Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, perkuat toleransi di masyarakat melalui kebijakan subtantif dengan memasukkan nomenklatur penguatan toleransi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk lima tahun ke depan.

"Saya pastikan bahwa nomenklatur tentang penguatan toleransi masuk dalam RPJMD untuk kemudian menjadi kewajiban bagi dinas untuk menjalankan itu," kata Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dalam seminar SETARA Institute di Jakarta Pusat, Selasa.

Bima mengatakan, benih-benih intoleran dan radikalisme itu ada di setiap kota di Indonesia termasuk juga di Kota Bogor. Tetapi secara histori Kota Bogor memiliki landskap keberagaman dan mencintai kebersamaan.

Hal ini ditunjukkan oleh simbol-simbol yang ada di Kota Bogor, para pemuka agama yang selalu tampil bersama, tempat ibadah yang berdiri berdampingan di pusat kota, serta berbagai kegiatan keberagaman digelar bersama seperti Bogor Street Festival Cap Go Meh setiap tahunnya.

Masalah yang dihadapi oleh Kota Bogor adalah dinamika dan percikan-percikan intoleransi yang masih muncul menjadi persoalan yang harus diselesaikan bersama. Persoalan penolakan tidak hanya terjadi lintas agama antara Kristen dan Islam, tapi juga Islam dengan Islam.

"Ini jadi PR kita jangan Kritiani dengan Muslim, sesama Muslim juga beda pendapat terkait rumah ibadah," katanya.

Telepas dari semua persoalan itu, lanjut Bima, kunci penyelesaiannya adalah komunikasi. Upaya ini yang dicicil oleh Pemerintah Kota Bogor untuk melakukan penguatan toleransi hingga ke akar rumput.

"Sebetulnya di tingkat elit semangat keberagaman semangat toleransi itu kokoh, tinggal PR kita bagaimana pemahaman itu diterjemahkan melalui kebijakan yang subtantif," katanya.

Bogor, lanjut dia, sekarang sedang menyusun RPJMD untuk jangka lima tahun ke depan. Penguatan toleransi akan diturunkan ke semua kegiatan-kegiatan organisasi perangkat daerah (OPD) atau dinas.

"Jadi semua ada (penguatan toleransi), dinas pendidikan harus ada, semua harus ada, juga gak boleh ada nuasa diskriminasi, setiap dinas itu saya akan tanya, ini semangat toleransinya di mana, kira-kira begitu di RPJMD, sekarang sudah akan diketok," katanya.

Berdasarkan hasil riset SETARA Institute pada tahun 2018, Kota Bogor masuk urutan kedua terbawah dari 94 kota dengan toleransi terendah.

Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani mengatakan, upaya yang dilakukan Kota Bogor sebagai bentuk pembenahan ke arah lebih baik untuk mewujudkan kota yang toleran.

"Kita monitor mereka ternyata melakukan perbaikan luar biasa," kata Ismail.

Menurut Ismail, apa yang dilakukan Kota Bogor sudah memenuhi dua hal yang pada tahun-tahun sebelumnya kosong, yakni kepemimpinan toleransi.

"Wali Kota Bogor mewujudkan kepemimpinan untuk toleransi, itu terlihat dari sini," katanya.

Selain Kota Bogor, Kota Tanjung Balai yang masuk rengking 94 kota dengan toleransi terendah juga melakukan pembenahan yang sama menuju kota toleran.

Ismail berharap langkah ini dapat diikuti oleh kota-kota lainnya yang juga memiliki permasalahan toleransi dan diskriminatif di wilayahnya.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : M Fikri Setiawan


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019