Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Bina Marga memanfaatkan aspal karet yang tersebar di sebanyak sembilan provinsi melalui 12 paket pekerjaan preservasi jalan dengan total panjang efektif sebesar 65,8 kilometer.

Menteri Basuki dalam rilis Kementerian PUPR yang diterima di Jakarta, Rabu, menyatakan, pihaknya telah memiliki pedoman sebagai acuan pemanfaatan karet untuk aspal.

Pedoman tersebut, ujar Basuki, yang telah sampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri melalui Kementerian Koordinator Perekonomian yang kemudian disampaikan kepada seluruh pemda.

Ia mengemukakan bahwa penggunaan aspal karet selain membuat kualitas jalan lebih bagus dibandingkan aspal biasa, juga upaya menyerap hasil karet petani lokal di tengah penurunan harga karet dunia.

Kelebihan dari aspal karet, lanjutnya, lebih kuat karena daya lenturnya tinggi sehingga apabila menahan beban berat, penurunannya kualitas jalan tidak cepat.

Sementara untuk pembelian bahan olahan karet (bokar) dari petani pada tahun 2019 Pemerintah menargetkan sebanyak 2.504 ton atau setara 1.252 ton SIR 20. Selanjutnya bokar diolah menjadi bahan aspal karet (SIR 20) dan menghasilkan 17.889 ton aspal karet.

Pengadaan bokar dilakukan secara bertahap untuk menghindari penyimpanan dalam waktu lama yang dapat menyebabkan karet alam rusak. Selain itu, sebagian dari bahan olahan karet tersebut akan dihibahkan ke provinsi dan kabupaten yang sudah mencanangkan penerapan aspal karet.

"Dalam 1 kilometer jalan dibutuhkan 2,7 ton karet. Ini sebetulnya hampir sama tujuannya dengan aspal plastik. Kalau aspal plastik tujuannya untuk menjaga lingkungan. Kalau aspal karet di samping sebagai campuran aspal juga bertujuan membeli karet dari petani," jelas Basuki.

Indonesia merupakan salah satu produsen karet alam terbesar di dunia. Setiap tahun produksi karet alam Indonesia mencapai 3,2 juta ton, dan 0,6 juta ton diantaranya dimanfaatkan industri dalam negeri, sementara 2,4 juta ton lainnya di ekspor.

Sebelumnya, lembaga kajian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai produksi karet nasional masih perlu digenjot karena potensi ekspor komoditas tersebut cukup besar.

Peneliti CIPS Arief Nugraha mengingatkan berdasarkan data organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO), pada tahun 2017 Indonesia merupakan negara penghasil karet terbesar kedua dunia setelah Thailand. "Sayangnya komoditas karet Indonesia memiliki beberapa permasalahan. Permasalahan yang pertama adalah produktivitas," papar Arief.

Data FAO 2017 menunjukkan, Thailand sebagai penghasil karet terbesar dunia memiliki produksi karet sebesar 4.600.000 ton dan diikuti oleh Indonesia yang berada di peringkat kedua dengan produksi sebesar 3.629.544 ton.

Sementara itu, Vietnam berada di urutan ketiga dengan 1.094.519 ton. Di antara ketiga negara ini, Indonesia memiliki lahan karet yang paling luas.

Arief menjelaskan, berdasarkan luas lahan tahun 2017, Indonesia berada di peringkat pertama dengan luas area sebesar 3.659.129 ha. Sementara Thailand berada di peringkat kedua dengan luas sebesar 3.146.330 ha dan peringkat ketiga ada Malaysia dengan luas lahan 1.081.889 ha.

Sedangkan untuk luas lahan, Vietnam berada di peringkat 7 dunia dengan luas lahan 653.213 ha. "Melihat perbandingan luas lahan ini, produktivitas karet Indonesia masih bisa ditingkatkan karena Indonesia yang memiliki lahan paling luas dunia. Dengan lahan seluas itu, setidaknya produktivitas karet Indonesia dapat menyamai Thailand," ungkapnya.

Pewarta: M Razi Rahman

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019