Di hadapan sekitar 400-an undangan dalam pembukaan Hannover Messe pada 16 April 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan komitmen Indonesia menerapkan ekonomi hijau, antara lain, menetapkan target 23 persen energiberasal dari energi baru terbarukan pada 2025, sedangkan pada 2050 seluruh pembangkit batu bara ditutup.
"We walk the talk, not only talk the talk," kata Presiden dalam pameran teknologi industri tingkat dunia yang digelar tiap musim semi sejak 1947 di Pusat Pameran Hannover, Hannover, Niedersachsen, Jerman.
Presiden Jokowi juga menyebut Indonesia ingin memastikan bahwa transisi energi menghasilkan energi yang terjangkau bagi masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya, butuh investasi, butuh pembiayaan yang sangat besar, setidaknya 1 triliun dolar AS sampai 2060.
Transisi energi sejatinya bukan hanya tentang perubahan penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan, tetapi menyangkut aspek yang jauh lebih kompleks termasuk soal alih teknologi hingga perubahan cara pikir pemanfaatan energi.
Konsumsi batu bara global pun meningkat 5,8 persen selama periode 2020-2021. Pada 2021 di mana ekonomi global mulai berjalan beriringan dengan pandemi COVID-19, konsumsi batu bara tercatat mencapai 7.947 juta ton. Kajian ReforMiner Institute (2022) menunjukkan peningkatan konsumsi batu bara tersebut terutama terjadi di Amerika Utara sebesar 16,1 persen, Eropa 8,6 persen, dan Asia 5,2 persen.
Padahal peningkatan tersebut membuat emisi karbon dioksida dari batu bara pada 2024 diproyeksikan akan mencapai lebih dari 3 giga ton atau lebih tinggi dari target emisi yang ditargetkan.
Sedangkan bentuk energi fosil lain yaitu gas alam sebagai sumber pembangkit listrik global juga masih signifikan yaitu sekitar 22,8 persen. Selama 2011-2020, produksi listrik dari gas tumbuh sekitar 2,5 persen per tahun.
Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan bauran energi primer pada 2025 yang terdiri dari batu bara sebesar 30 persen, energi baru dan terbarukan 23 persen, minyak bumi 25 persen sedangkan gas bumi 22 persen.
Pada kenyataannya, data menunjukkan energi fosil menyediakan 87,26 persen untuk sumber listrik yaitu batu bara (66,03 persen), gas alam (19,01 persen) dan minyak bumi (2,22 persen).
Batu bara juga masih menjadi komoditas energi andalan sebagai pendapatan negara melalui ekspor batu bara dimana sekitar 71 persen dari produksi batu bara diekspor. Data PLN pada 2021 memperlihatkan listrik yang diproduksi dari pembangkit batu bara sudah mencapai 75 persen dari total listrik yang diproduksi.
Tantangan
Sesungguhnya, transisi energi bukanlah hal mudah. Dalam S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition oada 17 Maret 2023, Presiden Jokowi juga sudah menyampaikan ada tiga tantangan besar dalam transisi energi.
Pertama, terkait dengan akses energi bersih karena tidak semua warga dunia memiliki akses pada energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern khususnya energi untuk elektrifikasi dan "clean cooking".
Tantangan kedua, terkait dengan masalah pendanaan. Proses transisi membutuhkan dana yang sangat besar, transisi energi membutuhkan proyek-proyek baru, artinya juga dibutuhkan investasi yang baru. Karena itu, dibutuhkan eksplorasi mekanisme pembiayaan yang tepat agar tercipta keekonomian, harga yang kompetitif, dan tidak membebani masyarakat.
Tantangan ketiga adalah dukungan riset dan teknologi untuk menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih kompetitif sehingga bisa menurunkan biaya dan meningkatkan nilai tambah pada produk industri energi baru terbarukan sekaligus tersedianya SDM yang unggul untuk mendukung transisi energi.
Indonesia sesungguhnya sudah mengikatkan perjanjian dalam Just Energy Transition Partnership (JETP). JETP adalah skema pendanaan transisi energi yang diluncurkan Presiden AS JOe Biden dan para pemimpin negara International Partners Group (IPG) dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022.
Komitmen pendanaan JETP mencapai 20 miliar dollar AS atau Rp314 triliun dengan pembagian 10 miliar dolar AS dari Amerika Serikat dan Jepang sedangkan sisanya swasta dalam waktu 3-5 tahun dalam bentuk hibah, pinjaman lunak, pinjaman tarif pasar, guarantees dan pendanaan swasta.
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dana JETP bisa dipakai untuk pengembangan energi bersih, percepatan pensiun dini PLTU batu bara, program peningkatan efisiensi energi serta pengembangan industri pendukung EBT.
Namun Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan publik harus melihat dana JETP dengan kritis. "Banyak orang tertarik dan saya juga menaruh harapan, tapi harus dilihat secara kritis karena masih banyak 'loophole'," kata Leonard dalam program ICJN.
Dengan transisi energi, maka dengan sendirinya juga akan menciptakan lapangan pekerjaan baru hijau (green jobs). Di tingkat global, transisi ini diperkirakan menciptakan 395 juta lapangan pekerjaan hingga 2030.
Sektor yang paling potensial adalah pertanian, pariwisata, dan energi. Khusus sektor energi, realisasi pekerjaan baru di bidang energi terbarukan menyerap 12 juta tenaga kerja pada 2020. Proyeksi sampai 2050 mendatang diperkirakan menyerap 43 juta tenaga kerja.
Sudah sewajarnya setiap pihak berkolaborasi untuk mencapai target transisi energi.
Baca juga: China mampu turunkan emisi karbon 310 juta ton selama 2022 dengan manfaatkan nuklir
Baca juga: Babak baru transformasi kebijakan ekonomi pemerintah
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
"We walk the talk, not only talk the talk," kata Presiden dalam pameran teknologi industri tingkat dunia yang digelar tiap musim semi sejak 1947 di Pusat Pameran Hannover, Hannover, Niedersachsen, Jerman.
Presiden Jokowi juga menyebut Indonesia ingin memastikan bahwa transisi energi menghasilkan energi yang terjangkau bagi masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya, butuh investasi, butuh pembiayaan yang sangat besar, setidaknya 1 triliun dolar AS sampai 2060.
Transisi energi sejatinya bukan hanya tentang perubahan penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan, tetapi menyangkut aspek yang jauh lebih kompleks termasuk soal alih teknologi hingga perubahan cara pikir pemanfaatan energi.
Konsumsi batu bara global pun meningkat 5,8 persen selama periode 2020-2021. Pada 2021 di mana ekonomi global mulai berjalan beriringan dengan pandemi COVID-19, konsumsi batu bara tercatat mencapai 7.947 juta ton. Kajian ReforMiner Institute (2022) menunjukkan peningkatan konsumsi batu bara tersebut terutama terjadi di Amerika Utara sebesar 16,1 persen, Eropa 8,6 persen, dan Asia 5,2 persen.
Padahal peningkatan tersebut membuat emisi karbon dioksida dari batu bara pada 2024 diproyeksikan akan mencapai lebih dari 3 giga ton atau lebih tinggi dari target emisi yang ditargetkan.
Sedangkan bentuk energi fosil lain yaitu gas alam sebagai sumber pembangkit listrik global juga masih signifikan yaitu sekitar 22,8 persen. Selama 2011-2020, produksi listrik dari gas tumbuh sekitar 2,5 persen per tahun.
Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan bauran energi primer pada 2025 yang terdiri dari batu bara sebesar 30 persen, energi baru dan terbarukan 23 persen, minyak bumi 25 persen sedangkan gas bumi 22 persen.
Pada kenyataannya, data menunjukkan energi fosil menyediakan 87,26 persen untuk sumber listrik yaitu batu bara (66,03 persen), gas alam (19,01 persen) dan minyak bumi (2,22 persen).
Batu bara juga masih menjadi komoditas energi andalan sebagai pendapatan negara melalui ekspor batu bara dimana sekitar 71 persen dari produksi batu bara diekspor. Data PLN pada 2021 memperlihatkan listrik yang diproduksi dari pembangkit batu bara sudah mencapai 75 persen dari total listrik yang diproduksi.
Tantangan
Sesungguhnya, transisi energi bukanlah hal mudah. Dalam S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition oada 17 Maret 2023, Presiden Jokowi juga sudah menyampaikan ada tiga tantangan besar dalam transisi energi.
Pertama, terkait dengan akses energi bersih karena tidak semua warga dunia memiliki akses pada energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern khususnya energi untuk elektrifikasi dan "clean cooking".
Tantangan kedua, terkait dengan masalah pendanaan. Proses transisi membutuhkan dana yang sangat besar, transisi energi membutuhkan proyek-proyek baru, artinya juga dibutuhkan investasi yang baru. Karena itu, dibutuhkan eksplorasi mekanisme pembiayaan yang tepat agar tercipta keekonomian, harga yang kompetitif, dan tidak membebani masyarakat.
Tantangan ketiga adalah dukungan riset dan teknologi untuk menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih kompetitif sehingga bisa menurunkan biaya dan meningkatkan nilai tambah pada produk industri energi baru terbarukan sekaligus tersedianya SDM yang unggul untuk mendukung transisi energi.
Indonesia sesungguhnya sudah mengikatkan perjanjian dalam Just Energy Transition Partnership (JETP). JETP adalah skema pendanaan transisi energi yang diluncurkan Presiden AS JOe Biden dan para pemimpin negara International Partners Group (IPG) dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022.
Komitmen pendanaan JETP mencapai 20 miliar dollar AS atau Rp314 triliun dengan pembagian 10 miliar dolar AS dari Amerika Serikat dan Jepang sedangkan sisanya swasta dalam waktu 3-5 tahun dalam bentuk hibah, pinjaman lunak, pinjaman tarif pasar, guarantees dan pendanaan swasta.
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dana JETP bisa dipakai untuk pengembangan energi bersih, percepatan pensiun dini PLTU batu bara, program peningkatan efisiensi energi serta pengembangan industri pendukung EBT.
Namun Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan publik harus melihat dana JETP dengan kritis. "Banyak orang tertarik dan saya juga menaruh harapan, tapi harus dilihat secara kritis karena masih banyak 'loophole'," kata Leonard dalam program ICJN.
Dengan transisi energi, maka dengan sendirinya juga akan menciptakan lapangan pekerjaan baru hijau (green jobs). Di tingkat global, transisi ini diperkirakan menciptakan 395 juta lapangan pekerjaan hingga 2030.
Sektor yang paling potensial adalah pertanian, pariwisata, dan energi. Khusus sektor energi, realisasi pekerjaan baru di bidang energi terbarukan menyerap 12 juta tenaga kerja pada 2020. Proyeksi sampai 2050 mendatang diperkirakan menyerap 43 juta tenaga kerja.
Sudah sewajarnya setiap pihak berkolaborasi untuk mencapai target transisi energi.
Baca juga: China mampu turunkan emisi karbon 310 juta ton selama 2022 dengan manfaatkan nuklir
Baca juga: Babak baru transformasi kebijakan ekonomi pemerintah
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023