Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama, Prof. Dr. H. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag, menekankan pentingnya pemberdayaan perempuan dalam upaya membangun bangsa yang lebih maju.
Hal ini disampaikan saat menyampaikan orasi ilmiah pada wisuda ke-25 untuk jenjang sarjana, ke-18 untuk magister, dan ke-4 untuk doktor, serta perayaan Dies Natalis ke-47 Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta.
Beliau mengingatkan bahwa perempuan merupakan setengah dari populasi dunia dan memiliki potensi yang sangat besar untuk berkontribusi dalam pembangunan. Beliau menyampaikan bahwa mengabaikan potensi setengah dari populasi dunia adalah sebuah kesalahan strategis yang dapat menghambat kemajuan sebuah bangsa.
"Bagaimana mungkin kita akan mencapai target keemasan pembangunan jika kita membiarkan separuh dari penduduk kita, yaitu perempuan, terbiarkan tak terberdayakan?" tanya Prof Zainul.
Beliau berpendapat bahwa pemberdayaan perempuan tidak hanya akan memberikan manfaat bagi perempuan itu sendiri, tetapi juga akan berdampak positif bagi seluruh masyarakat dan bangsa.
Menurut Prof Zainul, data menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki hampir memiliki jumlah yang sama di dunia. Jumlah laki laki 51 persen dan Perempuan 49 persen. Namun, lanjutnya, jika ingin membangun peradaban yang gemilang, kita tidak bisa mengabaikan potensi Perempuan.
Dalam paparannya, Direktur Jenderal juga menjelaskan konsep pemberdayaan dan ketidakberdayaan. Beliau menyederhanakannya dengan pemahaman bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, menjadikan manusia sebagai subjek bukan objek.
Mengutip Al-Quran surat An-Nisa ayat 19, beliau menjelaskan bahwa Islam telah memberikan kedudukan yang tinggi bagi perempuan sejak awal.
“Ayat ini secara tegas melarang perlakuan sewenang-wenang terhadap perempuan. Islam menjadikan perempuan sebagai subjek yang memiliki hak dan suara,” ujar Direktur Jenderal.
Lebih lanjut, beliau menyoroti perubahan signifikan yang dibawa Islam terhadap status perempuan. Dari yang semula dianggap sebagai objek kepemilikan, Islam mengangkat perempuan menjadi subjek yang memiliki hak untuk berpendapat, mewarisi, dan bahkan menjadi saksi dalam persidangan.
“Perempuan tidak boleh di perlakukan dengan cara ruda paksa karena dia bukan Batu, dia bukan benda mati, dia bukan objek tapi dia subjek, begitu Perempuan itu diubah dari objek menjadi subjek, maka silahkan cek di seluruh narasi Al Qur'an tentang perempuan maka kita akan mendengarkan suara Perempuan. Dari semula makhluk yang tidak pernah bersuara, ditangan Islam, Perempuan menjadi makhluk yang terberdayakan”tegasnya.
“Jika kita mengaku sebagai umat Islam yang menjunjung tinggi ajaran agama, maka sudah seharusnya kita memperlakukan perempuan dengan baik dan memberdayakan mereka,” imbuh Direktur.
Acara ini dihadiri oleh Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid, Ketua Dewan Pembina Yayasan IIQ Jakarta Lukman Hakim Saifuddin, dan Ketua Umum Yayasan IIQ Jakarta H Rully Chairul Azwar.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Hal ini disampaikan saat menyampaikan orasi ilmiah pada wisuda ke-25 untuk jenjang sarjana, ke-18 untuk magister, dan ke-4 untuk doktor, serta perayaan Dies Natalis ke-47 Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta.
Beliau mengingatkan bahwa perempuan merupakan setengah dari populasi dunia dan memiliki potensi yang sangat besar untuk berkontribusi dalam pembangunan. Beliau menyampaikan bahwa mengabaikan potensi setengah dari populasi dunia adalah sebuah kesalahan strategis yang dapat menghambat kemajuan sebuah bangsa.
"Bagaimana mungkin kita akan mencapai target keemasan pembangunan jika kita membiarkan separuh dari penduduk kita, yaitu perempuan, terbiarkan tak terberdayakan?" tanya Prof Zainul.
Beliau berpendapat bahwa pemberdayaan perempuan tidak hanya akan memberikan manfaat bagi perempuan itu sendiri, tetapi juga akan berdampak positif bagi seluruh masyarakat dan bangsa.
Menurut Prof Zainul, data menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki hampir memiliki jumlah yang sama di dunia. Jumlah laki laki 51 persen dan Perempuan 49 persen. Namun, lanjutnya, jika ingin membangun peradaban yang gemilang, kita tidak bisa mengabaikan potensi Perempuan.
Dalam paparannya, Direktur Jenderal juga menjelaskan konsep pemberdayaan dan ketidakberdayaan. Beliau menyederhanakannya dengan pemahaman bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, menjadikan manusia sebagai subjek bukan objek.
Mengutip Al-Quran surat An-Nisa ayat 19, beliau menjelaskan bahwa Islam telah memberikan kedudukan yang tinggi bagi perempuan sejak awal.
“Ayat ini secara tegas melarang perlakuan sewenang-wenang terhadap perempuan. Islam menjadikan perempuan sebagai subjek yang memiliki hak dan suara,” ujar Direktur Jenderal.
Lebih lanjut, beliau menyoroti perubahan signifikan yang dibawa Islam terhadap status perempuan. Dari yang semula dianggap sebagai objek kepemilikan, Islam mengangkat perempuan menjadi subjek yang memiliki hak untuk berpendapat, mewarisi, dan bahkan menjadi saksi dalam persidangan.
“Perempuan tidak boleh di perlakukan dengan cara ruda paksa karena dia bukan Batu, dia bukan benda mati, dia bukan objek tapi dia subjek, begitu Perempuan itu diubah dari objek menjadi subjek, maka silahkan cek di seluruh narasi Al Qur'an tentang perempuan maka kita akan mendengarkan suara Perempuan. Dari semula makhluk yang tidak pernah bersuara, ditangan Islam, Perempuan menjadi makhluk yang terberdayakan”tegasnya.
“Jika kita mengaku sebagai umat Islam yang menjunjung tinggi ajaran agama, maka sudah seharusnya kita memperlakukan perempuan dengan baik dan memberdayakan mereka,” imbuh Direktur.
Acara ini dihadiri oleh Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid, Ketua Dewan Pembina Yayasan IIQ Jakarta Lukman Hakim Saifuddin, dan Ketua Umum Yayasan IIQ Jakarta H Rully Chairul Azwar.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024