Kupang (Antaranews Megapolitan) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menginginkan agar orang berkelas atau bersedia membayar mahal, dan tahu menghargai eksistensi biawak Komodo saja yang dibolehkan masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK).

"TNK itu daerah konservasi maka harus dijaga dengan mengatur kunjungan. Tidak boleh massal, berbeda dengan destinasi lain. Jadi hanya orang-orang berkelas dan tahu menghargai eksistensi binatang raksasa itu saja yang masuk," kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi NTT, Marius Adu Djelamu di Kupang, Senin, berkaitan dengan rencana penaikan tarif masuk TNK, dan dampaknya terhadap arus kunjungan wisatawan ke kawasan wisata tersebut.

Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat tetap bersikeras untuk mengelola, dan memberlakukan tarif masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK) sebesar 500 dolar AS per orang wisman dan 50.000 dolar AS per kapal pesiar.

Menurut dia, Kawasan Wisata Komodo adalah kawasan koservasi yang tidak hanya memiliki keindahan alam, tetapi juga mewartakan kehidupan masa lalu, sehingga kunjungan ke kawasan itu harus tetap dijaga agar tidak mengganggu kelestarian kawasan itu.

"Lebih baik 100 orang yang berkunjung ke kawasan itu dengan membayar 500 dolar per orang, daripada 1.000 orang yang membayar murah," katanya.

Ia mengatakan, pemerintah tidak pernah bisa menghitung seberapa besar kerusakan terumbu karang di perairan laut kawasan itu akibat dilewati kapal-kapal pesiar milik perusahan, termasuk di TNK.

Belum lagi sampah plastik yang dibuang oleh kapal-kapal pesiar.

"Apakah kita pernah menghitung kerugian akibat kerusakan terumbu karang, dan sampah-sampah plastik yang dibuang dari kapal-kapal pesiar," katanya dalam nada tanya.

Sementara operator kapal meraup keuntungan besar setiap kali membawa wisatawan mengunjungi kawasan wisata di ujung barat Pulau Flores itu, katanya.

Karena itu, keinginan pemerintah NTT untuk menaikkan tarif masuk TNK adalah bagian dari upaya mempertahankan eksistensi kawasan itu.

Pewarta: Bernadus Tokan

Editor : Andi Firdaus


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018