Para pemangku kepentingan di Indonesia sudah saatnya bersatu guna meningkatkan kesadaran tentang penyakit radang usus (Inflammatory Bowel Disease/IBD), mengingat penyakit itu dapat menyerang semua umur dengan gejala yang mirip diare dan menyebabkan komplikasi bahkan hingga kematian.
Peringatan Hari Radang Usus Sedunia setiap 19 Mei harus menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran untuk mencegah dan mengobati penyakit itu.
Ahli kesehatan dr Roswin Rosnim Djaafar (R.D.), MARS menegaskan gejala IBD sering terabaikan, karena mirip dengan gejala diare biasa, padahal berdasarkan penelitian pasien dengan IBD memiliki angka mortalitas 17,1 per 1.000 orang per tahun.
"Saatnya kita bersatu untuk meningkatkan kesadaran tentang penyakit IDB ini," kata Roswin R.D. dalam sebuah seminar memperingati "World Inflammatory Bowel Disease Day 2024" dengan tema "IBD Has No Borders", di Rumah Sakit (RS) Abdi Waluyo Jakarta, 20 Mei 2024.
Peringatan ini menyerukan tentang pentingnya kepedulian terhadap IBD atau peradangan usus kronis yang dapat mengakibatkan komplikasi berat, bahkan kematian penderitanya.
Menurut riset Fakhoury and Negrulj (2014) berjudul "Inflammatory bowel disease: clinical aspects and treatments" yang dimuat pada Journal of Inflammation Research dinyatakan bahwa IBD merupakan sekelompok penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan pada usus kecil dan besar, di mana elemen sistem pencernaan diserang oleh sistem kekebalan tubuh sendiri.
IBD merupakan penyakit inflamasi yang memiliki penyebab multifaktorial. Pada dasarnya, IBD terbagi menjadi 3 tipe, yaitu Ulcerative Colitis (UC), Crohn's Disease (CD), dan kini terdapat juga tipe yang lain dari IBD, yaitu Colitis Indeterminate (Unclassified).
Pada UC, terjadi peradangan dan luka di sepanjang lapisan superfisial usus besar dan rectum, sehingga sering merasa nyeri di bagian kiri bawah perut. Sedangkan pada CD, terjadi peradangan hingga lapisan saluran pencernaan yang lebih dalam, sehingga sering merasa nyeri di bagian kanan bawah perut namun pendarahan dari rektum cenderung lebih jarang.
Pada pasien dengan UC, mempunyai tendensi 6 kali lebih besar berisiko komplikasi menjadi kanker kolorektal dibanding dengan penyakit radang usus lainnya. Namun, hanya 5 persen kasus UC berat yang menjadi kanker kolorektal.
Roswin mengatakan, pihaknya berkomitmen terhadap kesehatan pasien dengan meningkatkan kesadaran pasien terkait IBD di Indonesia, menyediakan akses bagi pengobatan IBD serta bermitra dengan asosiasi medis untuk meningkatkan pengetahuan, diagnostik, dan tatalaksana IBD.
Dalam "World Inflammatory Bowel Disease Day 2024" ditekankan perlunya akses pasien dengan IBD untuk layanan dan tata laksana komprehensif seiring dengan meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit radang usus di seluruh dunia.
Karena itu, diserukan upaya untuk bersatu guna meningkatkan kesadaran tentang penyakit, tantangan sehari-hari yang dihadapi oleh pasien yang hidup dengan penyakit radang usus, perlunya akses yang lebih baik untuk layanan IBD serta lebih banyak penelitian untuk menemukan pengobatan yang lebih baik dan pada akhirnya dapat menyembuhkannya.
IBD Center
Pada kesempatan yang sama RS Abdi Waluyo juga meluncurkan layanan IBD Center yang diprakarsai oleh Prof dr Marcellus Simadibrata, PhD, SpPD, KGEH, FACG, FINASIM, Prof dr Nurul Akbar, SpPD, KGEH, FINASIM, Dr dr Juferdy Kurniawan SpPD, KGEH, FINASIM, dr Amanda Pitarini Utari, SpPD, KGEH, Dr dr Teguh Wiyadi SpPD, FINASIM, dr Paulus Simadibrata, SpPD.
Keberadaan IBD Center itu membawa visi untuk memberikan pelayanan yang berfokus penegakan diagnosa yang cepat dan tepat serta terapi yang holistik.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Gastroenterologi Hepatologi RS Abdi Waluyo, Prof dr Marcellus Simadibrata, PhD, SpPD, KGEH, FACG, FINASIM, menyatakan bahwa pada dasarnya, penyebab IBD belum diketahui jelas.
IBD ini tentu disebabkan oleh gangguan sistem kekebalan tubuh. Namun, kesalahan pada diet dan tingkat stres berlebih juga bisa memicu terjadinya IBD. Faktor keturunan juga berperan dalam IBD meskipun angka penderitanya sangat sedikit.
Dalam perkembangannya, IBD yang dibiarkan bisa memperparah kondisi pasien akibat komplikasi yang ditimbulkan. Pada UC, penderitanya bisa mengalami "toxic megalocon" (pembengkakan usus besar yang beracun), perforated colon (lubang pada usus besar), dehidrasi berat dan meningkatkan risiko kanker usus besar.
Sedangkan pada CD, penderitanya bisa mengalami bowel obstruction, malnutrisi, fistulas, dan anal fissure (robekan pada jaringan anus).
Jika kedua jenis IBD ini dibiarkan, keduanya bisa menciptakan komplikasi seperti penggumpalan darah, radang kulit, mata, dan sendi, serta komplikasi lainnya.
Diagnosis IBD dibuat berdasarkan keluhan pasien seperti nyeri perut berulang, perubahan pola buang air besar, buang air besar berdarah, serta penurunan berat badan.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk diagnosa di antaranya adalah pemeriksaan feses, darah, radiologi (CT scan dan MRI abdomen sesuai indikasi), dan endoskopi saluran cerna. Pasien yang sudah didiagnosis penyakit radang usus akan kemudian dinilai tingkat keparahan penyakitnya menggunakan sistem skoring.
Tata laksana penyakit IBD umumnya menggunakan terapi obat (tablet dan injeksi), namun pada beberapa keadaan diperlukan tindakan operasi/pembedahan atau bahkan dilakukan tatalaksana dengan kombinasi obat-obatan dan pembedahan.
Beberapa jenis vaksinasi direkomendasikan juga bagi pasien IBD sebagai bentuk pencegahan infeksi. IBD yang kronis mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat bagian saluran pencernaan yang rusak, tetapi dengan adanya kemajuan dan inovasi dalam pengobatan dengan obat-obatan, tindakan pembedahan sudah jarang dilakukan sejak beberapa tahun belakangan.
Marcel juga menjelaskan penanganan pasien IBD memerlukan kerja sama multidisiplin karena manifestasinya dapat multiorgan.
Di IBD Center RS Abdi Waluyo pasien mendapat serangkaian layanan terpadu oleh dokter-dokter spesialis dan subspesialis dari berbagai bidang, di antaranya pelayanan spesialisasi gastroenterologi, bedah digestif, nutrisi, perawatan psikososial, dan pelayanan lainnya.
Pemberian layanan pasien secara personal, multidisiplin, dan komprehensif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit radang usus (IBD).
Karena kasus IBD seringkali kompleks dan berat, untuk meningkatkan pelayanan pasien IBD, RS Abdi Waluyo bekerja sama dengan University of Chicago, Amerika Serikat (AS) melalui diskusi kasus sulit, kerja sama simposium dan sesi "mini lecture".
Kerja sama ini sudah dirintis sejak tahun 2023 dan tetap berlanjut hingga saat ini.
Faktor nutrisi
Terkait IBD ini, spesialis gizi klinik RS Abdi Waluyo, dr Nathania S. Sutisna, SpGK menyatakan salah satu hal penting yang juga harus diperhatikan adalah nutrisi bagi pasien.
Beberapa faktor risiko IBD, berasal dari sisi nutrisi, yaitu akibat seringnya mengonsumsi ultra "processed food" dan bahan aditif makanan.
Oleh sebab itu, pola makan pasien IBD harus diubah dan disesuaikan dengan pengobatan utama.
Saat timbul gejala, pasien harus memperhatikan kebutuhan kalori dam protein yang lebih tinggi dibanding saat mereka sehat, serta perhatikan keseimbangan cairan.
Sedangkan saat tanpa gejala (remisi), nutrisi perlu diatur agar dapat mengembalikan status gizi pasien, dan makanan diberikan secara bertahap sambil tetap memantau gejala.
Saat didiagnosis IBD, pasien perlu memahami bahwa proses peradangan pada penyakit ini dapat mereda jika berkomitmen menjalani pengobatan dan modifikasi gaya hidup salah satunya dengan mengatur pola makan dan nutrisi sesuai dengan tingkatan IBD serta berolahraga.
Oleh sebab itu, selain kesadaran dan pengetahuan untuk pasien, IBD juga perlu diketahui oleh keluarga dan "caregiver" sehingga bisa memberikan dukungan dan menjaga kepatuhan bagi pasien, serta dukungan psikososial agar terhindar dari depresi dan kecemasan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Peringatan Hari Radang Usus Sedunia setiap 19 Mei harus menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran untuk mencegah dan mengobati penyakit itu.
Ahli kesehatan dr Roswin Rosnim Djaafar (R.D.), MARS menegaskan gejala IBD sering terabaikan, karena mirip dengan gejala diare biasa, padahal berdasarkan penelitian pasien dengan IBD memiliki angka mortalitas 17,1 per 1.000 orang per tahun.
"Saatnya kita bersatu untuk meningkatkan kesadaran tentang penyakit IDB ini," kata Roswin R.D. dalam sebuah seminar memperingati "World Inflammatory Bowel Disease Day 2024" dengan tema "IBD Has No Borders", di Rumah Sakit (RS) Abdi Waluyo Jakarta, 20 Mei 2024.
Peringatan ini menyerukan tentang pentingnya kepedulian terhadap IBD atau peradangan usus kronis yang dapat mengakibatkan komplikasi berat, bahkan kematian penderitanya.
Menurut riset Fakhoury and Negrulj (2014) berjudul "Inflammatory bowel disease: clinical aspects and treatments" yang dimuat pada Journal of Inflammation Research dinyatakan bahwa IBD merupakan sekelompok penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan pada usus kecil dan besar, di mana elemen sistem pencernaan diserang oleh sistem kekebalan tubuh sendiri.
IBD merupakan penyakit inflamasi yang memiliki penyebab multifaktorial. Pada dasarnya, IBD terbagi menjadi 3 tipe, yaitu Ulcerative Colitis (UC), Crohn's Disease (CD), dan kini terdapat juga tipe yang lain dari IBD, yaitu Colitis Indeterminate (Unclassified).
Pada UC, terjadi peradangan dan luka di sepanjang lapisan superfisial usus besar dan rectum, sehingga sering merasa nyeri di bagian kiri bawah perut. Sedangkan pada CD, terjadi peradangan hingga lapisan saluran pencernaan yang lebih dalam, sehingga sering merasa nyeri di bagian kanan bawah perut namun pendarahan dari rektum cenderung lebih jarang.
Pada pasien dengan UC, mempunyai tendensi 6 kali lebih besar berisiko komplikasi menjadi kanker kolorektal dibanding dengan penyakit radang usus lainnya. Namun, hanya 5 persen kasus UC berat yang menjadi kanker kolorektal.
Roswin mengatakan, pihaknya berkomitmen terhadap kesehatan pasien dengan meningkatkan kesadaran pasien terkait IBD di Indonesia, menyediakan akses bagi pengobatan IBD serta bermitra dengan asosiasi medis untuk meningkatkan pengetahuan, diagnostik, dan tatalaksana IBD.
Dalam "World Inflammatory Bowel Disease Day 2024" ditekankan perlunya akses pasien dengan IBD untuk layanan dan tata laksana komprehensif seiring dengan meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit radang usus di seluruh dunia.
Karena itu, diserukan upaya untuk bersatu guna meningkatkan kesadaran tentang penyakit, tantangan sehari-hari yang dihadapi oleh pasien yang hidup dengan penyakit radang usus, perlunya akses yang lebih baik untuk layanan IBD serta lebih banyak penelitian untuk menemukan pengobatan yang lebih baik dan pada akhirnya dapat menyembuhkannya.
IBD Center
Pada kesempatan yang sama RS Abdi Waluyo juga meluncurkan layanan IBD Center yang diprakarsai oleh Prof dr Marcellus Simadibrata, PhD, SpPD, KGEH, FACG, FINASIM, Prof dr Nurul Akbar, SpPD, KGEH, FINASIM, Dr dr Juferdy Kurniawan SpPD, KGEH, FINASIM, dr Amanda Pitarini Utari, SpPD, KGEH, Dr dr Teguh Wiyadi SpPD, FINASIM, dr Paulus Simadibrata, SpPD.
Keberadaan IBD Center itu membawa visi untuk memberikan pelayanan yang berfokus penegakan diagnosa yang cepat dan tepat serta terapi yang holistik.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Gastroenterologi Hepatologi RS Abdi Waluyo, Prof dr Marcellus Simadibrata, PhD, SpPD, KGEH, FACG, FINASIM, menyatakan bahwa pada dasarnya, penyebab IBD belum diketahui jelas.
IBD ini tentu disebabkan oleh gangguan sistem kekebalan tubuh. Namun, kesalahan pada diet dan tingkat stres berlebih juga bisa memicu terjadinya IBD. Faktor keturunan juga berperan dalam IBD meskipun angka penderitanya sangat sedikit.
Dalam perkembangannya, IBD yang dibiarkan bisa memperparah kondisi pasien akibat komplikasi yang ditimbulkan. Pada UC, penderitanya bisa mengalami "toxic megalocon" (pembengkakan usus besar yang beracun), perforated colon (lubang pada usus besar), dehidrasi berat dan meningkatkan risiko kanker usus besar.
Sedangkan pada CD, penderitanya bisa mengalami bowel obstruction, malnutrisi, fistulas, dan anal fissure (robekan pada jaringan anus).
Jika kedua jenis IBD ini dibiarkan, keduanya bisa menciptakan komplikasi seperti penggumpalan darah, radang kulit, mata, dan sendi, serta komplikasi lainnya.
Diagnosis IBD dibuat berdasarkan keluhan pasien seperti nyeri perut berulang, perubahan pola buang air besar, buang air besar berdarah, serta penurunan berat badan.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk diagnosa di antaranya adalah pemeriksaan feses, darah, radiologi (CT scan dan MRI abdomen sesuai indikasi), dan endoskopi saluran cerna. Pasien yang sudah didiagnosis penyakit radang usus akan kemudian dinilai tingkat keparahan penyakitnya menggunakan sistem skoring.
Tata laksana penyakit IBD umumnya menggunakan terapi obat (tablet dan injeksi), namun pada beberapa keadaan diperlukan tindakan operasi/pembedahan atau bahkan dilakukan tatalaksana dengan kombinasi obat-obatan dan pembedahan.
Beberapa jenis vaksinasi direkomendasikan juga bagi pasien IBD sebagai bentuk pencegahan infeksi. IBD yang kronis mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat bagian saluran pencernaan yang rusak, tetapi dengan adanya kemajuan dan inovasi dalam pengobatan dengan obat-obatan, tindakan pembedahan sudah jarang dilakukan sejak beberapa tahun belakangan.
Marcel juga menjelaskan penanganan pasien IBD memerlukan kerja sama multidisiplin karena manifestasinya dapat multiorgan.
Di IBD Center RS Abdi Waluyo pasien mendapat serangkaian layanan terpadu oleh dokter-dokter spesialis dan subspesialis dari berbagai bidang, di antaranya pelayanan spesialisasi gastroenterologi, bedah digestif, nutrisi, perawatan psikososial, dan pelayanan lainnya.
Pemberian layanan pasien secara personal, multidisiplin, dan komprehensif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit radang usus (IBD).
Karena kasus IBD seringkali kompleks dan berat, untuk meningkatkan pelayanan pasien IBD, RS Abdi Waluyo bekerja sama dengan University of Chicago, Amerika Serikat (AS) melalui diskusi kasus sulit, kerja sama simposium dan sesi "mini lecture".
Kerja sama ini sudah dirintis sejak tahun 2023 dan tetap berlanjut hingga saat ini.
Faktor nutrisi
Terkait IBD ini, spesialis gizi klinik RS Abdi Waluyo, dr Nathania S. Sutisna, SpGK menyatakan salah satu hal penting yang juga harus diperhatikan adalah nutrisi bagi pasien.
Beberapa faktor risiko IBD, berasal dari sisi nutrisi, yaitu akibat seringnya mengonsumsi ultra "processed food" dan bahan aditif makanan.
Oleh sebab itu, pola makan pasien IBD harus diubah dan disesuaikan dengan pengobatan utama.
Saat timbul gejala, pasien harus memperhatikan kebutuhan kalori dam protein yang lebih tinggi dibanding saat mereka sehat, serta perhatikan keseimbangan cairan.
Sedangkan saat tanpa gejala (remisi), nutrisi perlu diatur agar dapat mengembalikan status gizi pasien, dan makanan diberikan secara bertahap sambil tetap memantau gejala.
Saat didiagnosis IBD, pasien perlu memahami bahwa proses peradangan pada penyakit ini dapat mereda jika berkomitmen menjalani pengobatan dan modifikasi gaya hidup salah satunya dengan mengatur pola makan dan nutrisi sesuai dengan tingkatan IBD serta berolahraga.
Oleh sebab itu, selain kesadaran dan pengetahuan untuk pasien, IBD juga perlu diketahui oleh keluarga dan "caregiver" sehingga bisa memberikan dukungan dan menjaga kepatuhan bagi pasien, serta dukungan psikososial agar terhindar dari depresi dan kecemasan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024