Tidak sedikit publik bertanya bagaimanakomitmen pemerintahan Joko Widodo dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Upaya penyelesaian kasuspelanggaran HAM berat masa lalu di masa pemerintahan Joko Widodo sudah cukup panjang dan berkelanjutan.

Kurang dari dua bulan sejak dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober 2014, Jokowi menemui korban pelanggaran HAM pada peringatan Hari HAM Sedunia 9 Desember 2014 di Yogyakarta, untuk mendengarkan aspirasi korban. Kemudian pada 2015 digagas pembentukan Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran. Pada 2016, digelar simposium nasional tentang peristiwa 1965/1966 dan rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional.

Selanjutnya Mei 2018, Presiden menerima audiensi keluarga korban pelanggaran HAM guna mendengar aspirasi dan harapan korban. Pada tahun yang sama dibentuk Tim Gabungan Terpadu tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Pada awal periode kedua pemerintahan Jokowi tahun 2019, ada pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, setelah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Pada 2021, Jaksa Agung mulai menyidik dugaan pelanggaran HAM di Paniai yang terjadi pada tahun 2014. Pada Sidang Tahunan MPR 16 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo kembali menyinggung penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Menurut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin hal itu membuktikan komitmen Jokowi dalam menuntaskan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak pernah surut.

Berkaca pada pengalaman negara, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ditempuh melalui dua cara, yakni secara yudisial dan non-yudisial.

Secara yudisial, Presiden Jokowi telah menginstruksikan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM melanjutkan proses hukum atas kasus pelanggaran HAM berat, sedangkan secara non-yudisial dilakukan dengan mengedepankan pengungkapan kebenaran, pemulihan hak-hak korban serta keluarga korban, dan jaminan ketidakberulangan tindakan serupa.

Langkah penyelesaian non-yudisial ini sudah dilakukan pemerintahan Joko Widodo dengan membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu atau disebut Tim PPHAM. Selanjutnya, pada Desember 2022, Tim PPHAM menyampaikan laporan dan rekomendasi kepada Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD.

Laporan dan rekomendasi dari Tim Pelaksana PPHAM yang diserahkan terdiri atas 14 kasus, termasuk kasus pelanggaran HAM di Wasior dan Wamena. Kasus pelanggaran HAM di Paniai juga masuk dalam rekomendasi Tim PPHAM.

Kasus Paniai merupakan satu-satunya kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di era Jokowi, tepatnya berlangsung tiga pekan setelah Jokowi menjadi Presiden pada 2014, dan sudah disidangkan dengan perkembangan terakhir terdakwa divonis bebas pada awal Desember 2022. Kasus Paniai dianggap bukan pelanggaran HAM berat. Karena menurut Jaksa Agung, sebagaimana diutarakan Menko Polhukam Mahfud MD pertengahan Desember tahun lalu, tidak ada bukti yang menyatakan kasus itu pelanggaran HAM berat.

Pada 15 Maret 2023, Jokowi menerbitkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, sekaligus Keppres Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat atau Tim Pemantau PPHAM.

Inpres itu menugaskan 19 kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L) selaku Tim Pemantau PPHAM untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM, yakni memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat secara adil dan bijaksana serta mencegah agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi.

Kemenko Polhukam menyatakan kinerja Tim Pemantau PPHAM fokus pada korban pelanggaran HAM berat masa lalu terhadap 12 peristiwa. Hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang bahwa penentuan pelanggaran HAM berat atau bukan adalah kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Komnas HAM sudah merekomendasikan 12 peristiwa masuk dalam pelanggaran HAM berat sejak puluhan tahun lalu, yakni peristiwa era 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari di Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh Tahun 1989, penghilangan orang secara paksa Tahun 1997-1998, dan kerusuhan Mei 1998.

Lalu, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II tahun 1998-1999, pembunuhan dukun santet tahun 1998-1999, Simpang KKA di Aceh tahun 1999, Wasior di Papua tahun 2001-2002, amena di Papua tahun 2003, serta Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.

Tim Pemantau PPHAM terdiri atas tim pengarah dan tim pelaksana yang beranggotakan unsur-unsur pemerintah, tokoh masyarakat, aktivis HAM, akademisi, dan mantan anggota Tim PPHAM yang berjumlah 46 orang, dengan masa tugas sampai 31 Desember 2023. Tim Pengarah Pemantau PPHAM diketuai Menkopolhukam Mahfu MD.

Pemerintah juga akan melakukan peluncuran program penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial yang direncanakan dilaksanakan langsung Presiden Joko Widodo di Aceh ada Juni 2023.

Berdasarkan ulasan upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu, publik dapat melihat dan menilai bagaimana komitmen pemerintahan Joko Widodo sejak awal masa pemerintahannya hingga saat ini, dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023