Bogor (Antaranews Megapolitan) - Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) menggelar konferensi pers terkait kisruh kenaikan harga beras dan upaya impor beras yang dilakukan pemerintah (22/1).
Direktur KSKP IPB, Prof. Dr. Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan bahwa IPB sudah melakukan wanti-wanti sejak pertengahan tahun 2017 lalu bahwa Indonesia kekurangan stok beras. Namun, agar tidak terjadi perdebatan yang berlarut-larut dan tanpa ujung, IPB memberikan rekomendasi jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
“Pemerintah sesegera mungkin menjamin ketersediaan stok beras dan menjamin tidak terjadi penurunan harga beras secara drastis. Ini memungkinkan jika impor dilakukan oleh Bulog. Untuk saat ini impor beras memang harus dilakukan karena stok beras di Bulog menipis. Tapi di sisi lain, keputusan impor ini tidak menurunkan harga di petani. Oleh karena itu, pemerintah harus mengumumkan kenaikan HPP (Harga Pembelian Pemerintah),” ujarnya di IPB International Convention Center (IICC), Bogor.
Menurutnya, beras yang masuk ke Indonesia adalah beras dari kelebihan stok dari Thailand yang dijual murah. Di Thailand terjadi kelebihan stok beras hingga 10 juta ton. Ini yang dimanfaatkan untuk menjamin ketersediaan beras di Bulog. Impor bisa dilakukan dengan menaikkan HPP.
“Kebijakan impor menimbulkan kekhawatiran harga gabah petani turun. Makanya, saat impor harus segera diumumkan harga di petani dinaikkan. Dananya dari keuntungan selisih harga beras impor dan domestik. Kami sudah menghitung dan cukup untuk menaikkan harga HPP. Berdasarkan inpres, HPP sebesar Rp 3.700,-. Saat ini petani menikmati harga gabah kering panen Rp 5.000 per kilogram,” tandasnya.
Dikatakannya, pemerintah harus menugaskan Bulog, bukan pihak lain. Bulog yang melakukan operasi pasar. Ini untuk menjamin petani dapat keuntungan pada saat panen raya.
“Kalau bisa dalam beberapa hari ini sudah ada kepastian. Dalam waktu dekat ini HPP harus naik, karena dalam waktu dekat mulai panen. Sekarang belum panen, jadi belum terlambat untuk menetapkan HPP walaupun koordinasinya tidak mudah. Harga riil di lapangan sudah jauh di atas harga pembelian pemerintah. Pemerintah tidak bisa lagi berharap persoalan selesai dengan satuan tugas (Satgas) pangan ketika dihadapkan dengan supply dan demand di lapangan. Kekhawatiran terjadi kekurangan stok pangan ini sudah IPB sampaikan sejak pertengahan tahun lalu, tapi tetap saja persoalan masih berulang,” ujarnya.
Itu adalah solusi jangka pendek. Untuk menghindari berulangnya kejadian ini, IPB juga menyampaikan rekomendasi jangka menengah, yakni perlunya pembenahan data pangan khususnya beras, evaluasi pola tanam padi yang nyaris tanpa jeda (3-4 kali setahun), juga aplikasikan benih unggul.
“Koreksi data harus dilakukan. Terjadi ketidaksesuaian data sekitar 20-30 persen (data kelebihan stok beras). Di banyak tempat ada gagal panen khususnya pada tahun 2017 lalu. Data ini harus segera diperbaiki. Konflik kepentingan menyebabkan informasi menjadi simpang siur,” ujarnya.
Teknik budidaya perlu diperhatikan, kebijakan pemerintah yang mendorong untuk intensifikasi (3-4 kali per tahun) akan membuka jembatan hama dan penyakit. Pola demikian membuka peluang munculnya hama dan penyakit tanaman.
Berdasarkan data yang didapat oleh tim IPB di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian (Faperta) ada 30 kabupaten di Bali, Jawa, Lampung, Sumatera Selatan terjadi serangan hama wereng dan virus kerdil hampa (terlihat padinya hijau tapi gabahnya kopong). Sehingga mengancam ketahanan pangan nasional di tahun-tahun mendatang.
Pemerintah juga harus mendorong peningkatan produktivitas melalui penanaman bibit unggul yang murah dan mudah diaplikasikan oleh petani. IPB memiliki berbagai hasil riset dan inovasi yang dapat dimanfaatkan, seperti benih padi IPB 3S dan pengembangan Desa Mandiri Benih di 23 kabupaten.
Untuk strategi jangka panjangnya, ketergantungan masyarakat dengan beras harus diturunkan, salah satunya dengan mengubah karakteristik masyarakat. Konsumsi beras Indonesia tahun 2016 mencapai 98 kilogram (kg) per kapita per tahun. Ini masih lebih tinggi dari Korea 40 kg per kapita per tahun, Jepang 50 kg per kapita per tahun, Malaysia 80 kg per kapita per tahun, Thailand 70 kg per kapita per tahun.
“Selain itu, standard “swasembada” atau target produksi beras dalam negeri mendekati angka yang lebih realistis. Penting juga mengalokasikan lahan pertanian yang lebih luas, khususnya tanaman pangan dan sawah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan nasional,” tandasnya.(zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018