Bogor (Antaranews Megapolitan) - Guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB Prof Muhammad Agus Suprayudi mengembangkan penelitian bungkil karet yang bisa menggantikan bungkil kedelai sebagai pakan ikan alternatif untuk budidaya.

Prof M Agus memaparkan hasil kajiannya tersebut di hadapan civitas akademika IPB, dalam orasi ilmiah Guru Besar IPB di Kampus Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Sabtu.

Penelitian itu menunjukkan Agus menciptakan bungkil biji kedelai analog yang berbasis biji karet.

"Bungkil biji karet dapat menggantikan bungkil kedelai sebagai bahan pakan ikan," katanya.

Ia menjelaskan, bungkil biji karet bisa menggantikan fungsi bungkil kedelai tanpa menimbulkan efek negatif hingga level 50 persen.

"Selain bungkil biji karet, minyak biji karet juga dapat digunakan sebagai sumber lemak dan asam lemak esensial," katanya.

Menurut dia, perkembangan akuakultur (budidaya ikan) naik hingga 200 persen setiap tahunnya. Penangkapan ikan dunia pada akuakultur mencapai 44,1 persen. Amerika, Eropa, Afrika di bawah lima persen sedangkan Asia mencapai 13,3 persen.

Kondisi ini, lanjutnya, menjadikan Indonesia sebagai pusat akuakultur di Asia.

"Maka saya bilang pusat akuakultur itu di Asia. Indonesia ada di nomor dua setelah China," katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, dalam perikanan akuakultur, ada yang membutuhkan pakan ada yang tidak.

Sementara itu, biaya pakan terhadap total biaya produksi paling besar dibandingkan dengan biaya lain, seperti kontribusi biaya pakan ikan air tawar itu paling besar.

Biaya pakan untuk satu kilo gram ikan dipengaruhi oleh ada dua faktor yakni harga pakan dan efisiensi pakan.

"Oleh karena itu, kita perlu re-evaluasi nutrien dan tekan harga pakan," katanya.

Ia menyebutkan, re-evaluasi nutrien bisa dilakukan dengan penambahan asam amino esensial serta pemberian rasio protein energi yang sesuai.

"Teknik ini dapat meningkatkan efisiensi protein sebesar 13 hingga 38,7 peren," katanya.

Menurut dia, hanya 25-30 persen dari energi dam protein pakan yang dapat diretensi dala tubuh ikan. Selebihnya akan dikeluarkan melalui feses, insang dan hilang dalam bentuk panas.

Oleh karena itu perlu peningkatan efisiensi protein dengan penambahan asam amino.

Selain dengan suplementasi asam amino, peningkatan efisiensi protein juga daoat dilakukan dengan meningkatkan ketersediaan energi nonprotein yang berasal dari karbohidrat dan lemak.

Cara kedua dalam efisiensi pakan, lanjutnya, adalah dengan menekan harga pakan.

Indonesia, katanya, bisa memanfaatkan bahan pakan lokal untuk menurunkan harga pakan. Hampir 70-80 persen bahan penyusun pakan merupakan produk impro.

Sumber protein nabati terutama bungkil kedelai merupakan komoditas impor yang hingga saat ini belum mampu diproduksi Indonesia.

Padahal bungkil kedelai adalah sumber protein termurah dan diantara suber protein nabati dan hewani yang ada dan digunakan dalam pakan ikan, presentase bungkil kedelai sangat besar yakni 15-30 persen.

"Karena impor dan dibutuhkan dalam jumlah yang besar, maka perlu terobosan untuk menyediakan bahan pengganti bungkil kedelai agar akuakulutur Indonesia tetap berlangsung," katanya.

Ia mengatakan, pada tahun 2050 proyeksi konsumsi ikan akan naik sebesar 66 persen atau menjadi 339,5 ton.

Oleh karena itu, akan dibutuhkan bahan pakan yang jauh lebih banyak dari sekarang.

Sementara saat ini Indonesia sudah kelabakan untuk memenuhi bahan pakan. Saat ini diperlukan 1.63 juta ton pakan ikan dan tahun 2050 diperkirakan dibutuhkan 4-5 juta ton.

Saat ini baru 20 persennya bahan pakan dari lokal. Seperti dedak, Palm Kernel Meal (sawit), singkong (beserta turunannya) dan kopra kelapa. Yang lainnya impor.

"Sementara itu,harga soybean saat ini Rp7.300 per kilogram (naik drastis). Kita sudah teliti berbagai bahan baku," katanya.

Dari hasil penelitiannya, Agus mengatakan ada satu bahan yang punya potensi yang luar biasa sebagai alternatif pakan ikan, yakni biji karet yang produksinya 4,1 juta ton per tahun.

Biji karet ini baru dimanfaatkan 1 juta ton, sisanya belum termanfaatkan. Asam amino esensial dan A/E rasio biji karet dengan bungkil kedelai hampir sama.

Minyak biji karet juga lebih bagus dari minyak sawit, minyak jagung, minyak kedelai dan minyak salmon. Linoleat mencapai ?40,1 dan linolenatnya encapai dan 17,6.

"Tapi biji karet itu juga mengandung sianida," katanya.

Ia menambahkan, jika sianidanya tidak dihilangkan akan mengakibatkan kerusakan ginjal pada ikan.

Hasil risetnya menunjukkan, minyak biji karet jika dipanaskan turun 90 persen kandungan sianidanya. Uji coba di ikan dengan pakan biji karet yang sudah ditreatment, pakan biji karet mampu menggantikan bugkil kedelai 50-60 persen.

"Minyak biji karet juga dapat digunakan sebagai sumber lemak dan asam lemak esesnsial pada ikan nila," katanya.

Menurutnya, ada hambatan dalam mengembangkan pakan biji karet ini. Yakni untuk mendapatkan biji karet (musiman) hanya bisa setahun sekali sehingga `suplly` atau ketersediaannya tidak terjamin.

Solusinya adalah kerjasama dengan pemerintah bagaimana produksi bisa menjadi 2-3 kali setahun.

"Jika ini bisa dikembangkan, kesejahteraan petani karet juga akan meningkat dan impor bungkil kedelai bisa ditekan serta bisa menghemat devisa negara," kata Agus.
 

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018