Bogor (Antara Megapolitan) - Penyakit Q fever adalah zoonosis yang disebabkan oleh Coxiella burnetii, bakteri gram negatif yang bersifat obligat intraselular (hidup dan berkembang di dalam sel).
Infeksi bersifat asimtomatik tetapi dapat menyebabkan keguguran, subfertilitas (kemandulan) dan metritis pada sapi secara umum.
Pada tahun 2009 wabah besar Q fever terjadi di Belanda yang menyerang lebih dari 2.300 orang dan menyebabkan enam orang meninggal dunia. Kasus tersebut diduga berasal dari kambing yang terinfeksi C. burnetii.
Hal inilah yang mendorong Guru Besar Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), Prof. drh. Agus Setiyono melakukan penelitian tentang ''Mewaspadai Potensi Zoonosis Subklinis Q Fever Pada Hewan Ternak dan Produknya.''
Prof. Agus mengungkapkan, gejala klinis Q fever yang terjadi pada umur kehamilan tua sangat dikhawatirkan dapat mengalami abortus (keguguran).
Kasus pada manusia berupa demam mirip dengan gejala influenza dan sering diikuti dengan radang paru.
Penyakit ini sering bersifat menahun dan menimbulkan kondisi fatal yaitu mengakibatkan kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pembuluh darah dan peradangan jantung yang berakibat kematian.
Penelitian lain menyebutkan penularan Q fever secara aerosol menimbulkan lesi pada paru-paru. Q fever bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya.
Hewan yang paling umum menjadi target Q fever adalah sapi, domba dan kambing.
Prof. Agus mengatakan, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1955 dan menyerang sapi di Indonesia.
Penelitian tahun 2001 menemukan adanya kasus pneumonia yang disebabkan oleh C. burnetii pada seorang pasien yang pernah tinggal di Indonesia.
Penelitian tahun 2007 berhasil mendeteksi agen penyakit ini 6,68 persen dari sampel organ sapi brahman cross, 5,7 persen pada organ domba yang diperoleh di Bogor, serta 4,29 persen pada organ sapi Bali yang diperoleh di rumah potong hewan (RPH) di Bali dengan metode polymerase chain reaction (PCR).
Sedangkan pada tahun 2014, dilaporkan 38,8 persen sampel immunoreaktif dengan uji imunohistokimia pada sapi yang dipotong di RPH Provinsi Sumatera Utara.
Data Q fever pada manusia menunjukkan beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Australia secara serologi positif terpapar C. burnetii.
''Dari data di atas diketahui bahwa kasus Q fever telah lama ada di Indonesia, namun informasi penyebarannya di berbagai daerah masih sangat terbatas dan kajian resiko penularan ke manusia masih belum dilakukan,'' ujar Prof. Agus.
Karantina hewan sebagai gerbang keluar masuk hewan dari suatu daerah atau negara ke daerah atau negara lain memegang peran yang sangat vital bagi peluang perpindahan agen patogen penyebab penyakit.
Dengan kelengkapan piranti diagnostik seyogyanya berbagai resiko perpindahan penyakit dapat dikurangi semaksimal mungkin.
Prof. Agus Setiyono menambahkan, kegiatan pemetaan Zoonosis Q fever bertujuan mendeteksi keberadaan C. burnetii sebagai penyebab Q fever pada ternak ruminansia dengan menggunakan teknik molekular PCR dan serologi.
Penanggulangan C. burnetii dapat dilakukan dengan pencegahan yaitu melalui pemberian vaksin. Sedangkan jika terinfeksi penyakit tersebut dapat dilakukan pengobatan dengan pemberian antibiotik.
Saat ini Prof Agus dan mahasiswa bimbingannya sedang mengembangkan alat deteksi cepat Q fever menggunakan Kit diagnostik yang bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
''Masih perlu dilakukan uji lebih lanjut agar bisa diproduksi secara massal. Nantinya dan diharapkan melalui penelitian ini, potensi zoonosis subklinis Q fever pada hewan ternak dapat dicegah lebih dini sebelum mewabah,'' ungkapnya.(AT/ris)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Infeksi bersifat asimtomatik tetapi dapat menyebabkan keguguran, subfertilitas (kemandulan) dan metritis pada sapi secara umum.
Pada tahun 2009 wabah besar Q fever terjadi di Belanda yang menyerang lebih dari 2.300 orang dan menyebabkan enam orang meninggal dunia. Kasus tersebut diduga berasal dari kambing yang terinfeksi C. burnetii.
Hal inilah yang mendorong Guru Besar Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), Prof. drh. Agus Setiyono melakukan penelitian tentang ''Mewaspadai Potensi Zoonosis Subklinis Q Fever Pada Hewan Ternak dan Produknya.''
Prof. Agus mengungkapkan, gejala klinis Q fever yang terjadi pada umur kehamilan tua sangat dikhawatirkan dapat mengalami abortus (keguguran).
Kasus pada manusia berupa demam mirip dengan gejala influenza dan sering diikuti dengan radang paru.
Penyakit ini sering bersifat menahun dan menimbulkan kondisi fatal yaitu mengakibatkan kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pembuluh darah dan peradangan jantung yang berakibat kematian.
Penelitian lain menyebutkan penularan Q fever secara aerosol menimbulkan lesi pada paru-paru. Q fever bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya.
Hewan yang paling umum menjadi target Q fever adalah sapi, domba dan kambing.
Prof. Agus mengatakan, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1955 dan menyerang sapi di Indonesia.
Penelitian tahun 2001 menemukan adanya kasus pneumonia yang disebabkan oleh C. burnetii pada seorang pasien yang pernah tinggal di Indonesia.
Penelitian tahun 2007 berhasil mendeteksi agen penyakit ini 6,68 persen dari sampel organ sapi brahman cross, 5,7 persen pada organ domba yang diperoleh di Bogor, serta 4,29 persen pada organ sapi Bali yang diperoleh di rumah potong hewan (RPH) di Bali dengan metode polymerase chain reaction (PCR).
Sedangkan pada tahun 2014, dilaporkan 38,8 persen sampel immunoreaktif dengan uji imunohistokimia pada sapi yang dipotong di RPH Provinsi Sumatera Utara.
Data Q fever pada manusia menunjukkan beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Australia secara serologi positif terpapar C. burnetii.
''Dari data di atas diketahui bahwa kasus Q fever telah lama ada di Indonesia, namun informasi penyebarannya di berbagai daerah masih sangat terbatas dan kajian resiko penularan ke manusia masih belum dilakukan,'' ujar Prof. Agus.
Karantina hewan sebagai gerbang keluar masuk hewan dari suatu daerah atau negara ke daerah atau negara lain memegang peran yang sangat vital bagi peluang perpindahan agen patogen penyebab penyakit.
Dengan kelengkapan piranti diagnostik seyogyanya berbagai resiko perpindahan penyakit dapat dikurangi semaksimal mungkin.
Prof. Agus Setiyono menambahkan, kegiatan pemetaan Zoonosis Q fever bertujuan mendeteksi keberadaan C. burnetii sebagai penyebab Q fever pada ternak ruminansia dengan menggunakan teknik molekular PCR dan serologi.
Penanggulangan C. burnetii dapat dilakukan dengan pencegahan yaitu melalui pemberian vaksin. Sedangkan jika terinfeksi penyakit tersebut dapat dilakukan pengobatan dengan pemberian antibiotik.
Saat ini Prof Agus dan mahasiswa bimbingannya sedang mengembangkan alat deteksi cepat Q fever menggunakan Kit diagnostik yang bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
''Masih perlu dilakukan uji lebih lanjut agar bisa diproduksi secara massal. Nantinya dan diharapkan melalui penelitian ini, potensi zoonosis subklinis Q fever pada hewan ternak dapat dicegah lebih dini sebelum mewabah,'' ungkapnya.(AT/ris)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017