Dewasa ini dinamika berbangsa dan bernegara diwarnai dengan berbagai peristiwa yang mengusik kembali hal yang fundamental, yakni rasa kebangsaan kita. Di tengah pelaksanaan agenda kenegaraan yang sangat penting, yakni pemilihan kepala daerah serentak (Pilkada) tahun 2017, muncul fenomena gerakan protes dan kampanye politik berbasis suku, agama, ras dan adat istiadat (SARA) yang menyulut reaksi sosial dalam skala luas. Fakta-fakta keragaman sosiologis kemudian diangkat kepermukaan dan mengakselerasi gejolak sosial dalam masyarakat. SARA mengalami komodifikasi politik dan segera menjadi komoditas yang dengan begitu mudahnya dieksploitasi untuk hidden agenda tertentu. Masyarakat terfragmentasi dalam solidaritas in group dan out groupketika menanggapi polarisasi isu-isu berbasis SARA dengan begitu cepat. Fenomena potensial menimbulkan segregasi sosial yang akhirnya menggoyah sendi-sendi kohesi sosial dan keharmonisan dalam masyarakat yang selama ini telah terjaga dengan baik.

Harus jujur diakui munculnya isu SARA belakangan ini tidak lepas dari dinamika sosial politik di DKI Jakarta. Kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di DKI Jakarta memang kerap diwarnai dengan beragam kontroversi di masyarakat. Polemik itu seringkali justru lebih intens pada hal-hal yang bersifat artifisial seperti persoalan gaya komunikasi, personality maupun perilaku dibandingkan persoalan substansi permasalahan pembangunan Jakarta yang menjadi tanggungjawab utama Ahok sebagai kepala daerah DKI Jakarta. Diskursus tentang kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah DKI Jakarta memang mengemuka, namun pada akhirnya bias karena kalah populer dan kurang mendapat atensi dari masyarakat.  Namun, fenomena tersebut dapat menjadi pelajaran berharga karena ternyata masyarakat secara umum masih berpandangan bahwa persoalan personifikasi pemimpin bukan hal yang terpisah dari kualifikasi kapasitas dan kompetensi yang diperlukan dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya sebagai kepala daerah. Skill individual pemimpin harus diimbangi dengan personality yang baik selaras dengan nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat.
 
Puncak dari persoalan di DKI Jakarta yang mengeskalasi isu SARA adalah tersebar luasnya pernyataan Ahok ketika pidato di Kepulauan Seribu, 27 September 2016 lalu, yakni "..jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat Al Maidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu..".  Rekaman pidato itu kemudian viral di media sosial dan segera memicu reaksi dari kalangan umat Islam yang menuding Ahok melakukan penistaan agama.  Tak urung ratusan ribu hingga jutaan umat berunjuk rasa dalam Aksi Bela Islam I (14 Oktober 2016), aksi Bela Islam II atau Aksi 411 di depan Istana oleh ratusan ribu umat Islam, dan Aksi Bela Islam III atau Aksi 212 "Super Damai" akhir tahun 2016, mendesak agar Ahok diseret ke Pengadilan. Kini, meski tuntutan hukum telah dilancarkan oleh Jaksa dalam Pengadilan Ahok atas kasus dugaan penistaan agama, aksi unjuk rasa tetap digelar mewarnai jalannya peradilan, termasuk munculnya kembali aksi dengan 313 pada 31 Maret 2017 yang menuntut agar Ahok dicopot dari jabatannya sebagai Gubernur dan segera dipenjarakan.
 
Proses hukum yang berjalan sebagai wujud dari supremasi hukum tampaknya tidak memuaskan sebagian pihak sehingga aksi protes tetap muncul disertai dengan berkembangnya berbagai isu yang tidak relevan dengan substansi persoalan, seperti sentimen rasialis maupun keyakinan keagamaan. Posisi Ahok sebagai gubernur incumbent dan paslon dalam Pilkada DKI Jakarta yang sangat kompetitif ikut menambah kompleksitas persoalan. Sejumlah kalangan menilai bahwa aksi protes terhadap Ahok meski isunya anti penistaan agama, dianggap sarat nuansa persaingan Pilkada dan mempolitisasi SARA. Begitupula dengan aksi yang kontra isu SARA, meski mengangkat isu pluralisme, kebhinekaan, persatuan dan toleransi kemudian ditafsirkan sebagai gerakan terselubung untuk membela Ahok. Dalam situasi politik yang terlanjur penuh dengan ketegangan, telah terbentuk social distrust di antara masyarakat sehingga sulit untuk menyimpulkan mana aksi yang benar-benar murni merefleksikan suatu koreksi sosial terhadap gejala penyimpangan dalam perilaku elit dan kekuasaan. Akhirnya, segala fenomena terbelit dalam dimensi politik yang paling rendah, yakni hanya sekedar perebutan dukungan untuk berkuasa.Hakikat politik sebagai sarana untuk mewadahi berbagai kepentingan publik menjadi jauh dari peristiwa yang dianggap politik sehari-hari.

Isu SARA Sebagai Reproduksi Teknologis

Fakta objektif dari realitas sosial Indonesia adalah masyarakat kompleks dengan keragaman sosiologis, seperti suku, agama, ras dan adat istiadat. Sedangkan secara politik, meski suasana politik aliran tidak sekental di era Orde Lama, keterbukaan politik saat ini telah membangkitkan romantisme aliran politik masa lalu dalam derajat yang masih pada level artifisial dan simbolik. Fakta ini tentu tantangan tersendiri bagi para pemimpin bangsa, terutama para elit politik untuk mengelola sehingga dapat berada dalam suatu harmoni yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional. Dalam konteks itu, semestinya seluruh proses dinamika kehidupan sosial dan politik dapat diletakan dalam kerangka negara yang berlandaskan pada Pancasila. Kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara menjadi faktor fundamental karena merupakan konsensus dasar yang telah disepakati oleh para Pendiri Bangsa, sekaligus sistem nilai yang tepat untuk merespon dan mewadahi kompleksitas sebagai negara bangsa. Tanpa itu, niscaya hubungan-hubungan sosial dan politik antara elemen yang kompleks ini akan berlangsung anarki dan dikuasai oleh nafsu untuk mendominasi satu sama lainnya.

Belajar dari fenomena munculnya social distrust satu sama lain, atau kerap pula dianalogikan dengan eufimisme sebagai gejala intoleransi sosial, keragaman sosial telah ditempatkan sebagai sumber utama dalam persaingan politik kekuasaan oleh segelintir kelompok. Isu-isu SARA menjadi hasil dari apa yang disebut oleh Carl Schmidtt sebagai reproduksi teknologis dari persaingan politik untuk memperebutkan kuantitas dukungan masyarakat guna meraih kekuasaan. Situasi tersebut menjauhkan diskursus kualitatif tentang politik sebagai jalan menuju bonum publicum atau kebaikan bersama. Masyarakat dialienasi dari historisitas dan empirisitasnya tentang kehidupan sosial yang penuh dengan tenggang rasa, penghormatan, kerukunan, kekeluargaan dan semangat kerjasama dalam suasana yang harmonis dan saling percaya satu sama lain. Tindakan ini telah mencerabut masyarakat dari identitas kebangsaanya yang selama ini menjadi fondasi kuat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Para pelaku yang mengeksploitasi isu SARA, baik kelompok pro maupun kontra sepanjang masih dalam ranah persaingan politik kekuasaan, tak lebih dari sekedar mesin-mesin dalam reproduksi teknologis untuk mendulang kuantitas dukungan suara. Aksi-aksi itu tidak lagi muncul sebagai genuine will (kehendak asli) dari masyarakat yang sadar akan keragaman sosial politik sebagai fakta objektif yang tidak perlu dipertentangkan. Hal itu juga tidak mencerminkan masyarakat yang mengalami internalisasi Pancasila sebagai norma dasar yang mengatur hubungan-hubungan antara suprastruktur dan infrastruktur politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reproduksi teknologis ini merupakan agresi terhadap pelaksanaan representasi politik yang seharusnya menjadi isu utama dalam persaingan politik kekuasaan. Representasi politik tidak identik dengan keterwakilan kuantitatif suara rakyat dalam legitimasi kekuasaan, tetapi lebih esensial yakni keterwakilan kepentingan politik rakyat dalam agenda kekuasaan dengan relasi yang sama dan sebangun.  

Memperkuat Identitas Kebangsaan

Pengalaman Indonesia memang unik dibandingkan dengan negara lain yang memiliki realitas multikultural. Hampir seluruh negara di dunia dengan masalah multikultural, dominant group atau kelompok mayoritas merupakan cultural base yang membentuk identitas nasionalnya. Lihat saja semisal Amerika Serikat dengan anglo saxon dan kristiani sebagai cultural base-nya, atau Malaysia dengan bumiputera Melayu dan Islam. Hal ini berbeda dengan Indonesia dimana cultural base tidak diletakan dalam kerangka kelompok dominan melainkan konsensus sosial di antara kelompok-kelompok sosial yang hidup di Indonesia. Ambil contoh tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang berasal dari bahasa Melayu yang telah menjadi lingua franca bahasa perdagangan yang berkembang di Nusantara selama berabad-abad. Bahasa Indonesia justru bukan berasal dari bahasa Jawa, Madura atau Sunda yang merupakan suku dominan di Indonesia. Begitupula dengan kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara yang mengakui eksistensi dan kontribusi seluruh agama yang ada di Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara secara harmonis. Kedudukan Pancasila ini tidak menggantikan peranan agama, tetapi justru merefleksikan intisari daripada agama dan keyakinan luhur yang ada di Indonesia.

Kedudukan dan peranan dari kelompok dominan ini terinstitusionalisasi dan menjadi kelaziman-kelaziman yang kemudian secara teoritik diyakini sebagai fondasi utama yang memperkokoh integrasi nasional. Lihat saja dengan studi yang dilakukan Myron Weiner maupun James Coleman yang menyimpulkan peranan kelompok dominan sebagai kekuatan integratif suatu bangsa. Beranjak dari konsep ini, jelas sudah bangsa kekuatan utama integrasi Indonesia justru terletak pada sejauhmana konsensus dasar hidup sebagai bangsa dan negara itu dapat dipelihara dan dijaga, tidak hanya sebagai memori kolektif masa lalu, tetapi dalam pengalaman faktual sehari-hari. Sembari itu, konsensus dasar ini dilengkapi dengan menumbuhkembangkan faktor integratif lainnya yang secara kongkrit dan nyata di tengah masyarakat, yakni melalui apa yang disebut sebagai elemen-elemen yang bersifat nasional, tidak hanya bahasa dan ideologi nasional saja, tetapi juga hal lain seperti pembangunan nasional yang merata, koneksitas dan integrasi wilayah, kebudayaan, simbol serta segala atribut yang diterima dan bersifat nasional. Segala aspek yang bersifat nasional, baik sistem nilai maupun segala realisasinya merupakan dasar untuk membangun dan memperkuat identitas nasional.

Dalam kerangka memperkuat identitas kebangsaan, para politisi, pemimpin masyarakat dan penguasa harus menghentikan mengeksploitasi SARA sebagai alat dan justifikasi untuk memperoleh legitimasi politik rakyat. SARA harus diterima sebagai fakta-fakta alamiah yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak perlu diperdebatkan dan diperguncingkan dalam persaingan politik kekuasaan. Kebhinekaan yang kerap menjadi isu politik juga harus dihentikan, karena Kebhinekaan merupakan realitas Indonesia sebagai masyarakat majemuk. Kebhinekaan adalah state of nature daripada Indonesia sehingga tidak perlu dipertentangkan.

Agenda dan energi sosial politik yang ada justru diarahkan untuk mendorong masyarakat yang terjebak dalam cengkeraman social distrust membangun kembali kemampuan dialogisnya melalui memori kolektif kerukunan dan kebersamaan yang erat selama ini terbangun, sehingga dapat memperkuat persatuannya. Nilai-nilai luhur yang telah ada di Indonesia harus digali kembali, dihadirkan sebagai pengalaman sehari-hari seluruh rakyat, dijadikan konsideran dalam seluruh tindakan kekuasaan. Dengan demikian, setiap upaya mempolitisasi SARA akan menjadi tindakan provokasi dan menjadi musuh bersama seluruh masyarakat, karena hanya sumber pecah belah dan merusak integrasi nasional Indonesia yang telah kita capai.

*) Peneliti senior di Strategic Assessment, Jakarta.

Pewarta: Wildan Nasution *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017