Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) memberikan pelatihan kepada 400 kader dan 200 tenaga kesehatan yang tersebar di Jakarta Timur tentang bagaimana cara mendeteksi dini bayi kuning akibat atresia billier.

"Kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan angka deteksi dini serta rujukan ke RS pusat rujukan, sehingga tindakan lebih lanjut dapat segera dilakukan untuk menyelamatkan bayi-bayi dengan atresia bilier di Indonesia," kata Ketua Tim dr. Kshetra Rinaldhy, dalam keterangan tertulisnya di Depok, Jumat.

Baca juga: Tim Pengabdi Masyarakat FKM UI buat aplikasi pendataan penyandang masalah sosial

Kegiatan ini melibatkan para dokter konsultan bedah anak, dokter bedah, dan mahasiswa kedokteran sebagai bagian dari Program Pengabdian Masyarakat FKUI-RSCM yang terselenggara sepanjang Agustus 2019.

Penyuluhan atresia bilier dilakukan kepada kader Posyandu serta anggota pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK) sebagai garda terdepan yang berhubungan langsung dengan bayi di posyandu.

Diharapkan kader serta anggota PKK dapat menyebarkan informasi bagaimana mengenali tanda-tanda bahaya pada bayi kuning dan cara sederhana untuk mengenali atresia bilier menggunakan kartu warna tinja (KWT) pada bayi baru lahir hingga usia 8 minggu.

Baca juga: UI-Idealab kerja sama bidang pendidikan dan laboratorium kecerdasan buatan

Penyuluhan disertai lokakarya sehingga kader posyandu berlatih mencocokkan warna tinja dengan KWT. Rangkaian program pengabdian masyarakat ini juga mengadakan seminar bagi tenaga kesehatan di puskesmas.

Selain berbagi ilmu, kegiatan ini juga bertujuan untuk konsolidasi sistem rujukan BPJS yang memungkinkan pasien dengan kecurigaan atresia bilier dapat dikirim langsung ke RS pusat rujukan dengan segera, tanpa melalui tahapan rujukan berjenjang.

Atresia bilier merupakan penyakit kelainan hati dan saluran empedu yang terjadi pada bayi. Penyakit ini ditandai dengan bayi kuning lebih dari 2 minggu dengan warna tinja kuning pucat atau seperti dempul.

Atresia bilier harus didiagnosa sedini mungkin dan terapi satu-satunya adalah operasi Kasai sebelum usia 3 bulan. Bila terlambat ditangani, akan terjadi kerusakan hati yang semakin berat hingga terjadi gagal hati yang dapat menyebabkan kematian di usia 1-2 tahun dan hanya dapat diobati dengan operasi transplantasi (cangkok) hati.

Baca juga: Tiga mahasiswa UI temukan obat alternatif kanker serviks

Operasi cangkok hati telah dapat dilakukan di RSCM dengan angka keberhasilan yang baik. Namun, operasi ini berisiko tinggi dan membutuhkan biaya yang besar, berkisar antara setengah hingga Rp1 miliar. Sebagian biaya ditanggung oleh BPJS, namun sebagian besar tetap memerlukan penggalangan dana.

Kshetra mengatakan atresia bilier mungkin masih terdengar asing di telinga. Namun sejak viralnya kisah bayi Bilqis dan Ammar yang menderita atresia bilier dan menggalang dana untuk menjalani operasi transplantasi hati beberapa tahun lalu, ada baiknya masyarakat lebih mengenal penyakit ini.

"Mengingat besarnya risiko jika terlambat ditangani, kami berupaya meningkatkan deteksi dini melalui penyuluhan mengenai atresia bilier sebagai salah satu Program Pengabdian Masyarakat FKUI-RSCM tahun ini," katanya.

Baca juga: UI gelar kampanye program cinta kampus untuk jaga lingkungan

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019