Bogor (Antara Megapolitan) - Menteri Tenaga Kerja Muhammad Hanif Dhakiri mengatakan agar tenaga kerja Indonesia mampu bersaing di tingkat global, maka paradikma memandang tentang sumberdaya manusia Indonesia harus diubah dengan menjadikanya sebagai andalan dalam pembangunan.

"Dalam setiap forum yang saya hadiri selalu saya sampaikan untuk mulai mentransformasikan andalan pembangunan kita dari sumberdaya alam ke sumberdaya manusia," kata Hanif dalam kegiatan Indonesia Career Center Summit 2017 di Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa.

Hanif menjelaskan ketenagakerjaan Indonesia menghadapi tantangan besar, selain karena paradigma bahwa ketenagakerjaan bukan indikator makro perekonomian. Padahal kontribusi ketenagakerjaan pada kesimiskinan juga besar.

Survei dari Bank Dunia menyatakan, ketimpangan, kemiskinan, pengangguran disumbang 30 persen dari sektor ketenagakerjaan. Karena ketimpangan kompetensi, orang miskin karena pendapatannya rendah, pendapatannya rendah karena pekerjaannya tidak berkualitas, pekerjaannya tidak berkualitas karena pendidikannya rendah dan tidak punya keterampilan.

"Kenapa pendidikan dan keterampilannya rendah, karena miskin, jadi muter terus disitu seperti lingkaran setan," kata Hanif.

Hanif mengatakan kondisi tersebut menjadi pekerjaan rumah besar bagi Kementerian Tenaga Kerja, perguruan tinggi untuk menjadikan sumberdaya manusia Indonesia sebagai andalan dalam pembangunan.

Menurutnya jika andalan pembangunan masih bergantung pada sumberdaya alam yang jelas bukan hanya merusak lingkungan tapi juga tidak berkelanjutan, dan juga akan menciptakan ketidakadilan antar generasi.

"Hari ini mungkin kita masih memiliki sedikit minya, tapi di masa yang akan datang anak cucu kita mungkin tiak punya apa-apa. Jadi ini sudah saatnya kita bergeser, biar tidak seperti model penjajah yang mencari negara dengan kekayaan alam. Tapi bertransformasi ke manusia, sumberdaya manusia. Ini kuncinya bagaimana meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia," kata Hanif.

Hanif juga mengungkapkan bahan baku ketenagakerjaan Indonesia memiliki 132 juta angkatan kerja (data 2017). Dari 131 juta tersebut, yang lulusan SD dan SMP mencapai 60 persen.

"Kalau kita mau jadikan SDM sebagai andalan, pertanyaannya SDM kita kayak apa. Dari 131 juta angkata kerja, 60 persen lulusan SD dan SMP. Kalau dibaratkan mau perang, perang dengan SDM pasukan 60 persen SD dan SMP itu," katanya.

Demikian pula dengan bonus demografi yang akan dimiliki Indonesia pada tahun 2030, dimana SDM usia produktif mencapai 70 persen. Yang jadi pertanyaanya siapa yang akan mengisi bonus demografi tersebut.

"Jawaban saya, 2030 itu adalah anak-anak dari 60 persen angkatan kerja Indonesia yang lulusan SD dan SMP," kata Hanif.

Ia mengibaratkan, jiak ibunya bekerja sebagai buruh garmen di pabrik, maka bonus demografi yang dibicarakan adalah anak dari buruh garmen tersebut. Pada tahun 2030 nanti, jika ibunya bekerja sebagai buruh, anaknya akan bekerja seperti apa. Jika ditarik pada indikator mengenai SDM, ibu yang bekerja sebagai buruh tersebut bagaimana kualitas pendidikan anaknya, bagaimana asupan gizinya, dan tempat tinggalnya.

"Ini akan banyak tantangan. Tapi itulah bahan baku yang kita miliki. Mau tidak mau, isinya cuma itu. Nah, disinilah Kementerian Tenaga Kerja mencoba menterjemahkan Nawacita Presiden Jokowi yakni membangun Indonesia dari pinggir," kata Hanif.

Kementerian Tenaga Kerja lanjut Hanif, untuk menafsirkan program Nawacita Presiden Joko Widodo yakni membangun dari pinggiran jika ditarik dalam dunia tenaga kerja adalah 60 persen lulusan SD dan SMP tersebut. Karena 60 persen angkatan kerja tamatan SD dan SMP tidak ada yang mengurusi, anggaran pendidikan 20 persen yang dialokasikan tidak menyentuh kelompok tersebut.

Ia mengatakan 20 persen anggaran pendidikan hanya untuk pendidikan formal, pendidikan tersebut sama dengan pendidikan vokasi. Dimana pendidikan vokasi tersebut terbagi tiga yakni SMK, politeknik, dan program diploma. Usia 16 tahun ke atas sudah masuk angkatan kerja. Jika 60 persen lulusan SD dan SMP tersebut didaftarkan masuk SMK sudah ketuaan, kalaupun masuk politeknik atau diploma tidak punya ijazah SMA, karena hanya lulusan SD dan SMP saja.

"Saya selalu sampaikan pentingnya merealokasi anggaran pendidikan untuk 60 persen ini. Biar ke depan ini SDM kita bisa memiliki akses yang memadai untuk mendapatkan peningkatan kompetensi melalui berbagai jalur, baik dari pendidikan formal, mask jalur pelatihan kerja, sehingga orang bisa meningkatkan kompetensinya memiliki keahlian dan masuk lapangan kerja," kata Hanif.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017