Bogor (Antara Megapolitan) - Perhimpunan Pemulia Indonesia (PERIPI) menilai Indonesia memerlukan 10.620 pemulia tanaman untuk melayani petani yang menurut data Badan Pusat Statistik 2013 mencapai 31,71 juta jiwa.

Prof Mohammad Syukur dari Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB yang juga bagian dari PERIPI di Bogor, Jawa Barat, Senin, menyebutkan jika satu pemulia tanaman melayani 1.000-3.000 petani, dibutuhkan sekitar 9.000 sampai 10 ribu pemulia di Indonesia.

"Jumlah pemulia Indonesia baru ada kurang lebih 1.000 orang pemulia tanaman yang tersebar di berbagai perguruan tinggi, instansi penelitian pemerintah maupun swasta," katanya.

Menurut dia, Indonesia membutuhkan sektar 10 ribu pemulia tanaman untuk menunjang program percepatan peningkatan produktivitas pangan nasional.

Berkurangnya jumlah pemulia di Indonesia menurutnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yakni fokus perguruan tinggi dalam menghasilkan tenaga pemulia secara formal tergannggu ketiga adanya penggabungan program studi pemulia tanaman dengan agroteknologi.

Sehingga secara otomatis tenaga yang tadi seharusnya menjadi pemulia jadi mengecil setelah adanya penggabungan progam studi di tingkat kampus.

"Penghargaan terhadap pemulia juga perlu ditingkatkan karena selama ini belum, baik penghargaan pada pemulia," katanya.

Ia menyebutkan pada era pemerintahan sebelumnya pemulia memiliki penghargaan yang disebut Anugerah Kekayaan Intelektual luar biasa. Penghargaan tersebut diberikan selama empat kali yakni tahun 2009, 2010, 2012 dan 2014.

Penghargaan tersebut lanjutnya diberikan oleh Pemerintahan SBY setela menerima keluhan dari pemulia yang membutuh dukungan pemerintaah.

Sejak 2015 penghargaan tersebut sudah tidak ada lagi oleh pemerintah karena kebijakan. Sudah dua tahun ini," kata Syukur yang juga tim penilai penghargaan HAKi.

Menurutnya dengan adanya penghargaan tersebut pemulia jadi bersemangat bukan untuk dapatkan penghargaan, tapi setidaknya ada perhatian pemerinta terhadap apa-apa yang dihasilkan oleh pemulai termasuk penghasil inovasi, berupa paten.

Ia menyebutkan salah satu solusi yang dapat dilakukan dalam mendorong jumlah pemulia melalui dinamika pendidikan selain formal (S1, diploma, pascasarjana) perlu juga adanya pelatihan, atau pemberian sertifikasi.

"Kedepan kita mengarah kesana, ada pendidikan non formal dalam melatih pemulia," katanya.

Ia mengatakan kekurangan jumlah pemulia sama halnya berkurangnya jumlah petani di Indonesia. Salah satu penyebabkan sektor pertanian dianggap tidak menarik, sehingga tidak banyak yang berminat turun ke pertanian.

Ia mencontohkan di Kanada petani menggarakan 3.000 hektare lahan pertanian. Sedangkan di Indonesia petani menggarap lahan per meter.

"Di Kanada yang mengurus pertanian sarjana semua. Kalau pertanian berkembang, jangankan sarjana semua lulusan pasti mau turun ke pertanian," kata Syukur.

Sementara itu Direktur Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB Dr Darda Efendi mengatakan pemuliaan adalah keilmuan yang sulit karena berbasis statistik dan matematika, sehingga banyak yang takut memilih pelajaran tersebut.

"Ini jadi tugas pemula senior agar pendidikan pemulia jadi tidak menakutkan lagi," katanya.

Selain itu adanya aturan untuk mendaftarkan hasil temuannya sebelum dilepas dirasakan memberatakan para pemulia di tengah minimnya perhatian pemerintah. Untuk melepas varietas baru dibutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga banyak pemulia terkendala dalam melepas hasil inovasinya.

"Perlu ada kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi, agar pemulia dapat melepas varietasnya tanpa dibebani biaya mahal," kata Darda.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017