Bogor (Antaranews Megapolitan) - Kementerian Kebijakan Agrikompleks, Badan Eksekutif Mahasiswa, Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM KM IPB) 2018 mengadakan pemutaran film berjudul “Asimetris” karya Watchdoc. Kegiatan ini berlansung di Koridor Gedung Kuliah A (GKA) Fakultas Pertanian IPB, Jum’at (23/3).
Kegiatan pemutaran film ini dilanjutkan dengan pembahasan oleh ketiga pakar yang ahli di bidangnya yaitu Bayu Eka Yulian, Peneliti Pusat Studi Agraria, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB, Amir Mahmud (Peneliti Sajogyo Institute), dan Linda Rosaline (Campaigner Forest Watch Indonesia).
Dalam sambutannya, Bambang Tri Daxoko, Menteri Agrikompleks BEM KM IPB 2018 mengatakan, film ini menampilkan kebutuhan masyarakat yang sangat bergantung kepada produk kelapa sawit baik dari ranah dapur, kamar mandi hingga transportasi. Ketimpangan sosial yang terjadi antara masyarakat kelas atas hingga kelas menengah dan kelas bawah terutama yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit.
“Secara lugas, film ini juga mengambarkan bahwa kelapa sawit hanya dimiliki segelintir orang saja. Hal yang menarik adalah ketika beberapa cuplikan menampilkan wujud-wujud kearifan lokal masyarakat dalam menjaga alam dari kerusakan. Hal inilah yang menjadi fokus utama mengkaji terkait kerugian yang dihasilkan kelapa sawit lebih besar dibandingkan keuntungannya khususnya di bidang lingkungan,” ungkap Bambang.
Bayu Eka Yulian menyampaikan bahwa ekspansi sawit akan menimbulkan monokultur komoditas yaitu kelapa sawit. Hal ini mendorong masyarakat hanya bergantung kepada kelapa sawit sebagai lahan untuk mencari nafkah. “Padahal di suatu desa jika terdapat banyak potensi nafkah, maka peluang untuk menghasilkan pendapatan lebih besar tentu terbuka lebar, daripada hanya tergantung dengan satu komoditas kelapa sawit saja. Mengingat harga sawit di pasar pun diatur oleh ekonomi politik pasar global bukan petani,” jelasnya.
Dalam lingkup yang berbeda Amir Mahmud menyampaikan, terdapat tiga lapisan masyarakat yang dikisahkan dalam dari film ini yaitu lapisan kelas atas atau para pemilik perusahaan sawit, lapisan kelas menengah yaitu petani yang memiliki luas lahan di atas 50 hektare dan lapisan kelas bawah atau petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 5 hektare.
Menyimpulkan kedua pendapat dari pembicara sebelumnya, Linda menyampaikan bahwa film ini hendak memberi pesan dari masyarakat secara nyata terkait dampak ekspansi kelapa sawit bagi masyarakat sekitar. Film ini sungguh menggugah bagi orang awam yang tidak tahu banyak tentang kondisi riil di lapangan.
Forum sepakat bahwa industri kelapa sawit bukanlah sesuatu yang perlu dilawan, namun hal yang perlu diperhatikan adalah praktik-praktik kerja di lapangan. Diperlukan rambu-rambu yang perlu dipatuhi oleh perusahaan sawit termasuk di dalamnya adalah menghindari konflik dengan masyarakat sekitar dan harus ada pembatasan lahan sawit di suatu wilayah, agar tidak terjadi monokultur komoditas.
“Harapannya, bedah film sosial lingkungan seperti ini akan menjadi titik awal pemodelan diskusi khususnya bagi Kementerian Kebijakan Agrikompleks BEM KM IPB 2018, agar dapat lebih menggugah dan memberi rasa penasaran bagi mahasiswa untuk hadir dan lebih peduli terhadap isu sekitar,” tutup Bambang. Nonton bareng dan diskusi ini tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa IPB namun juga beberapa aktivis lingkungan Bogor. (fifi/ris)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
Kegiatan pemutaran film ini dilanjutkan dengan pembahasan oleh ketiga pakar yang ahli di bidangnya yaitu Bayu Eka Yulian, Peneliti Pusat Studi Agraria, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB, Amir Mahmud (Peneliti Sajogyo Institute), dan Linda Rosaline (Campaigner Forest Watch Indonesia).
Dalam sambutannya, Bambang Tri Daxoko, Menteri Agrikompleks BEM KM IPB 2018 mengatakan, film ini menampilkan kebutuhan masyarakat yang sangat bergantung kepada produk kelapa sawit baik dari ranah dapur, kamar mandi hingga transportasi. Ketimpangan sosial yang terjadi antara masyarakat kelas atas hingga kelas menengah dan kelas bawah terutama yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit.
“Secara lugas, film ini juga mengambarkan bahwa kelapa sawit hanya dimiliki segelintir orang saja. Hal yang menarik adalah ketika beberapa cuplikan menampilkan wujud-wujud kearifan lokal masyarakat dalam menjaga alam dari kerusakan. Hal inilah yang menjadi fokus utama mengkaji terkait kerugian yang dihasilkan kelapa sawit lebih besar dibandingkan keuntungannya khususnya di bidang lingkungan,” ungkap Bambang.
Bayu Eka Yulian menyampaikan bahwa ekspansi sawit akan menimbulkan monokultur komoditas yaitu kelapa sawit. Hal ini mendorong masyarakat hanya bergantung kepada kelapa sawit sebagai lahan untuk mencari nafkah. “Padahal di suatu desa jika terdapat banyak potensi nafkah, maka peluang untuk menghasilkan pendapatan lebih besar tentu terbuka lebar, daripada hanya tergantung dengan satu komoditas kelapa sawit saja. Mengingat harga sawit di pasar pun diatur oleh ekonomi politik pasar global bukan petani,” jelasnya.
Dalam lingkup yang berbeda Amir Mahmud menyampaikan, terdapat tiga lapisan masyarakat yang dikisahkan dalam dari film ini yaitu lapisan kelas atas atau para pemilik perusahaan sawit, lapisan kelas menengah yaitu petani yang memiliki luas lahan di atas 50 hektare dan lapisan kelas bawah atau petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 5 hektare.
Menyimpulkan kedua pendapat dari pembicara sebelumnya, Linda menyampaikan bahwa film ini hendak memberi pesan dari masyarakat secara nyata terkait dampak ekspansi kelapa sawit bagi masyarakat sekitar. Film ini sungguh menggugah bagi orang awam yang tidak tahu banyak tentang kondisi riil di lapangan.
Forum sepakat bahwa industri kelapa sawit bukanlah sesuatu yang perlu dilawan, namun hal yang perlu diperhatikan adalah praktik-praktik kerja di lapangan. Diperlukan rambu-rambu yang perlu dipatuhi oleh perusahaan sawit termasuk di dalamnya adalah menghindari konflik dengan masyarakat sekitar dan harus ada pembatasan lahan sawit di suatu wilayah, agar tidak terjadi monokultur komoditas.
“Harapannya, bedah film sosial lingkungan seperti ini akan menjadi titik awal pemodelan diskusi khususnya bagi Kementerian Kebijakan Agrikompleks BEM KM IPB 2018, agar dapat lebih menggugah dan memberi rasa penasaran bagi mahasiswa untuk hadir dan lebih peduli terhadap isu sekitar,” tutup Bambang. Nonton bareng dan diskusi ini tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa IPB namun juga beberapa aktivis lingkungan Bogor. (fifi/ris)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018