Sepiring nasi bisa jadi suatu saat sulit ditemui. Beras yang saat ini tersedia di mana saja, kapan saja, dan murah merupakan produk dari kebijakan swasembada beras yang telah diusung pemerintah sejak 1984. 

Pada tahun 1994,  sebanyak 86 persen masyarakat Indonesia bergantung beras sebagai sumber pangan karbohidrat utama. Jumlah ini naik dari  konsumsi sejak tahun 1954 sebesar 54 persen. Namun perjalanannya kini produksi beras mengalami berbagai polemik yang mengancam kuantitas maupun kualitas produksinya.

Prof. Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (FEM-IPB) melakukan analisis faktor-faktor yang mengancam keberlangsungan swasembada beras dan mengangkat pentingnya diversifikasi pangan karbohidrat untuk menjaga kedaulatan pangan Indonesia. 

Lebih dari tiga dekade sejak swasembada, petani sebagai tokoh penting di balik proses produksi padi, masih menduduki posisi lemah di dalam rantai pasok pangan beras.

Sejak awal, petani mengalami intervensi dalam persiapan tanam. Air sebagai modal utama proses produksi padi sawah kian ketat penggunaannya, akibat ketersediaan yang kian tidak menentu, petani harus berdamai dengan jadwal irigasi yang rapat. “Setiap selesai masa panen harus segera menanam kembali agar mendapat bagian irigasi, tidak ada waktu untuk menunggu harga baik. 

Saat mayoritas petani menjual hasil panen dalam waktu bersamaan, terjadilah harga yang rendah dan merugikan petani. Di samping itu, ketersediaan air yang kian sulit di kawasan lahan pertanian padi di Jawa, juga menjadi ancaman lain bagi kontinuitas persawahan padi,” papar Prof. Parulian.

Hal tersebut diperparah dengan maraknya perburuan rente ekonomi di tataran pasar perberasan nasional. Keuntungan dari penjualan beras lebih tinggi di tataran pelaku pasar dibanding produsen beras yaitu petani sendiri. 

Makelar beras skala besar telah menjadi sebuah rahasia umum dan banyak menentukan jumlah dan harga beras di pasaran. Aktivitas tersebut ditemukan oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) pada tahun 2015 lalu. 

Akibatnya, harga beras dikendalikan oleh sejumlah pihak dan merugikan pihak lainnya dalam hal ini tentu konsumen dengan taraf ekonomi rendah dan petani yang tidak mampu berharap pada harga pasar.

Dengan kondisi-kondisi tersebut beras mestinya bukan lagi jadi satu tumpuan pangan untuk menjaga stabilitas pangan nasional. Pada era diversifikasi pangan, jadwal pola tanam padi tidak perlu diburu-buru untuk mendapat uang modal penanaman musim selanjutnya. 

Pedagang juga tidak dapat menguasai stok beras yang dibeli murah saat panen raya. Pemerintah juga tidak perlu lagi terlalu ketat mengendalikan harga beras sebab bila harga naik agak tinggi, konsumen menyiasatinya dengan substitusi pangan. 

Bila terjadi penurunan produksi beras maka hal itu tidak akan mengganggu ketahanan pangan sebab adanya pangan sekunder. Sebagai implikasinya, pemerintah bisa menghemat anggaran dana yang semula ditujukan untuk kegiatan stabilisasi harga beras dengan mengembangkan pertanian tanaman pangan sekunder berbasis lahan marginal.

Diversifikasi pangan  sebagai kebutuhan mendesak bagi Indonesia. Pemerintah perlu segera merancang dan mengimplementasikan  program tersebut secara nasional. Namun yang menjadi motor penggerak adalah permintaan pasar. 

Hal itu disebabkan faktor selera dari konsumen produk pangan karbohidrat nonberas. Untuk itu konsumen harus terlebih dahulu dibuat tertarik dan promosi diperluas. Peran pebisnis kreatif, koperasi unit desa, serta berbagai mitra di fase ini amat penting agar pangan karbohidrat nonberas berhasil dilaksanakan di Indonesia. Mengejar swasembada bukan lagi cara yang terbaik menjawab tantangan ketahanan pangan di Indonesia. (EAW/ris)

Pewarta: Humas IPB

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017