Pamela Ramsey Taylor dan Beverly Whaling harus melepaskan jabatannya setelah cuitannya di facebook dianggap rasis oleh publik. Cuitan dalam laman facebook Pamela Ramsey Taylor yang merespon kemenangan Donald Trump atas Hilary Clinton memuat "It will be refreshing to have a classy, beautiful, dignified First Lady in the White House. I'm tired of seeing a Ape in heels", selanjutnya Beverly Whaling menanggapi dengan komen "made my day Pam". Cuitan Pamela Ramsey Taylor dan Beverly Whaling menjadi viral di media sosial dan membuat publik marah, sehingga lebih dari 150.000 orang menandatangani petisi meminta Pamela Ramsey Taylor dan Beverly Whaling mundur dari jabatannya (Kompas, 17/11/2016).

Pamela Ramsey Taylor seorang Direktur Clay County Development Corp, yaitu sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memberikan bantuan  kepada warga tua (usia lanjut) dan  berpenghasilan rendah di daerah atau kota Clay dengan dana hibah dari negara bagian dan federal di Virgina Barat, Amerika Serikat. Sedangkan, Beverly Whaling merupakan wali kota kota kecil Clay di Virginia Barat, Amerika Serikat yang masih memiliki 3 tahun waktu tersisa untuk menjadi Wali kota Clay. Akhirnya Pamela Ramsey Taylor dan Beverly Whaling menyampaikan tanggapan bahwa dirinya bukanlah orang yang rasis sebelum statusnya dihapus. Selanjutnya, mereka mengundurkan diri dari jabatannya setelah melakukan permintaan maaf kepada publik melalui media, yang akhirnya kondisi sosial dan politikpun membaik.

Pemandangan yang sangat berbeda dalam kehidupan sosial politik di Tanah Air Indonesia. Seperti yang terlihat dalam kasus yang menghebohkan, yaitu cuitan atau ucapan Basuki Tjahaja Purnama Ahok yang mengutip Surat Al Maidah ayat 51 di Pulau Pari, Kepulauan Seribu yang dinilai menistakan Agama Islam. Ucapan Ahok diputar ulang dan menjadi viral dalam media sosial, sehingga umat Islam melakukan Aksi Bela Islam I pada 15 Oktober 2016, Aksi Bela Islam II pada 4 November 2016, dan merencanakan Aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016.

Peristiwa itu berkembang menjadi persoalan hukum berupa kasus penistaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditetapkan sebagai tersangka pada 18 November 2016. Sebagian umat Islampun terus mendesak kepolisian dan tetap akan melakukan aksi untuk menuntut Ahok segera ditahan. Akhirnya, perdebatan seputar benar dan tidaknya dalam kacamata hukum membuat kehidupan sosial politik sangat memanas dan berkepanjangan yang dapat menciptakan perpecahan, terlebih persoalan hukum itu tidak dapat dipungkiri adanya masalah politik di dalamnya.

Kasus tuduhan rasis yang terjadi di Virginia Barat, Amerika Serikat dan kasus tuduhan penistaan agama yang terjadi di Indonesia mengusik pemikiran kita, bukan soal untuk menunjukkan siapa benar dan siapa yang salah dalam kasus tersebut, namun mengusik pemikiran untuk melihat sisi moralitas seiring dinamika kasus penistaan agama di Indonesia yang semakin berkembang. Moral berkaitan dengan baik atau tidaknya suatu tindakan, sikap dan tingkah laku seorang manusia, yang dapat diterima oleh semua orang sebagai suatu yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama. Kata moral berasal dari kata bahasa Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat, kebiasaan. Kata moral sering diidentikan dengan etika yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta etika yang berarti kebiasaan, tradisi yang baik, atau ta hetika yang berarti kebiasaan yang baik atas dorongan nilai-nilai luhur, seperti nilai-nilai agama dan nilai-nilai filsafat.

Dinamika yang berkembang dalam aksi yang disebut aksi bela Islam seolah memberikan ilustrasi bahwa nilai-nilai moral kepemimpinan yang adi luhung (sangat besar dan agung) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia telah mulai luntur. Dengan mengikuti pengertian dari Prajudi Atmosudirjo bahwa kepemimpinan adalah kepribadian seseorang yang mendatangkan keinginan orang lain untuk mau mencontoh atau mengikuti, atau mempengaruhi, kekuatan atau wibawa sehingga orang lain mengikuti apa yang dikehendaki. Dengan demikian moral kepemimpinan merupakan kepribadian yang luhur yang dapat menjadi contoh atau pengaruh bagi orang lain untuk mengikuti keinginan, dimana moral kepemimpinan menekankan keunggulan watak dan keluhuran ahlak.

Banyak para cerdik cendikiawan mengingatkan bentuk-bentuk keunggulan ahlak atau watak yang mencerminkan moral kepemimpinan yang luhur di antaranya; kejujuran, tanggung jawab, amanah, tidak mementingkan diri sendiri dan kelompok sendiri, namun selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seperti juga, Ki Hajar Dewantara memberikan petuah moral kepemimpinan yakni seorang harus memberikan keteladanan (ing ngarso song tulodo), mampu memberi motivasi (ing madyo mangun karso), dan memberi wewenang, tanggung jawab dan mengarahkan dari belakang (tut wuri handayani). Demikian pula Mangkunagoro I menggambarkan kepemimpinan yang harus mampu menciptakan sikap dan perilaku ikut memiliki (Melu handarbeni), ikut bertanggung jawab (melu hangrunggebi), dan mawas diri (mulat sariro hangroso wani).

Kita diajarkan moral kepemimpinan bertanggung jawab dan tidak mementingkan diri sendiri/kelompok sendiri, namun selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat warga negara. Namun, realitanya masih banyak elit yang masih menyampaikan argumen atau alibi untuk menyatakan tidak bersalah atas tindakan yang melanggar hukum atau membuat masyarakat marah. Sebagai contoh koruptor dengan senyum tenang tanpa dosa merasa tidak bersalah sebelum ada putusan inkraft. Sedangkan dalam dinamika kasus penistaan agama, ucapan yang membuat tersinggung begitu banyak umat dianggap bukan kesalahan. Ini menggambarkan betapa kepentingan pribadi telah mengalahkan kepentingan bersama, telah menjadi moral tersendiri yang menggeser moralitas pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan bersama. Disitu jelas terlihat, kasus Pamela Ramsey Taylor dan Beverly Whaling memberikan contoh moral kepemimpinan yang bertanggungjawab dan mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.

Moralilitas kepemimpinan yang lain adalah kita diajarkan untuk jujur dan amanah. Jujur merupakan karakteristik pemimpin, dimana tindakan setiap pemimpin sesuai dengan ucapannya. Dengan sifat kejujuran yang ada pada diri maka pemimpin akan menjadi pemimpin yang amanah atau dapat dipercaya. Seringkali kita mendengar banyak pemimpin yang hanya janji-janji, terlebih dalam masa kampanye sehingga pemimpin akan mendapat "cap" sebagai pemimpin yang pembohong dan tidak dapat dipercaya. Bagaimana mungkin seorang pemimpin dengan mudahnya menyampaikan penggulingan pemerintahan saat aksi bela Islam pada 4 November 2016, padahal tadinya umat Islam diajak melakukan aksi untuk menuntut penegakan hukum kasus penistaan agama. Bagaimana mungkin, seorang pemimpin bisa dipercaya apabila pemimpin sangat sarkastis di depan umum dengan mengatakan Presiden disebut sebagai "binatang".   

Hiruk pikuk persoalan yang berkembang di balik aksi bela Islam, menggambarkan bahwa elit politik lebih menginginkan menjadi penguasa daripada menjadi pemimpin. Nafsu kekuasaan dapat mempengaruhi seseorang menjadi penumpang gelap atau free rider dalam setiap kekacauan politik. Elit politik dapat saja menggiring persoalan hukum menjadi masalah politik agar dapat menjadi penguasa. Isu rush-money yang sengaja dihembuskan, telah memberikan pemahaman betapa kejinya upaya menciptakan keresahan agar Pemerintah tidak dipercaya oleh masyarakat dan digulingkan melalui parlemen jalanan.

Pada dasarnya setiap kita adalah pemimpin yang dapat menggunakan pemikiran yang rasional dalam melakukan tindakan. Aksi yang digiring kedalam kepentingan kekuasaan akan menimbulkan kehancuran karena akan terjadi pemaksaan kehendak. Sebagian tokoh-tokoh agama telah berbeda pendapat terhadap aksi bela Islam III, misalnya sebagai berpendapat bahwa sekarang umat tinggal mengawal proses hukum yang telah berjalan terhadap penista agama, dan tidak perlu lagi melakukan pengerahan massa yang besar untuk menuntut penahanan Basuki Tjahaya Purnama. Namun, sebagian tetap memaksakan untuk melakukan aksi dengan melakukan Sholat Jumat di jalan sebelum menyampaikan pendapat untuk menuntut Basuki Tjahaya Purnama ditahan.

Pengerahan massa yang besar dengan diboncengi kepentingan kekuasaan, bisa jadi akan menimbulkan dampak negatif dan akan membawa korban. Sebagai orang awam, sudah sangat sulit untuk membedakan apakah aksi berikutnya murni sebagai kepentingan hukum atau telah diboncengi kepentingan politik. Oleh karena itu, masyarakat semestinya dapat berfikir secara rasional untuk melakukan aksi, sehingga ada setitik perasaan tetap mengedepankan moralitas kepemimpinan dalam setiap aksi. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang cerdas yang memiliki kecerdasan politik yang baik, tidak mudah digiring seperti "bebek". Masyarakat dapat memilah dan memilih secara rasional setiap aksi politik sehingga aksi yang dilakukan tidak menimbulkan kehancuran bangsa.

*) Panggilan : Partasena Ardiyanto
Nama : Pardiyanto
Pendidikan :
-    S1 Fisip Jurusan Pemerintahan Undip Semarang
-    S2 Hukum Tata Negara Universitas Islam Jakarta
-    S2 Psikologi Intervensi Sosial Universitas Indonesia
Alamat : Jl. Seno II Blok D No. 30, Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Email : gemacita@yahoo.co.id
Telp: 081211616889.

Pewarta: Pardiyanto *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016