Jakarta (Antaranews Megapolitan) - Sebanyak 34 kepala daerah terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama enam tahun terakhir atau sejak 2012.
Terakhir, pada Jumat (5/10) KPK telah menetapkan Wali Kota Pasuruan 2016-2021 Setiyono sebagai tersangka penerima suap terkait proyek-proyek di lingkungan Pemerintah Kota Pasuruan Tahun Anggaran 2018.
"Sejak 2012, hingga tangkap tangan terhadap Wali Kota Pasuruan kemarin, KPK telah melakukan OTT terhadap 34 kepala daerah dengan beragam modus. Namun, semua kepala daerah ini ditangkap dalam kasus suap," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Minggu.
Febri menyatakan penerimaan uang sebagai "fee" proyek merupakan modus yang menonjol pada hampir semua kasus tersebut.
"Namun ada beberapa yang menerima uang terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah, dan pengurusan anggaran otonomi khusus," katanya.
Menurutnya, praktik buruk korupsi dalam bentuk suap itu tentu merusak tujuan proses demokrasi lokal termasuk pilkada serentak yang diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan hanya mengumpulkan kekayaan pribadi dan pembiayaan politik.
"Negara dirugikan berkali-kali ketika praktik suap kepala daerah terus terjadi," ucap Febri.
Selain proses kontestasi politik dengan biaya penyelenggaraan yang mahal, lanjut Febri, praktik suap memicu persaingan tidak sehat antarpelaku usaha di daerah.
Ia menyatakan satu perusahaan mendapatkan proyek lebih karena kemampuan menyuap pejabat dibanding kompetensi mengerjakan proyek tersebut.
"Akibat lain, suap akan dihitung sebagai biaya sehingga berisiko mengurangi kualitas bangunan, jembatan, sekolah, peralatan kantor, rumah sakit dan lain-lain yang dibeli. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah masyarakat," tuturnya.
Selanjutnya, kata Febri, penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) secara struktural semakin dirasa mendesak.
"Bukan hanya agar aparatur pengawas ini memahami bagaimana celah dan bentuk penyimpangan yang terjadi tetapi juga revitalisasi posisi APIP yang selama ini nyaris tersandera dan tidak independen di bawah kepala daerah," ujar dia.
Menurut dia, sulit membayangkan inspektorat yang diangkat dan diberhentikan kepala daerah kemudian dapat melakukan pengawasan terhadap atasannya tersebut hingga penjatuhan sanksi.
"Karena itulah perbaikan regulasi seperti RUU Sistem Pengawasan Intern Pemerintah menjadi kebutuhan untuk mencegah korupsi kepala daerah yang terus terjadi," ucap Febri.
Ia menyatakan APIP yang lebih independen dapat memetakan siapa saja pemegang proyek yang berulang kali menjadi pemenang tender di daerah, melakukan "review" sejak awal proses penganggaran, pengadaan hingga memfasilitasi keluhan dari masyarakat tentang adanya penyimpangan di sektor tertentu.
"Butuh perhatian lebih dari Presiden dan DPR untuk menyusun aturan setingkat UU ini," ungkap Febri.
Selain itu, lanjut Febri, jika dilihat dari proses awal sebelum kepala daerah menjabat, maka biaya politik yang tinggi dapat diidentifikasikan sebagai salah satu faktor pendorong korupsi kepala daerah.
"Dalam OTT para kepala daerah ini, terdapat beberapa pelaku yang mengumpulkan uang untuk tujuan pencalonan kembali dan pengumpulan mantan tim sukses untuk mengelola proyek di daerah tersebut," kata dia.
Febri mengungkapkan bahwa akuntabilitas sumbangan dana kampanye menjadi salah satu faktor krusial yang perlu diperhatikan.
"Karena hubungan pelaku ekonomi dan politik yang tertutup rentan memicu persekongkolan dan penyalahgunaan wewenang saat kepala daerah menjabat. Utang dana kampanye tersebut berisiko dibayar melalui alokasi proyek-proyek di daerah," tuturnya.
Menurut Febri, jika dua hal di atas tidak diselesaikan akan semakin sulit mengurai "benang kusut" korupsi politik di daerah.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
Terakhir, pada Jumat (5/10) KPK telah menetapkan Wali Kota Pasuruan 2016-2021 Setiyono sebagai tersangka penerima suap terkait proyek-proyek di lingkungan Pemerintah Kota Pasuruan Tahun Anggaran 2018.
"Sejak 2012, hingga tangkap tangan terhadap Wali Kota Pasuruan kemarin, KPK telah melakukan OTT terhadap 34 kepala daerah dengan beragam modus. Namun, semua kepala daerah ini ditangkap dalam kasus suap," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Minggu.
Febri menyatakan penerimaan uang sebagai "fee" proyek merupakan modus yang menonjol pada hampir semua kasus tersebut.
"Namun ada beberapa yang menerima uang terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah, dan pengurusan anggaran otonomi khusus," katanya.
Menurutnya, praktik buruk korupsi dalam bentuk suap itu tentu merusak tujuan proses demokrasi lokal termasuk pilkada serentak yang diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan hanya mengumpulkan kekayaan pribadi dan pembiayaan politik.
"Negara dirugikan berkali-kali ketika praktik suap kepala daerah terus terjadi," ucap Febri.
Selain proses kontestasi politik dengan biaya penyelenggaraan yang mahal, lanjut Febri, praktik suap memicu persaingan tidak sehat antarpelaku usaha di daerah.
Ia menyatakan satu perusahaan mendapatkan proyek lebih karena kemampuan menyuap pejabat dibanding kompetensi mengerjakan proyek tersebut.
"Akibat lain, suap akan dihitung sebagai biaya sehingga berisiko mengurangi kualitas bangunan, jembatan, sekolah, peralatan kantor, rumah sakit dan lain-lain yang dibeli. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah masyarakat," tuturnya.
Selanjutnya, kata Febri, penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) secara struktural semakin dirasa mendesak.
"Bukan hanya agar aparatur pengawas ini memahami bagaimana celah dan bentuk penyimpangan yang terjadi tetapi juga revitalisasi posisi APIP yang selama ini nyaris tersandera dan tidak independen di bawah kepala daerah," ujar dia.
Menurut dia, sulit membayangkan inspektorat yang diangkat dan diberhentikan kepala daerah kemudian dapat melakukan pengawasan terhadap atasannya tersebut hingga penjatuhan sanksi.
"Karena itulah perbaikan regulasi seperti RUU Sistem Pengawasan Intern Pemerintah menjadi kebutuhan untuk mencegah korupsi kepala daerah yang terus terjadi," ucap Febri.
Ia menyatakan APIP yang lebih independen dapat memetakan siapa saja pemegang proyek yang berulang kali menjadi pemenang tender di daerah, melakukan "review" sejak awal proses penganggaran, pengadaan hingga memfasilitasi keluhan dari masyarakat tentang adanya penyimpangan di sektor tertentu.
"Butuh perhatian lebih dari Presiden dan DPR untuk menyusun aturan setingkat UU ini," ungkap Febri.
Selain itu, lanjut Febri, jika dilihat dari proses awal sebelum kepala daerah menjabat, maka biaya politik yang tinggi dapat diidentifikasikan sebagai salah satu faktor pendorong korupsi kepala daerah.
"Dalam OTT para kepala daerah ini, terdapat beberapa pelaku yang mengumpulkan uang untuk tujuan pencalonan kembali dan pengumpulan mantan tim sukses untuk mengelola proyek di daerah tersebut," kata dia.
Febri mengungkapkan bahwa akuntabilitas sumbangan dana kampanye menjadi salah satu faktor krusial yang perlu diperhatikan.
"Karena hubungan pelaku ekonomi dan politik yang tertutup rentan memicu persekongkolan dan penyalahgunaan wewenang saat kepala daerah menjabat. Utang dana kampanye tersebut berisiko dibayar melalui alokasi proyek-proyek di daerah," tuturnya.
Menurut Febri, jika dua hal di atas tidak diselesaikan akan semakin sulit mengurai "benang kusut" korupsi politik di daerah.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018