Washington (Antaranews Megapolitan/Reuters) - Presiden Donald Trump memulai penarikan sepenuhnya pasukan Amerika Serikat dari Suriah, dengan menyatakan pada Rabu (19/12) bahwa mereka berhasil dalam tugas mengalahkan IS dan tidak lagi diperlukan di negara itu.

Keputusan menarik sepenuhnya itu, yang dipastikan pejabat Amerika Serikat, bertepatan dengan sekitar 2.000 tentara AS menyelesaikan gerakan merebut kembali wilayah yang dikuasai petempur ISIS.

Tapi, Amerika Serikat dapat meninggalkan beberapa pilihan untuk mencegah kebangkitan IS. Itu juga dapat melemahkan pengaruh AS di kawasan tersebut dan merusak upaya diplomatik untuk mengakhiri perang saudara Suriah, yang sekarang berada di tahun kedelapan.

Berita tentang penarikan penuh itu memicu kritik langsung dari beberapa rekan Trump di Republiken, yang mengatakan bahwa langkah tersebut memperkuat cengkeraman Rusia dan Iran, yang keduanya mendukung Presiden Suriah Bashar al Assad.

Itu juga dapat menyebabkan keterpaparan persekutuan petempur Kurdi dan Arab, yang dikenal dengan Pasukan Demokratik Suriah atau SDF, yang paling kuat melawan IS tapi berada di bawah ancaman karena Turki melancarkan serangan baru di Suriah.

Komandan AS di lapangan, yang mengembangkan hubungan kuat dengan pemimpin SDF, menyuarakan keprihatinan tentang arti penarikan cepat bagi pasukan dukungan AS dan terkejut oleh keputusan itu, kata pejabat AS kepada Reuters, yang berbicara dengan syarat namanya tidak disebutkan.

"Kami mulai memulangkan pasukan Amerika Serikat karena kami beralih ke tahap berikut dari upaya itu," kata wanita juru bicara Gedung Putih Sarah Sanders dalam pernyataan, yang dikeluarkan sesudah Trump di Twitter mengatakan, "Kami mengalahkan IS di Suriah, satu-satunya alasan saya berada di sana."
   
Pendahulu Trump, Barack Obama, lambat terlibat dalam perang saudara Suriah, takut terseret ke perang asing terbuka seperti yang terjadi di Afghanistan. Ratusan ribu orang tewas dan mengungsi di Suriah, sekitar setengah dari 22 juta penduduknya sebelum perang.

Tapi, dalam upaya mengalahkan IS di Suriah, Obama memerintahkan serangan udara sejak September 2014 dan mengirim pasukan ke negara itu pada tahun berikutnya.

Gedung Putih menolak memberikan waktu untuk penarikan dan tidak memastikan secara nyata bahwa Trump memerintahkan penarikan penuh. Pejabat AS menegaskan keputusan itu kepada Reuters, namun dengan syarat namanya tidak disebutkan.

Pejabat AS menyatakan Washington bertujuan menarik pasukan dalam 60 hingga 100 hari dan mengatakan Departemen Luar Negeri AS menarik semua petugasnya di Suriah dalam 24 jam. Pejabat kedua menyatakan mereka dapat pergi lebih cepat.

Trump mewaspadai perang asing terbuka dan keputusannya tentang Suriah menimbulkan pertanyaan tentang apakah ia mempertimbangkan kembali perang AS di Afghanistan, tempat pasukan Amerika Serikat berperang sejak 2001.

Trump dengan enggan menyetujui peningkatan pasukan pada tahun lalu, tapi pejabat AS secara pribadi mengakui rasa penting dan semakin memusatkan perhatian untuk mencapai kesepakatan perdamaian dengan Taliban, yang bangkit.

Beberapa sekutu Republiken Trump di Kongres mencela keputusan penarikan itu. Senator AS Lindsey Graham, yang sering menjadi sekutu Trump tapi secara umum garang dalam kebijakan luar negeri, menyatakan penarikan akan berdampak menghancurkan bagi Amerika Serikat di kawasan tersebut dan di seluruh dunia.

"Penarikan Amerika Serikat pada saat ini akan menjadi kemenangan besar IS, Iran, Bashar al Assad dari Suriah, dan Rusia," kata pernyataan Graham.

Keputusan mengejutkan itu membingungkan di luar negeri.

Menteri pertahanan Inggris menyatakan sangat tidak setuju dengan Trump bahwa IS sudah dikalahkan di Suriah.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan Israel akan mempelajari keputusan itu dan akan memastikan keamanannya sendiri.

Di Rusia, kantor berita TASS mengutip keterangan Kementerian Luar Negeri, yang mengatakan penarikan pasukan AS dari Suriah menciptakan peluang untuk penyelesaian politik.

Banyak sisa pasukan AS di Suriah adalah pasukan gerakan khusus, yang bekerja erat dengan SDF.

Kemitraan dengan SDF membantu mengalahkan IS di Suriah tapi membuat marah sekutu di NATO, Turki, yang melihat pasukan YPG Kurdi dalam persekutuan itu sebagai perpanjangan dari kelompok pemberontak, yang berperang di Turki.

Ankara mengancam melancarkan serangan baru di Suriah.

Hingga kini, pasukan AS di Suriah dilihat sebagai unsur penenang dan sedikit menahan tindakan Turki terhadap SDF.

Penarikan penuh pasukan AS dari Suriah akan meninggalkan kehadiran militer cukup besar AS di kawasan itu, termasuk sekitar 5.200 tentara di seluruh perbatasan di Irak. Sebagian besar perang AS di Suriah dilancarkan pesawat tempur, yang terbang dari Qatar dan tempat lain di Timur Tengah.

Tapi, Menteri Pertahanan Jim Mattis dan pejabat Departemen Luar Negeri sejak lama cemas meninggalkan Suriah sebelum kesepakatan perdamaian dicapai.

IS juga secara luas diperkirakan kembali ke perang gerilya sesudah tidak lagi memiliki wilayah. Amerika Serikat tidak mengesampingkan bahwa pemimpin IS Abu Bakar al-Baghdad masih hidup.

Penerjemah: B. Soekapdjo/A/M. Anthoni.     

 

Pewarta: Reuters

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018