Bogo (Antaranews Megapolitan) - Dewan Penasihat Gerakan Pengusaha Makanan Ternak (DP GPMT) menyatakan jauh lebih penting membenahi data jagung seperti yang dilakukan pada data beras, daripada mendikotomikan impor dan tidak impor.
"Kita tidak perlu perdebatkan. Logis saja, kalau surplus 12 juta ton, di mana 12 juta ton itu. Saran saya, langkah pemerintah untuk memperbaiki data beras itu berlaku juga untuk jagung," kata Dewan Penasihat GPMT Sudirman dalam diskusi kelompok terpumpun Forum Logistik dan Peternakan Indonesia (FLPI) di Fakultas Peternakan IPB, Kampus Dragama, Bogor, Jawa Barat, Rabu.
Ia mengatakan, tidak ada salahnya impor, dan mendiktomikan impor dan tidak impor juga tidak benar. Yang salah di pemerintah adalah mengukur tingkat keberhasilan.
"Tujuan kita bernegara tidak ada tuh di undang-undang dasar ada impor dan tidak impor," katanya.
Ia mengatakan, impor jagung wajar dilakukan, apalagi Indonesia juga mengekspor jagung. Berdasarkan catatanya, sampai September ini sudah impor sebesar 480 ribu ton. Sedangkan ekspor sebesar 271 ribu ton.
"Tidak masalah lebih banyak impor dibanding ekspor," katanya.
Menurutnya, kebutuhan jagung setahun untuk peternakan unggas (poultry industri) yakni 8,5 juta ton. Sementara impor jagung 480 ribu ton untuk kebutuhan pangan.
Kebutuhan impor jagung tahun ini diperkirakan sekitar 700 ribu ton, kemungkinan mencapai 1 juta ton untuk pangan, untuk pakan sebesar 8,5 juta ton. Sehingga dibutuhkan sekitar 10 juta ton jagung, dan kebutuhan ini belum bisa dipenuhi oleh produksi jagung lokal.
"Kalau produksi 30 juta ton, surplusnya ?12 juta. Kalau surplus 12 juta ditaruh di truk. Kita perlu satu juta truk kalau satu truk panjangnya enam meter, kalau dijejer lebih panjang dari Indonesia. Karena enam kali panjang Pulau Jawa yang enam ribu kilometer," kata Sudirman.
Sementara itu Sekjen Dewan Jagung Nasional (DJN) Maxdeyul Sola menilai impor boleh saja dilakukan, dilihat dari kebutuhan dan harga, jika terlalu tinggi diperlukan kebijakan impor, agar jangan sampai petani atau peternak mengeluh tidak mendapatkan jagung.
"Tetapi dibatasi, sebulan sebelum periode panen tidak boleh ada impor masuk, dan stok digunakan sebelum panen," katanya.
Sola menambahkan, impor juga boleh dilakukan dengan menerapkan pajak yang tinggi.
Ketua FLPI, Prof Luki Abdullah menambahkan, impor dalam kasus jagung tidak bisa dihindari karena persoalan jagung dalam negeri yang belum selesai.
Sementara itu, lanjutnya, industri pakan perunggasan tumbuh cukup pesan, karena adanya amanah negara untuk menyediakan daging dan telur murah.
"Bagaimana kita bisa menemukan daging dan telur murah, kalau pakannya mahal," katanya.
Luki menyebutkan, mekanisme impor jangan diharamkan, karena ada kenyataan pada fase-fase tertentu pruduksi jagung menurun, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan industri.
"Pada saat fase produksi rendah pemerintah harus impor, tapi dengan sistem tarif bukan kuota," kata Luki.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
"Kita tidak perlu perdebatkan. Logis saja, kalau surplus 12 juta ton, di mana 12 juta ton itu. Saran saya, langkah pemerintah untuk memperbaiki data beras itu berlaku juga untuk jagung," kata Dewan Penasihat GPMT Sudirman dalam diskusi kelompok terpumpun Forum Logistik dan Peternakan Indonesia (FLPI) di Fakultas Peternakan IPB, Kampus Dragama, Bogor, Jawa Barat, Rabu.
Ia mengatakan, tidak ada salahnya impor, dan mendiktomikan impor dan tidak impor juga tidak benar. Yang salah di pemerintah adalah mengukur tingkat keberhasilan.
"Tujuan kita bernegara tidak ada tuh di undang-undang dasar ada impor dan tidak impor," katanya.
Ia mengatakan, impor jagung wajar dilakukan, apalagi Indonesia juga mengekspor jagung. Berdasarkan catatanya, sampai September ini sudah impor sebesar 480 ribu ton. Sedangkan ekspor sebesar 271 ribu ton.
"Tidak masalah lebih banyak impor dibanding ekspor," katanya.
Menurutnya, kebutuhan jagung setahun untuk peternakan unggas (poultry industri) yakni 8,5 juta ton. Sementara impor jagung 480 ribu ton untuk kebutuhan pangan.
Kebutuhan impor jagung tahun ini diperkirakan sekitar 700 ribu ton, kemungkinan mencapai 1 juta ton untuk pangan, untuk pakan sebesar 8,5 juta ton. Sehingga dibutuhkan sekitar 10 juta ton jagung, dan kebutuhan ini belum bisa dipenuhi oleh produksi jagung lokal.
"Kalau produksi 30 juta ton, surplusnya ?12 juta. Kalau surplus 12 juta ditaruh di truk. Kita perlu satu juta truk kalau satu truk panjangnya enam meter, kalau dijejer lebih panjang dari Indonesia. Karena enam kali panjang Pulau Jawa yang enam ribu kilometer," kata Sudirman.
Sementara itu Sekjen Dewan Jagung Nasional (DJN) Maxdeyul Sola menilai impor boleh saja dilakukan, dilihat dari kebutuhan dan harga, jika terlalu tinggi diperlukan kebijakan impor, agar jangan sampai petani atau peternak mengeluh tidak mendapatkan jagung.
"Tetapi dibatasi, sebulan sebelum periode panen tidak boleh ada impor masuk, dan stok digunakan sebelum panen," katanya.
Sola menambahkan, impor juga boleh dilakukan dengan menerapkan pajak yang tinggi.
Ketua FLPI, Prof Luki Abdullah menambahkan, impor dalam kasus jagung tidak bisa dihindari karena persoalan jagung dalam negeri yang belum selesai.
Sementara itu, lanjutnya, industri pakan perunggasan tumbuh cukup pesan, karena adanya amanah negara untuk menyediakan daging dan telur murah.
"Bagaimana kita bisa menemukan daging dan telur murah, kalau pakannya mahal," katanya.
Luki menyebutkan, mekanisme impor jangan diharamkan, karena ada kenyataan pada fase-fase tertentu pruduksi jagung menurun, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan industri.
"Pada saat fase produksi rendah pemerintah harus impor, tapi dengan sistem tarif bukan kuota," kata Luki.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018