Istanbul, (Antaranews Megapolitan/Reuters) - Warga Turki pada Minggu mendatangi bilik pemungutan suara untuk memilih presiden dan anggota parlemen dalam pesta demokrasi, yang menjadi tantangan berat bagi petahana Tayyip Erdogan dan partainya, AKP, yang telah berkuasa satu setengah dasawarsa.
Presiden terpilih akan memiliki kewenangan lebih besar dari penguasa sebelumnya, sesuai dengan hasil referendum pada tahun lalu. Sejumlah pengamat mengatakan bahwa kewenangan baru itu akan menjauhkan Turki dari demokrasi.
"Stabilitas harus berlanjut dan hal ini bisa terjadi hanya dengan Erdogan. Inilah alasan saya memilih dia," kata Mehmet Yildirim (48), warga Istanbul.
Lebih dari 56 juta orang terdaftar sebagai pemilih di 180.000 bilik pemungutan suara di seluruh Turki. Pemungutan suara dimulai pada pukul 08.00 atau 12.00 WIB.
Erdogan, penguasa paling populer dalam sejarah modern Truki, memajukan jadwal pemilihan umum dari November 2019 karena ingin lebih cepat memiliki kewenangan besar, yang baru. Menurut dia, kewenangan itu akan memudahkan penyelesaian masalah ekonomi, yang ditandai dengan anjloknya nilai mata uang lira sebesar 20 persen terhadap dolar AS pada tahun ini, dan menghabisi pemberontakan Kurdi di dalam dan luar negeri.
Namun, Erdogan harus menghadapi tantangan dari Muharrem Ince, kandidat presiden dari kubu sekuler partai CHP, yang berhasil menyatukan kelompok-kelompok oposan yang sebelumnya terpecah.
Dalam kampanye pada Sabtu di Istanbul di hadapan ratusan ribu orang, Ince berjanji akan membalik kecenderungan pemerintahan otoritarian dari Erdogan di negara berpenduduk 81 juta orang tersebut.
"Jika Erdogan menang, maka telepon kalian akan disadap, semua orang hidup dalam ketakutan. Tapi jika Ince menang, maka aparat penegak hukum akan menjadi otoritas independen," kata Ince, yang juga berjanji akan menghentikan status darurat militer dalam 48 jam setelah resmi terpilih.
Turki selama dua tahun terakhir masih menerapkan darurat militer -- yang membatasi sejumlah kebebasan individu dan membuat pemerintah bisa melangkahi kewenangan parlemen -- menyusul upaya kudeta gagal pada Juli 2016.
Erdogan menuding teman lamanya ulama Fethullah Gulen, yang kini tinggal sebagai pengasingan di Amerika Serikat, berada di balik upaya kudeta bersama para pengikutnya. Sejak saat itu para pengukit Gulen ditangkapi dalam operasi massif, dengan sekitar 160.000 orang terpaksa menjadi tahanan.
Pengkritik Turki, termasuk Uni Eropa --tempat Ankara ingin bergabung-- mengatakan bahwa operasi penangkapan Gulenis hanyalah alasan untuk membungkam oposisi. Sangat sedikit surat kabar di Turki yang secara terbuka mengkritik presiden.
"Ini bukan lagi Turki yang kami inginkan. Hak-hak kami dikebiri, dan demokrasi tidak berjalan," kata pekerja di sektor kesehatan, Sema (50), setelah mencoblos di Istanbul.
Sementara itu, Erdogan pada Sabtu mengatakan bahwa jika terpilih kembali, dia akan melanjutkan pembangunan infrastruktur besar yang berpotensi membuat Turki menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa Erdogan akan menang meski harus menjalani dua putaran. Selain itu, AKP juga akan kehilangan status sebagai partai mayoritas di parlemen.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
Presiden terpilih akan memiliki kewenangan lebih besar dari penguasa sebelumnya, sesuai dengan hasil referendum pada tahun lalu. Sejumlah pengamat mengatakan bahwa kewenangan baru itu akan menjauhkan Turki dari demokrasi.
"Stabilitas harus berlanjut dan hal ini bisa terjadi hanya dengan Erdogan. Inilah alasan saya memilih dia," kata Mehmet Yildirim (48), warga Istanbul.
Lebih dari 56 juta orang terdaftar sebagai pemilih di 180.000 bilik pemungutan suara di seluruh Turki. Pemungutan suara dimulai pada pukul 08.00 atau 12.00 WIB.
Erdogan, penguasa paling populer dalam sejarah modern Truki, memajukan jadwal pemilihan umum dari November 2019 karena ingin lebih cepat memiliki kewenangan besar, yang baru. Menurut dia, kewenangan itu akan memudahkan penyelesaian masalah ekonomi, yang ditandai dengan anjloknya nilai mata uang lira sebesar 20 persen terhadap dolar AS pada tahun ini, dan menghabisi pemberontakan Kurdi di dalam dan luar negeri.
Namun, Erdogan harus menghadapi tantangan dari Muharrem Ince, kandidat presiden dari kubu sekuler partai CHP, yang berhasil menyatukan kelompok-kelompok oposan yang sebelumnya terpecah.
Dalam kampanye pada Sabtu di Istanbul di hadapan ratusan ribu orang, Ince berjanji akan membalik kecenderungan pemerintahan otoritarian dari Erdogan di negara berpenduduk 81 juta orang tersebut.
"Jika Erdogan menang, maka telepon kalian akan disadap, semua orang hidup dalam ketakutan. Tapi jika Ince menang, maka aparat penegak hukum akan menjadi otoritas independen," kata Ince, yang juga berjanji akan menghentikan status darurat militer dalam 48 jam setelah resmi terpilih.
Turki selama dua tahun terakhir masih menerapkan darurat militer -- yang membatasi sejumlah kebebasan individu dan membuat pemerintah bisa melangkahi kewenangan parlemen -- menyusul upaya kudeta gagal pada Juli 2016.
Erdogan menuding teman lamanya ulama Fethullah Gulen, yang kini tinggal sebagai pengasingan di Amerika Serikat, berada di balik upaya kudeta bersama para pengikutnya. Sejak saat itu para pengukit Gulen ditangkapi dalam operasi massif, dengan sekitar 160.000 orang terpaksa menjadi tahanan.
Pengkritik Turki, termasuk Uni Eropa --tempat Ankara ingin bergabung-- mengatakan bahwa operasi penangkapan Gulenis hanyalah alasan untuk membungkam oposisi. Sangat sedikit surat kabar di Turki yang secara terbuka mengkritik presiden.
"Ini bukan lagi Turki yang kami inginkan. Hak-hak kami dikebiri, dan demokrasi tidak berjalan," kata pekerja di sektor kesehatan, Sema (50), setelah mencoblos di Istanbul.
Sementara itu, Erdogan pada Sabtu mengatakan bahwa jika terpilih kembali, dia akan melanjutkan pembangunan infrastruktur besar yang berpotensi membuat Turki menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa Erdogan akan menang meski harus menjalani dua putaran. Selain itu, AKP juga akan kehilangan status sebagai partai mayoritas di parlemen.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018