Roda zaman berputar! Kalau dulu, Malaysia pernah menjadikan Indonesia kiblat pendidikannya dimana banyak guru dan dosen Indonesia yang diminta mengajar di lembaga-lembaga pendidikan negeri jiran itu, kini posisinya berbalik.

Saat ini, justru anak-anak Indonesia yang banyak berguru ke Malaysia. Bahkan, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara pemberi kontribusi pada keberadaan mahasiswa internasional yang melanjutkan studi ke tingkat pascasarjana di berbagai universitas di negeri jiran tersebut.

Sembilan negara lainnya adalah Bangladesh, Nigeria, Cina, Pakistan, Yaman, Libya, Sudan, Kazakhstan dan India.

Menurut Menteri Pendidikan Kedua Malaysia Datuk Seri Idris Jusoh seperti dikutip Kantor Berita Bernama (2015), jumlah mahasiswa internasional yang mendaftar di berbagai program pascasarjana di negaranya mencapai sedikitnya 27.812 orang.

Sementara, total jumlah pelajar dan mahasiswa internasional di Malaysia (2014) mencapai 135.502 orang yang berasal dari 160 negara, termasuk Indonesia. Dengan merujuk pada realitas ini, Datuk Seri Idris Jusoh optimistis bahwa target menjadikan Malaysia pusat pendidikan di kawasan dan dunia pada 2020 akan tercapai.

Pada 2020, Malaysia ditargetkan mampu menjaring 200 ribu orang pelajar dan mahasiswa mancanegara yang memberi kontribusi positif bagi perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dan perekonomian negeri jiran ini.

Seperti pengalaman negara-negara maju, kehadiran para pelajar dan mahasiswa asing tersebut tidak hanya terbatas pada pendapatan finansial tetapi juga keterampilan dan pekerjaan.

Tulisan Alejandro Ortiz bersama Li Chang dan Yuanyuan Fang di "University World News" (2015), misalnya, menunjukkan kehadiran pelajar dan mahasiswa internasional di Amerika Serikat menyumbang hampir 27 miliar dolar AS bagi perekonomian AS pada 2014.

Ortiz, Chang dan Fang memperkirakan pengeluaran kelompok kelas menengah dunia untuk produk dan pelayanan pendidikan naik hampir 50 persen dari 6,2 triliun dolar AS pada 2012 menjadi 4,4 triliun dolar AS pada 2017.

Besarnya manfaat yang diperoleh sebuah negara dari kehadiran para pelajar dan mahasiswa internasional itu telah pula dirasakan Indonesia namun pencapaiannya masih sangat jauh dari apa yang telah sejauh ini diraih Malaysia yang pertumbuhan mobilitas pelajar dan mahasiswa asingnya per tahun mencapai lebih dari 16 persen itu.

Merujuk pada apa yang pernah disampaikan Menteri Riset Teknologi Pendidikan Tinggi M Nasir, jumlah mahasiswa internasional yang kuliah di Indonesia kini diperkirakan mencapai 5.700 orang.

Jumlah mereka itu jauh di bawah jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar ke luar negeri yang mencapai hampir 29 ribu orang. Namun ada keinginan Kementerian Ristek Dikti untuk meningkatkan jumlah mahasiswa asing yang kuliah di Indonesia hingga mencapai 20 ribu orang pada 2019.  

Bagi Malaysia, Indonesia masih menjadi salah satu negara tujuan para mahasiswanya yang tertarik menekuni bidang-bidang keilmuan tertentu yang dibutuhkan dalam pembangunan negara. Di antara bidang-bidang keilmuan tersebut adalah pendidikan kedokteran.

Beberapa fakultas kedokteran pun menjadi incaran kalangan mahasiswa Malaysia tersebut, seperti FK Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), FK Universitas Padjadjaran (Bandung), dan FK Universitas Sumatera Utara (Medan).

Untuk mendukung pengembangan program internasionalnya, UGM, misalnya, tidak hanya menyelenggarakan kelas internasional program studi pendidikan dokter tetapi juga bidang studi manajemen, akuntansi dan ekonomi, ilmu hukum, ilmu komputer, ilmu kimia, hubungan internasional dan manajemen kebijakan publik.

Kemenristek Dikti pun terus berupaya mendorong perguruan tinggi negeri dan swasta di Tanah Air meningkatkan kualitas bidang pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakatnya hingga meraih reputasi sebagai universitas berkelas dunia.

Dalam kaitan ini, UGM, Institut Pertanian Bogor dan Universitas Airlangga ditargetkan Kemenristek Dikti masuk daftar 500 besar perguruan tinggi terbaik dunia dalam rentang waktu antara 2016 dan 2019 menyusul keberhasilan Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung.

Guna mendorong perbaikan kinerja ribuan universitas yang ada di Tanah Air, Kemenristek Dikti pun membuat pemeringkatan universitas terbaik Indonesia dengan mendasarkan penilaian pada sejumlah indikator, termasuk mutu kegiatan penelitian dan jumlah publikasi riset yang terindeks Scopus.

Dilihat dari pencapaian riset universitas-universitas Indonesia yang terindeks Scopus, misalnya, agaknya banyak pekerjaan rumah yang harus segera dapat diselesaikan karena pencapaian berbagai perguruan tinggi di Tanah Air masih jauh di bawah universitas-universitas di Malaysia.

Berdasarkan data 50 perguruan tinggi Indonesia paling produktif dalam riset menurut Scopus hingga 1 Agustus 2016 yang dipublikasi Dosen ITB Hendra Gunawan dalam blog personal FMIPA ITB, jumlah publikasi riset Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) mencapai 24.633.

Sementara, jumlah publikasi ITB pada periode yang sama tercatat 6.048, UI (4.810), UGM (3.616), IPB (2.288), ITS (1.775), Universitas Brawijaya (1.245), Undip (1.167), Unpad (1.055), Universitas Hasanuddin (934), dan Unair (887).

Seterusnya, Universitas Bina Nusantara (724), Universitas Andalas (769), Universitas Syah Kuala (673), Universitas Udayana (649), Universitas Sebelas Maret (601), Universitas Telkom (455) dan USU (353).

Menyadari tantangan yang tidak ringan dalam mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain dalam pencapaian publikasi riset yang turut mempengaruhi reputasi sebuah perguruan tinggi di dunia, Kepala UPT Perpustakaan Universitas Diponegoro Wahyu Praptini tidak tinggal diam.

Kepada Antara yang menemuinya di Kampus Undip Tembalang, Senin (10/10), Wahyu Praptini mengatakan pihaknya melakukan sosialisasi dan pelatihan terkait berbagai pelayanan dan bahan pustaka yang dimiliki perpustakaan pusat kepada para dosen dan mahasiswa sehingga terbangun budaya riset dan sikap ilmiah yang kuat di lingkungan Undip.

"Kalau ada permintaan supaya kita mengajarkan tentang bagaimana menggunakan jurnal elektronis dan perangkat anti-plagiarisme (Turnitin), satu orang pun yang minta kita layani," kata kepala perpustakaan kelahiran Kendal 25 Agustus 1963 ini.

Jalan panjang dan berliku membentang di hadapan para pengelola perguruan tinggi di Tanah Air dalam upaya mereka meraih reputasi internasional yang dengannya Indonesia menjadi bagian dari negara tujuan pendidikan tinggi bangsa-bangsa di dunia. (Ant).

Pewarta: Rahmad Nasution

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016