Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Anang Zubaidy menilai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) harus membuat putusan yang out of the box atau tidak normatif terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi, yakni dengan mempertimbangkan aspek kemanfaatan dan keadilan.
“MKMK untuk bisa mengembalikan kepercayaan publik, maka dia harus membuat putusan yang out of the box, di luar pertimbangan normatif, lebih pada pertimbangan kemanfaatan dan keadilan,” ucap Anang dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis.
Anang mengatakan ketika dasar pengambilan keputusan hanya normatif, maka putusan MK bersifat final dan mengikat. Menurutnya, hal tersebut meniadakan upaya hukum lain dan tidak lagi dipandang sebagai mekanisme untuk membatalkan putusan.
“Kalau berpikirnya normatif ya selesai, kita tidak ada upaya hukum apa pun, saya berpikirnya di luar itu. Bahwa hukum itu harus memberikan jalan keluar,” sambung pakar hukum tata negara itu.
MKMK, kata Anang, menjalankan peran sebagai hakim yang memiliki fungsi dan tugas utama untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik. Oleh karena itu, dia berpendapat MKMK seharusnya tidak menggunakan kacamata normatif semata.
“Karena kalau bicara kepastian hukumnya, ya, selesai. Kita tidak perlu mendiskusikan putusan itu mau diapakan, tapi kalau kita bicara dari aspek kemanfaatan dan keadilan, saya kira masih terbuka pintu diskusi atau masih terbuka peluang untuk membatalkan putusan,” ujarnya.
Dia berharap anggota MKMK juga menggunakan sisi nuraninya untuk menganalisis dan mengusut perkara dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi.
“Mudah-mudahan majelis hakim MKMK itu bukan sekadar menggunakan kacamata normatif, tetapi juga menggunakan nuraninya untuk membaca fenomena ini, untuk membaca putusan, dan membaca dugaan konflik kepentingan dari kacamata keadilan dan kemanfaatan,” imbuhnya.
Sementara itu, Program Manajer Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Violla Reininda mengimbau agar publik untuk menaruh kepercayaan dan harapan kepada MKMK untuk mengambil keputusan yang berani.
Violla menyebut MKMK tidak hanya berfungsi untuk memutus dan mengadili perkara etik, tetapi juga untuk menjaga keluhuran martabat dan kehormatan MK. Oleh sebab itu, Violla menilai putusan MKMK nantinya akan mengembalikan citra dan muruah MK.
“MKMK harus berani mengambil jalan activisme dengan memberikan sanksi selain etik, tetapi juga terkait legitimasi putusan MK tentang pengujian syarat usia capres-cawapres,” ucap Violla.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
“MKMK untuk bisa mengembalikan kepercayaan publik, maka dia harus membuat putusan yang out of the box, di luar pertimbangan normatif, lebih pada pertimbangan kemanfaatan dan keadilan,” ucap Anang dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis.
Anang mengatakan ketika dasar pengambilan keputusan hanya normatif, maka putusan MK bersifat final dan mengikat. Menurutnya, hal tersebut meniadakan upaya hukum lain dan tidak lagi dipandang sebagai mekanisme untuk membatalkan putusan.
“Kalau berpikirnya normatif ya selesai, kita tidak ada upaya hukum apa pun, saya berpikirnya di luar itu. Bahwa hukum itu harus memberikan jalan keluar,” sambung pakar hukum tata negara itu.
MKMK, kata Anang, menjalankan peran sebagai hakim yang memiliki fungsi dan tugas utama untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik. Oleh karena itu, dia berpendapat MKMK seharusnya tidak menggunakan kacamata normatif semata.
“Karena kalau bicara kepastian hukumnya, ya, selesai. Kita tidak perlu mendiskusikan putusan itu mau diapakan, tapi kalau kita bicara dari aspek kemanfaatan dan keadilan, saya kira masih terbuka pintu diskusi atau masih terbuka peluang untuk membatalkan putusan,” ujarnya.
Dia berharap anggota MKMK juga menggunakan sisi nuraninya untuk menganalisis dan mengusut perkara dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi.
“Mudah-mudahan majelis hakim MKMK itu bukan sekadar menggunakan kacamata normatif, tetapi juga menggunakan nuraninya untuk membaca fenomena ini, untuk membaca putusan, dan membaca dugaan konflik kepentingan dari kacamata keadilan dan kemanfaatan,” imbuhnya.
Sementara itu, Program Manajer Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Violla Reininda mengimbau agar publik untuk menaruh kepercayaan dan harapan kepada MKMK untuk mengambil keputusan yang berani.
Violla menyebut MKMK tidak hanya berfungsi untuk memutus dan mengadili perkara etik, tetapi juga untuk menjaga keluhuran martabat dan kehormatan MK. Oleh sebab itu, Violla menilai putusan MKMK nantinya akan mengembalikan citra dan muruah MK.
“MKMK harus berani mengambil jalan activisme dengan memberikan sanksi selain etik, tetapi juga terkait legitimasi putusan MK tentang pengujian syarat usia capres-cawapres,” ucap Violla.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023