Bogor (Antara Megapolitan) - Pembangunan di pedesaan telah mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan,
terutama pada struktur ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan, khususnya petani.

Perubahan yang terjadi terutama berkaitan erat dengan pola pengusahaan lahan, pola hubungan dan struktur kesempatan kerja, yang akhirnya bermuara pada struktur pendapatan petani di pedesaan.

Lahan pertanian yang terus menyempit karena tingginya kebutuhan akan lahan merupakan dampak dari pesatnya pembangunan, kebutuhan prasarana ekonomi, dan pemukiman. Sedangkan usaha pembukaan lahan pertanian baru belum sebanding dengan kebutuhan.

Selain dari pada persoalan lahan pertanian yang semakin sempit, budaya pertanian yang dikenal melelahkan dan menguras waktu menjadi penyebab keengganan masyarakat untuk berperan langsung dalam budidaya pertanian.

Menurunnya minat masyarakat terhadap profesi petani akan menjadi ancaman tersendiri bagi ketahanan pangan dan perekonomian masyarakat. Sedangkan arahan Presiden RI pada acara Konferensi Dewan Ketahanan Pangan pada bulan Oktober 2010 di Jakarta menginginkan terwujudnya kemandirian pangan di Indonesia.

Melihat kondisi permasalahan lahan pertanian tersebut, rupanya membuat Fathur Rahman mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) tergerak hatinya untuk mencari solusi. Bersama keempat rekannya sesama mahasiswa IPB, Fathur membuat gerakan pengabdian kepada masyarakat di daerah Mulya Harja, Bogor Selatan.

Mahasiswa Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan (Fahutan) ini ingin meningkatkan pendapatan ekonomi warga Mulya Harja dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah yang mereka miliki.

Selain itu demi terciptanya arahan pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan, Fathur ingin menanamkan jiwa bertani pada warga dengan budidaya tanaman labu madu (Butternut squash) yang bernilai gizi tinggi dan memiliki nilai ekonomi tinggi pula.

''Ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif yang tepat,'' ujar Fathur.

Pemanfaatan lahan pekarangan dengan Butternut squash untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga sangat memungkinkan untuk dilakukan. Butternut squash lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan labu madu. Butternut squash sendiri dapat dibudidayakan dengan mudah bahkan di dalam pot sekali pun.

Dengan perawatan yang tepat maka akan menghasilkan buah yang baik. Masa tanam Butternut squash ini adalah 85 hari. Tanaman ini banyak dibudidayakan di luar negeri, seperti Australia, Eropa, Afrika Selatan dan Selandia Baru.

Menurut salah satu supplier di Jakarta, Butternut squash awalnya ditemui sekira tahun 2013 dengan harga yang tinggi karena impor dari Australia. Harga jual buah ini bisa mencapai Rp 85 ribu per kilogramnya.

Butternut squash memiliki kandungan nutrisi yang baik untuk kesehatan, tinggi dalam kadar Vit A, kalsium, asam folat dan rasa lebih manis dari labu lain, serta tekstur daging yang lebih pulen. Butternut squash dapat diolah menjadi berbagai macam produk makanan yang sehat dan memiliki kandungan gizi yang tinggi.

Kini Butternut squash mulai menjadi trend alternatif pangan di beberapa kota besar, dan dijual di supermarket dengan harga yang sangat tinggi.

Kegiatan pengabdian masyarakat yang telah dilakukan sejak bulan Maret lalu ini sudah memasuki tahap pemanenan tahap satu. Kegiatan ini bekerjasama dengan  Kelompok Wanita Tani (KWT) yang berjumlah 36 orang anggota.

Rencananya, Fathur dan kawan-kawan ingin menjadikan KWT di Mulya Harja ini sebagai percontohan KWT yang lain.

Pewarta:

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017