Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendorong para periset arkeologi dan filologi untuk fokus melakukan berbagai riset guna membantu proses penulisan kebijakan yang dilakukan oleh negara maupun kedeputian lain.

Kepala Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra BRIN Herry Jogaswara mengatakan sebuah kebijakan yang tidak didampingi oleh peneliti membuat kebijakan yang ditulis itu terkesan agar kering karena penulis tidak mendalami apa yang ada di balik sebuah riset.
 
"Saya sudah ada pertemuan dengan deputi maupun direktorat nanti mereka akan gabung dengan riset-riset kita untuk membantu proses penulisan kebijakan," ujarnya dalam diskusi bertajuk Textcavation Integrasi Pendekatan Arkeologi-Filologi dalam Penelitian Sejarah yang dipantau di Jakarta, Selasa.
 
Baca juga: BRIN kembangkan analisis data dan visualisasi keanekaragaman hayati
 
Herry menuturkan bahwa penulis kebijakan mungkin saja hanya membaca laporan riset, tapi mereka tidak bisa merasakan perdebatan, bagaimana konsep dibangun, dan sebagainya.
 
BRIN sedang mempersiapkan sebuah fasilitas laboratorium untuk sesuatu yang sangat vital bagi arkeologi. Beberapa lembaga sudah berkomitmen untuk bergabung dengan fasilitas yang ditargetkan dibangun pada tahun depan.
 
Reformasi BRIN telah menjadikan berbagai organisasi riset berada di bawah satu atap yang sama BRIN guna mempermudah kolaborasi proyek riset.
 
"No one standing alone di dalam dunia riset sekarang. Ilmu dan ilmuwannya harus membuka diri untuk berkolaborasi," kata Herry.
 
Baca juga: Peneliti: PP 7/2023 atur agar teknologi sensitif perlu didaftarkan di BRIN
 
Pada 2017 lalu, Herry bersama enam periset lintas disiplin ilmu pernah melakukan penelitian berjudul Politik Ekonomi Cagar Budaya. Penelitian yang berlangsung selama tiga tahun itu menekuni denyut kehidupan masyarakat sekitar kompleks situs yang berlatar di Banten Lama, Borobudur, dan Trowulan.
 
Dalam riset tersebut, Herry dan enam peneliti lain menemukan ada banyak perkelahian lokal yang berwarna kekerabatan dan politik lokal menjadi pusat perhatian.
 
Ketika datang di Banten Lama, mereka melihat suasana yang sesak dan tidak nyaman.
 
Herry yang saat itu bertubuh gemuk harus menerima perundungan oleh anak-anak. Bahkan, anak-anak memukul pantat Herry hanya karena alasan sepele tidak diberi uang.
 
Baca juga: BRIN tegaskan alat pendeteksi tsunami "InaBuoy" tidak dihentikan
 
Kesemrautan yang terjadi di Banten Lama itu terjadi karena ada pertarungan antara dua orang yang mengaku keturunan sultan. Dua orang itu melegitimasi bahwa mereka adalah keturunan sultan.
 
Gubernur Banten Ratu Atut dan juga wakilnya Rano Karno tidak mampu berhadapan dengan kelompok-kelompok tersebut, belum lagi masuk kelompok dari Surabaya yang juga mengklaim.

"Hari ini dengan adanya integrasi lembaga riset menjadi BRIN, kolaborasi makin tidak terelakkan. No science will be standing alone," pungkas Herry.

Pewarta: Sugiharto Purnama

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023