Dalam buku berjudul “Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” yang ditulis Hendro Subroto diterbitkan Buku Kompas tahun 2009 disebutkan Pada 1960 s.d 1963 terjadi konflik bersenjata antara militer Indonesia (TNI) dan militer Belanda untuk memperebutkan Irian Jaya (Papua). Konflik militer dalam skala besar nyaris pecah setelah RI mengerahkan pasukannya secara besar-besaran (Operasi Jaya Wijaya) demi menggempur pasukan Belanda. Tapi sebelum konflik pecah dalam bentuk peperangan secara terbuka, Belanda memilih menyerahkan Irian Barat secara damai melalui PBB pada 1 Mei 1963. Namun sebelum menyerahkan Irian Barat ke pangkuan RI, Belanda telah melakukan langkah licik dengan secara diam-diam membentuk negara boneka Papua.

Belanda bahkan membentuk pasukan sukarelawan lokal bernama Papua Volunteer Corps (PVC) yang sudah terlatih baik dan sempat bertempur melawan pasukan RI ketika melancarkan Operasi Trikora. Ketika Belanda menyerahkan Irian Barat, secara sengaja Belanda rupanya tidak membubarkan negara boneka Papua yang saat itu dipimpin warga lokal.

Pasukan PVC juga tidak dibubarkan dan banyak di antaranya masuk ke hutan dan membentuk pasukan perlawanan (pemberontak) yang kemudian dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada tahun 1964 s.d 1967 OPM bersama 14.000 warga di bawah pimpinan Lodewijk Mandatjan masuk hutan di daerah Kepala Burung dan melancarkan pemberontakan bermodal senapan-senapan tua peninggalan PD II.

Pada 28 Juli 1965 terjadi serangan ke asrama Yonif 641/ Cenderawasih Manokwari sehingga mengakibatkan tiga anggota TNI gugur dan empat lainnya luka-luka.Tahun 1967 pasukan baret merah RPKAD (sekarang Kopassus) diturunkan untuk menangani pemberontakan dan kekacauan dengan cara pendekatan perang serta non perang.
 

Tapi pendekatan non perang yang dilakukan secara persuasif dengan cara menghargai adat istiadat setempat ternyata lebih berhasil. Mandatjan bersama semua pengikutnya pun keluar hutan dan secara suka rela mau bergabung dengan NKRI. Pendekatan persuasif terus dilakukan TNI ketika terjadi gangguan keamanan di Papua hingga saat ini.

Dilihat dari tujuannya untuk memisahkan diri dari Indonesia atau mengerat sebagian keutuhan wilayah Indonesia, separatis tergolong makar yang dalam KUHP Pasal 106 terancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Definisi lain terhadap OPM adalah pemberontak terhadap negara atau pemerintahan yang sah. Mirip dengan makar, dalam KUHP Pasal 108 pelakunya terancam pidana penjara maksimal 15 atau 20 tahun.

OPM adalah organisasi yang mempunyai tujuan tertentu yang mengikat semua orang yang bergabung di dalamnya dan tidak bergantung pada individu tertentu. Saat seorang pemimpin sebuah distrik tertangkap atau bertobat, dia digantikan yang lain.

Roda aktivitas organisasi berjalan kembali, yang berarti serangan kepada TNI, Polri, dan warga sipil dapat dilakukan lagi. Risiko lain yang lebih besar dari pendefinisian OPM sebagai pemberontak adalah munculnya peluang bagi mereka dan anasirnya di luar negeri untuk merujuk Protokol Tambahan II tahun 1977 dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention).

Konvensi tersebut merupakan hukum internasional tentang penanganan perang (jus in bello) atau disebut pula hukum humaniter internasional. Protokol Tambahan II membahas konflik bersenjata non internasional atau di dalam sebuah negara.

Di dalam Pasal 1 dinyatakan, “Angkatan perang pemberontak atau kelompok bersenjata pemberontak lainnya yang terorganisir di bawah komando … sehingga memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara terus menerus dan teratur,” yang berarti termasuk objek Konvensi Jenewa.

Pasal 3 Protokol Tambahan II melarang adanya intervensi dari luar, tetapi tidak ada larangan pihak pemberontak menyampaikan masalah kepada dunia internasional jika menurutnya terjadi pelanggaran Konvensi Jenewa.

Walaupun belum atau tidak menyetujui dan meratifikasi Protokol Tambahan II, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Jenewa. Karena itu, penyebutan OPM sebagai pemberontak dapat berisiko internasionalisasi kasus serangan OPM atau saat TNI/Polri menindak mereka.

Teori ancaman

Untuk dapat mengetahui seberapa besar kekuatan kelompok OPM-KKSB, maka dapat dianalisis dengan teori ancaman yang dapat dipelajari dari buku berjudul “Handbook of Scientific Methods of Inquiry for Intelligence Analysis” yang ditulis oleh Hank Prunckun (2010). Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan teori ancaman adalah T (Threat)= I (Intention)xC(Capability)xC(Circuumstances). Intention atau niat terdiri dari desire (keinginan) dan expectation (harapan), sedangkan kemampuan atau kapasitas terdiri dari ilmu pengetahuan (knowledge) dan sumber daya (resources).

Langkah selanjutnya untuk mengetahui apakah OPM-KKSB benar-benar sebagai ancaman atau tidak adalah dengan menggunakan fishbone analysis. Dalam langkah ini, diuraikan unsur-unsur atau data atau keterangan yang berhubungan dengan desire dan expectation, termasuk diuraikan fakta atau data yang menggambarkan knowledge dan resources yang dimiliki OPM-KKSB saat ini.

Desire dan expectation yang diinginkan OPM-KKSB adalah memerdekakan Papua dari Indonesia; Melawan TNI dan Polri; Anti Pemerintah;Anti pelaksanaan pembangunan di Papua, sedangkan untuk mewujudkan desire dan expectationnya maka OPM-KKSB juga memiliki knowledge seperti mampu menggunakan Facebook dan menguasai hutan-hutan di Papua, dan resources mereka terlihat dari memiliki KODAP dan sayap politik di luar negeri dan luar Papua.

Langkah terakhirnya adalah memberikan skala koefisien ancaman terdiri dari ancaman tersebut berskala dapat diabaikan (negligible), minimum, medium, tinggi (high) dan serius (acute). Skala negligible dengan koefisien 4-6; Skala minimum 7-10; Skala maksimum 11-15; Skala tinggi 16-18; dan skala serius (acute) 19-20. Pemberian skornya tergantung dari informasi yang diperoleh dari berbagai sumber di lapangan.

Memerdekakan Papua

Cerita tentang pemberontakan OPM-KKSB bermula dari 1963. Aser Demotekay yang merupakan mantan Kepala Distrik Demta, Kabupaten Jayapura, diam-diam menjalankan kegiatan kelompok kebatinan bermuatan kepercayaan adat dan Kristiani. Meski menuntut kemerdekaan Papua, namun pihak Aser kooperatif dengan Indonesia. Pihak Aser meminta Indonesia menyerahkan kemerdekaan kepada Papua sesuai janji Alkitab, janji leluhur, dan janji tanah Papua bahwa bangsa Papua Barat adalah bangsa terakhir menuju akhir zaman.

Gerakan Aser ini bercorak kultus kargo (cargo cult). Belum diketahui nama pasti gerakan dan jenis kultus kargo macam apa yang Aser Demotekay jalankan itu, karena aktivitas mereka saat itu sangat rahasia, bergerak di 'bawah tanah'. Hal ini dijelaskan Jon RG Djopari dalam bukunya, 'Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka', terbitan 1993.

Namun berbicara soal kultus kargo, kepercayaan semacam itu juga ada di kawasan Papua Nugini dan Mikronesia, muncul akibat interaksi masyarakat tradisional dengan masyarakat modern, dalam hal ini adalah tentara Barat dan Jepang yang sering membawa barang-barang kargo lewat pesawat, barang-barang kargo itu diyakini sebagai pemberian dewa. Belum jelas betul, apakah kultus kargo yang dipraktikkan kelompok Aser sama dengan yang ada di Papua Nugini dan Mikronesia atau berbeda.

Salah satu pengikut Aser adalah Jacob Prai yang kemudian melanjutkan pergerakan. Meski Aser melarang tindakan kekerasan untuk mencapai kemerdekaan Papua Barat, namun dalam perkembangan selanjutnya, Jacob Prai harus menempuh cara radikal untuk mempertahankan diri dan mewujudkan cita-citanya.

Muncul pula gerakan pro-kemerdekaan Papua di Manokwari pada 1964, tokohnya adalah Terianus Aronggear. Dia mendirikan 'Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat'. Organisasi ini juga bergerak secara klandestin. Belakangan, organisasi Terianus dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kelompok Terianus Aronggear inilah yang disebut sebagai kelompok rintisan OPM paling pasti. Catatan sejarah ini sekaligus menepis anggapan bahwa OPM dibikin di Belanda atau dibikin di Jayapura (Hollandia/Sukarnopura), melainkan lahir di Manokwari tahun 1964. Lahirnya OPM tak bisa dilepaskan dari janji pemerintah kolonial Belanda sebelumnya, bahwa Papua bakal merdeka. Pada 1 Desember 1961, Bendera Bintang Fajar berkibar di samping Bendera Belanda untuk pertama kalinya.

Namun pada 19 Desember 1961, Trikora dicetuskan Presiden Sukarno dari Alun-alun Utara Yogyakarta. Sukarno ingin menggagalkan 'Negara Papua' buatan kolonial Belanda. Menurut Sukarno, wilayah yang dulu disebut Nugini Belanda (Nederland Nieuw Guinea) itu adalah wilayah Indonesia.

Pada 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda meneken perjanjian yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS), disebut sebagai Perjanjian New York. Hasilnya, mulai Oktober 1962, Papua diamanatkan terlebih dahulu ke PBB di bawah UNTEA (Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations Temporary Executive Authority). Selanjutnya, Papua akan diserahkan Belanda ke Indonesia pada 1 Mei 1963.

Dalam kondisi itu, pihak yang ingin Papua merdeka kemudian bergerak. Pihak otoritas Indonesia menyebutnya sebagai OPM. Nama OPM semakin dikenal tahun 1965 lewat pemberontakan bersenjata kelompok Permenas Ferry Awom di Manokwari. Lama kelamaan, pihak pemberontak juga menerima nama OPM yang sering dipakai pihak Indonesia itu karena nama itu lebih tepat, singkat, dan mudah diingat ketimbang nama panjang organisasi yang mereka bentuk semula, 'Organisasi dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat'.

Pada perkembangan selanjutnya, 1 Juli diperingati simpatisan Papua Merdeka sebagai hari lahirnya OPM. Soalnya pada tanggal itu tahun 1971, digelar proklamasi kemerdekaan Papua dengan Seth Jafeth Roemkorem sebagai Presiden sementara Papua Barat (West Papua). Pengertian Papua Barat saat itu tentu bukanlah seperti yang dipahami sebagai 'Provinsi Papua Barat' saat ini, melainkan seluruh wilayah Papua sebelah barat Papua Nugini.

Melawan TNI/Polri dan Anti Pemerintah

Gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka atau OPM, telah mengeluarkan ultimatum berperang kepada Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia. Bahkan, dalam waktu dekat mereka berencana mendeklarasikan angkat senjata melawan Indonesia.

Pernyataan ultimatum perang itu diumumkan Mayor Jenderal G. Lekkagak Telenggen, usai dilantik sebagai Kepala Staf Operasi Komando Nasional TPNPB, pada 2 Februari 2018, di Markas Kimagi, Distrik Yambi, Puncakjaya, Papua. Pembacaan ultimatum itu diunggah TPNPB di akun YouTube resminya. Dalam rekaman video, terlihat ultimatum dibacakan secara resmi dengan latar belakang bendera Bintang Kejora dan dikawal puluhan anggota OPM bersenjata laras panjang.

Lekagak Tanggaleng menyatakan perang terhadap TNI dan Polri melalui surat yang diteken Hendrik Wanwang, pimpinan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat pada Oktober 2017. Dalam surat tersebut, Wanmang menyatakan menyerang aparat keamanan sebagai pembalasan atas 'penangkapan dan penyiksaan warga Papua'. "Kami berperang dengan polisi, TNI, dan Freeport," kata Wanmang dalam dalam wawancara dengan kantor berita Reuters, November 2017.

"Perang jangan berhenti, perang harus tanpa intervensi internasional di Papua. Ultimatum perang, saya sudah umumkan. Jadi, perang harus dilakukan di mana saja di Papua. Ketentuan, aturan perang kita sudah keluarkan itu. Panglima TNI, Polda harus tunduk pada aturan itu. TPN di seluruh Papua, perang harus berdasarkan aturan ini. Tujuan kami ingin perang lawan TNI, Polri sudah tercantum dalam aturan TPN," kata Lekkagak.

Alhasil, OPM-KKSB menunjukkan capability dan resourcesnya dengan adanya rentetan kontak tembak antara TNI/Polri vs OPM-KKSB di Papua sudah sering terjadi di Papua, seperti misalnya pada 16 Juni 2018 ketika 5 prajurit Kodim 1704 Sorong yang tengah berpatroli di Distrik Yambi, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, disebut terluka akibat serangan tembakan sekelompok orang. Kodam Cendrawasih menuding para penyerang berafiliasi dengan Lekagak Talenggeng, salah satu pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Peristiwa terjadi ketika kepolisian dan militer meningkatkan kewaspadaan dengan pengerahan tambahan aparat keamanan menjelang Pilkada serentak di tujuh kabupaten dan pemilihan Gubernur Papua pada 27 Juni 2018. Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih, Kolonel Muhammad Aidi, menyebut kontak tembak terjadi di perbukitan antara Kampung Sinak dan Kampung Tirineri, sekitar tiga kilometer dari pemukiman penduduk.

Menurut Aidi, penyerangan berkaitan dengan beberapa aksi penyanderaan di Kabupaten Mimika yang dituduhkan kepada OPM. Bulan November 2017, OPM menyandera penduduk Desa Banti dan Kimbely di Tembagapura, Mimika.

Menurut Pemimpin Redaksi Cendrawasih Pos -yang juga menjabat Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jayapura- Lucky Ireuw, sejumlah peristiwa penembakan yang disebut melibatkan OPM dan aparat TNI memang beberapa kali terjadi usai penyanderaan dua desa di Mimika pada akhir 2017.

Pada Oktober 2018 tercatat bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) terlibat baku tembak dengan TNI di kampung Gubuleme, Distrik Tingginambut, Puncak Jaya. Baku tembak membuat 1 orang dari pihak OPM tewas, sementara Pimpinan TPN/OPM Jenderal Goliat Tabuni dan anggotanya sekitar 50 orang melarikan diri ke hutan.

Penyerangan terhadap markas TPN/OPM pimpinan Goliat Tabuni bermula pada, Senin (1/10/2018) sekitar pukul 06.45 WIT. Saat itu Tim Patroli Satgasgakkum TNI sedang melakukan patroli dan melihat bendera Bintang Kejora berkibar di atas ketinggian. Setelah didekati ternyata tempat tersebut merupakan Markas OPM pimpinan Goliat Tabuni dengan pasukannya sekitar 50 orang dan memiliki senjata. Selanjutnya pasukan TNI memberikan peringatan dan ultimatum agar KKSB tersebut menyerah namun tidak diindahkan, justru mereka melancarkan tembakan ke arah pasukan TNI sehingga terjadi kontak tembak.

Kelompok Bersenjata kembali menyerang tim Gabungan TNI dan Polri di Distrik Yigi, Nduga, Papua. Baku tembak terjadi pada Senin pagi, 10 Desember 2018 sekitar pukul 06.13 WIT. Akibat baku tembak tersebut dua anggota TNI yaitu Pratu Budi dengan luka tembak di bahu, lalu Praka Aswad luka ringan di pelipis mata. KKSB melakukan penembakan dari arah barat pos TNI di ketinggian 500 meter. KKSB bersembunyi di balik pohonan rimbun dari atas bukit.

OPM-KKSB juga menyasar warga sipil sebagai obyek atau sasaran aksi brutal dan teror mereka. Hal ini terlihat dari insiden penembakan terhadap puluhan pekerja proyek jalan Trans Papua yang sedang bekerja membangun jembatan di Kali Yigi dan Kali Aurak, Distrik Yigi, Nduga, Papua, diserang oleh kelompok bersenjata TPNPB pada Senin malam, 3 Desember 2018. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) membenarkan sebagai pelaku di balik insiden tersebut.

Sebelumnya, pada 27 April 2018, Organisasi Papua Merdeka lagi-lagi menebar teror dengan menembaki perumahan karyawan PT Freeport di Kota Tembagapura, Papua. Kelompok bersenjata OPM menembaki rumah karyawan bernama Morne Francis Ras di Perumahan Hidden Valley di Mile 66. Warga negara Afrika Selatan itu ditembak secara brutal. OPM melepaskan lebih dari 10 tembakan secara beruntun ke arah korban dan rumahnya sekira pukul 07.40 WIT, Jumat, 27 April 2018. Beruntung tidak satu pun peluru yang mengenai Morne, sebab ketika penembakan terjadi, Morne menyelamatkan diri dengan cara tiarap di bawah mobilnya. (55/*).

(Bersambung...).

Pewarta: Oleh: Toni Ervianto *)

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019