
Perempuan yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan ini mengungkapkan bahwa secara sejarah Kampung Urug memiliki keterkaitan langsung dengan Raja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran.
"Abah Ukat Raja Aya selaku pemuka adat di kampung ini menyatakan dirinya sebagai generasi ke-11 turunan dari Prabu Siliwangi," kata Agnes.
Oleh karena itu, kampung ini dianggap salah satu situs penting di Kabupaten Bogor. Salah satu keunikannya, masyarakat asli Kampung Urug masih menjaga dan menerapkan nilai-nilai tradisi leluhur kasundaan dalam praktik kehidupan sehari-hari, seperti menanam dan memanen padi, serta menyelenggarakan seren taun yakni pesta perayaan hasil panen.
Baca juga: Ade Yasin serahkan 30 genset bagi desa yang kena pemadaman di Sukajaya
Kini wacana relokasi masyarakat Kampung Urug pascabencana, menurut Agnes menjadi suatu hal yang sangat dilematis karena di satu sisi kondisi alam yang tidak mendukung, berpotensi mengancam keselamatan warga.
"Bagi masyarakat adat kehilangan lahan sama saja dengan kehilangan nyawa mereka. Terkait dengan identitas dan budaya, kampung adat sama pentingnya dengan sumber daya atau mata pencaharian," tuturnya.
Selain itu, menurutnya relokasi juga berpotensi menghilangkan nilai-nilai tradisi yang sudah tertanam dan membudaya di masyarakat. Hal ini dikarenakan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan yang belum tentu sama. Meskipun mereka masih memegang teguh nilai-nilai tradisi budaya, pada praktiknya belum tentu sama dan sekalipun bisa mungkin membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menyesuaikan diri.
Baca juga: Longsor Sukajaya Bogor, tiga korban belum ditemukan
Oleh karena itu, Agnes menilai relokasi Kampung Urug memerlukan pertimbangan yang matang dan hati-hati karena ini terkait dengan pelestarian situs sejarah dan budaya. Karena Kampung Urug merupakan situs penting maka pemerintah harus mengambil peran besar untuk menangani hal ini.
"Pemkab Bogor harus terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan pemuka adat dan masyarakat untuk mengantisipasi dampak negatif dari relokasi yang tidak diinginkan," kata Agnes.
Ia juga mendukung langkah Pemkab Bogor yang tengah melakukan kajian geologis di Kecamatan Sukajaya pascalongsor. Hal itu berguna untuk melihat apakah kondisi tanah masih memungkinkan untuk tetap ditinggali. Tapi, jika permasalahan cukup ditangani dengan reboisasi menurutnya, setidaknya KLKH wajib terlibat.
Selain itu, Pemkab Bogor juga harus melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) untuk mengedukasi masyarakat mengenai tatacara mitigasi bencana yang berpotensi melanda Kampung Urug.
Cukup padat
Sementara itu, Kepala Desa Urug Kecamatan Sukajaya Sukarma memaparkan bahwa, Desa Urug memiliki jumlah penduduk yang cukup terbilang padat. Total penduduknya berjumlah 2.360 jiwa dengan 644 Kepala Keluarga (KK).
"Jumlah rumah yang tertimbun sama yang hanyut ada 66 unit. Yang tidak ada bekasnya 30 unit, sisanya mengalami rusak berat. Jumlah rusak ringan ada 175 unit," beber Sukarma.
Seperti diketahui, pada hari Rabu (1/1) pukul 06.00 WIB terjadi hujan deras yang membuat Sungai Cidurian di Kabupaten Bogor meluap dan mengakibatkan beberapa wilayah sekitarnya mengalami banjir dan longsor.
Kecamatan Sukajaya merupakan wilayah terdampak paling parah dari tiga kecamatan lainnya di wilayah Barat Kabupaten Bogor, yaitu Kecamatan Cigudeg, Kecamatan Nanggung, dan Kecamatan Jasinga.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
"Kampung Urug bukan hanya sekadar tempat tinggal secara fisik, tapi juga memiliki nilai historis dan budaya yang telah mengakar dan terinternalisasi sejak lama," ujarnya kepada ANTARA di Bogor, Selasa.
Kampung Urug yang merupakan Kampung Adat, sudah lama menjadi salah satu destinasi wisata budaya di Kabupaten Bogor. Menurut sejarahnya, kata “Urug” merupakan kebalikan dari kata “guru”.
Baca juga: Bupati janjikan pekan ini buka semua akses di Sukajaya Bogor
Perempuan yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan ini mengungkapkan bahwa secara sejarah Kampung Urug memiliki keterkaitan langsung dengan Raja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran.
"Abah Ukat Raja Aya selaku pemuka adat di kampung ini menyatakan dirinya sebagai generasi ke-11 turunan dari Prabu Siliwangi," kata Agnes.
Oleh karena itu, kampung ini dianggap salah satu situs penting di Kabupaten Bogor. Salah satu keunikannya, masyarakat asli Kampung Urug masih menjaga dan menerapkan nilai-nilai tradisi leluhur kasundaan dalam praktik kehidupan sehari-hari, seperti menanam dan memanen padi, serta menyelenggarakan seren taun yakni pesta perayaan hasil panen.
Baca juga: Ade Yasin serahkan 30 genset bagi desa yang kena pemadaman di Sukajaya
Kini wacana relokasi masyarakat Kampung Urug pascabencana, menurut Agnes menjadi suatu hal yang sangat dilematis karena di satu sisi kondisi alam yang tidak mendukung, berpotensi mengancam keselamatan warga.
"Bagi masyarakat adat kehilangan lahan sama saja dengan kehilangan nyawa mereka. Terkait dengan identitas dan budaya, kampung adat sama pentingnya dengan sumber daya atau mata pencaharian," tuturnya.
Selain itu, menurutnya relokasi juga berpotensi menghilangkan nilai-nilai tradisi yang sudah tertanam dan membudaya di masyarakat. Hal ini dikarenakan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan yang belum tentu sama. Meskipun mereka masih memegang teguh nilai-nilai tradisi budaya, pada praktiknya belum tentu sama dan sekalipun bisa mungkin membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menyesuaikan diri.
Baca juga: Longsor Sukajaya Bogor, tiga korban belum ditemukan
Oleh karena itu, Agnes menilai relokasi Kampung Urug memerlukan pertimbangan yang matang dan hati-hati karena ini terkait dengan pelestarian situs sejarah dan budaya. Karena Kampung Urug merupakan situs penting maka pemerintah harus mengambil peran besar untuk menangani hal ini.
"Pemkab Bogor harus terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan pemuka adat dan masyarakat untuk mengantisipasi dampak negatif dari relokasi yang tidak diinginkan," kata Agnes.
Ia juga mendukung langkah Pemkab Bogor yang tengah melakukan kajian geologis di Kecamatan Sukajaya pascalongsor. Hal itu berguna untuk melihat apakah kondisi tanah masih memungkinkan untuk tetap ditinggali. Tapi, jika permasalahan cukup ditangani dengan reboisasi menurutnya, setidaknya KLKH wajib terlibat.
Selain itu, Pemkab Bogor juga harus melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) untuk mengedukasi masyarakat mengenai tatacara mitigasi bencana yang berpotensi melanda Kampung Urug.
Cukup padat
Sementara itu, Kepala Desa Urug Kecamatan Sukajaya Sukarma memaparkan bahwa, Desa Urug memiliki jumlah penduduk yang cukup terbilang padat. Total penduduknya berjumlah 2.360 jiwa dengan 644 Kepala Keluarga (KK).
"Jumlah rumah yang tertimbun sama yang hanyut ada 66 unit. Yang tidak ada bekasnya 30 unit, sisanya mengalami rusak berat. Jumlah rusak ringan ada 175 unit," beber Sukarma.
Seperti diketahui, pada hari Rabu (1/1) pukul 06.00 WIB terjadi hujan deras yang membuat Sungai Cidurian di Kabupaten Bogor meluap dan mengakibatkan beberapa wilayah sekitarnya mengalami banjir dan longsor.
Kecamatan Sukajaya merupakan wilayah terdampak paling parah dari tiga kecamatan lainnya di wilayah Barat Kabupaten Bogor, yaitu Kecamatan Cigudeg, Kecamatan Nanggung, dan Kecamatan Jasinga.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020