Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan Wolbachia merupakan suatu inovasi teknologi yang ramah dan berkelanjutan untuk melawan penyakit dengue di Indonesia.

“Wolbachia adalah bakteri simbiotik yang dapat ditemukan pada lebih dari 70 persen spesies serangga di dunia, termasuk lalat, lebah, kupu-kupu, dan nyamuk,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi di Jakarta, Kamis.

Imran menjelaskan tujuan Wolbachia hadir adalah untuk mencegah nyamuk jenis Aedes Aegypti mereproduksi Virus Dengue di dalam tubuhnya dan menular ke manusia.

Selain itu teknologi tersebut dihadirkan sebagai pelengkap program pengendalian dengue yang sudah ada seperti Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik (G1R1J) dan Pokjanal Dengue.

Baca juga: Kemenkes: 710 kasus dengue di Indonesia mengawali 2023

Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Kemenkes, kata dia, ternyata nyamuk Aedes Aegypti ber-Wolbachia mempunyai karakteristik genetik yang sama dengan nyamuk Aedes Aegypti lokal. Untungnya Wolbachia yang merupakan bakteri baik ini bisa ditemukan di lingkungan sekitar manusia.

Hal ini dianggap membuka peluang bagi penguatan pengendalian dengue, lewat upaya memperbanyak jumlah nyamuk yang memiliki Wolbachia untuk dikawinkan dengan nyamuk pembawa Virus Dengue.

“Jadi nyamuk-nyamuk ini akan diterbangkan yang Wolbachia-nya, kemudian dikawinkan dengan nyamuk Aedes yang lain (yang membawa virus), sehingga keturunannya nanti tidak bisa lagi menyebarkan dengue ini,” ucapnya.

Baca juga: Peneliti FKUI luncurkan alat deteksi dini DBD

Imran melanjutkan berdasarkan Kepmenkes Nomor 1341 Tahun 2022, Kemenkes akan menggelar pilot project teknologi Wolbachia di lima kota, seperti Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang, dan Bontang.

“Dua minggu lalu sudah kita launching di Semarang,  di Kecamatan Tembalang, kemudian akan bertahap ke kecamatan-kecamatan berikutnya,” kata Imran Pambudi.

Hasil dari penyebaran Wolbachia menunjukkan bahwa teknologi ini terbukti telah menurunkan insiden infeksi dengue 77,1 persen dan angka rawat inap sebesar 82,6 persen.

Dari hasil ini pula, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendukung berjalannya program dan merekomendasikan Wolbachia sebagai salah satu inovasi pengendalian dengue pada tahun 2020.

Hasil itu diperkuat dengan analisis risiko yang dilakukan oleh tim yang dibentuk Kemenristek dan Balitbangkes Kemenkes  tahun 2011 sampai 2016, bila risiko dari teknologi Wolbachia dalam 30 tahun ke depan dapat diabaikan.

Baca juga: Pemkab Bekasi ajak warga turut aktif berantas jentik kendalikan DBD

Wolbachia saat ini juga sudah dijalankan di beberapa negara, seperti Singapura dan Brazil. Brazil bahkan memiliki sebuah pabrik nyamuk dan mampu melakukan ekspansi dalam skala yang lebih besar dibanding Indonesia.

“Dulu sempat ada kekhawatiran apakah akan terjadi mutasi, tapi sebelum melakukan launching Wolbachia ini kita sudah hati-hati. Sejak tahun 2011 kita sudah melakukan kajian bersama para ahli tentunya, sehingga tahun 2016 atau 2017, setelah dilakukan telaah lagi baru kita berani launch di daerah lain selain Yogyakarta,” katanya.

Hanya saja, katanya, pemerintah belum memiliki kapasitas untuk secara serentak menyebarkan Wolbachia di lima kota itu secara langsung. Hal ini ternyata perlu penyiapan yang dilakukan secara bertahap, seperti sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu untuk tidak melakukan fogging yang menyebabkan nyamuk Wolbachia terbang.

Perlu juga, kata dia, dilakukan peningkatan cakupan inovasinya untuk memproduksi telur nyamuk Wolbachia yang saat ini jumlahnya masih terbatas. "Jadi bisa kita simpulkan bahwa Wolbachia itu merupakan teknologi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,” ujarnya.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023