Perth (Antara Megapolitan) - Malam budaya dan pariwisata Papua yang digelar Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) untuk Australia Barat, Minggu, berhasil menyedot minat lebih dari 300 penonton yang terdiri atas warga Indonesia dan Australia.
Acara yang diselenggarakan di Gedung Victoria Hall, 179 High Street, Fremantle, dimulai pukul 16.30 waktu setempat atau 15.30 WIB. Beberapa tarian bernuansa Papua oleh tim penari Jatayu Productions dan Selendang Sutera, menyemarakkan acara tersebut. Para pengunjung tenggelam dalam suasana yang mendekatkan Australia dengan Papua.
Dalam pidatonya, Konsul Jenderal RI di Perth, Ade Padmo Sarwono, memaparkan malam budaya dan pariwisata Papua--yang baru pertama kali digelar di Australia Barat dan turut didukung oleh Balai Bahasa Indonesia Perth--diisi dengan pemutaran dua klip video dan puncaknya adalah konser kelompok musik asal Papua, Pacenogei.
Klip video pertama menampilkan Raja Ampat sebagai destinasi wisata unggulan di Provinsi Papua, yang amat kesohor dengan wisata air menyelam karena memiliki kekayaan biota yang sangat tinggi.
Dalam video liputan "Today Tonight" televisi Australia, disebutkan bahwa Raja Ampat adalah tujuan wisata menyelam yang sangat patut untuk dikunjungi turis Australia meskipun lokasinya sangat terpencil. Untuk mencapai ke Raja Ampat, penerbangan dari Perth ke Denpasar harus dilanjutkan dengan penerbangan Denpasar-Sorong. Dari Kota Sorong, wisatawan menumpang kapal feri selama 2,5 jam untuk tiba di gugusan lebih dari 1,500 pulau Kabupaten Raja Ampat.
Dengan 70 persen jenis koral laut dunia berada di perairan Raja Ampat, untuk melihat keindahan bawah laut di tempat ini terkadang tidak perlu repot membawa tabung oksigen, cukup dengan masker dan snorkel.
Di video kedua muncul penggalan-penggalan ekspedisi pasangan sineas Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen (Alenia) yang berjudul "Alenia Journey: Uncover Papua". Perjalangan total selama 160 hari menelusuri Papua, melintasi kawasan pegunungan di bagian tengah, pesisir selatan dan utara, menunjukkan keaslian budaya dan potensi pariwisata Papua.
"Saya sangat tersentuh akan ketulusan dan toleransi yang sangat tinggi di Papua," ujar Nia Zulkarnaen yang hadir ke panggung bersama suaminya, Ari Sihasale, menjawab pertanyaan dari hadirin.
Menurut Nia, yang hadir dengan balutan gaun panjang dan rambut yang terurai cantik, Papua sangat aman dan indah tidak seperti yang diberitakan di media massa.
Suatu ketika saat mobil ekspedisi mereka terjerembab di bawah hujan nan deras, sepasang suami istri berusia lanjut menawarkan rumah mereka sebagai tempat beristirahat, tim Alenia--yang terdiri atas 13 orang termasuk Nia sebagai satu-satunya perempuan--disuguhi air hangat dan hidangan sederhana.
"Pernah juga kami bermalam di rumah penduduk yang bisa dilihat tidak memiliki kelebihan secara ekonomi, tapi anak mereka keluar dari dapur membawakan ubi rebus untuk kami santap. Kami dipinjami selimut bila terpaksa bermalam di rumah penduduk," ujarnya.
Di Papua, mereka tidak menanyakan apa agama kami, dari mana kami datang. Mereka sangat menerima," tambah artis yang tampak terharu saat mengenang balik pengalaman menjelajah Papua.
Selain alamnya yang cantik dan penduduknya yang tulus membantu, Nia menegaskan bahwa selama ekspedisi tim Alenia tidak pernah sehari pun perlu dikawal polisi atau tentara.
Ketika salah satu penonton bertanya tentang akses bagi warga negara asing masuk ke Papua, Ari Sihasale menjawab kebijakan Presiden Joko Widodo yang membuka Papua buat semua orang memungkinkan untuk warga negara asing datang ke Papua tanpa harus mengantongi izin khusus seperti dulu.
Sembari berkelakar Ari menyarankan agar warga Australia yang tertarik ke Papua segera mendatangi kantor KJRI di Perth.
"Datanglah ke Papua dan jangan lupa bawa uang yang banyak," tambah Nia yang diiringi dengan burai tawa kecil dari hadirin.
Berwisata ke Papua memang membutuhkan rogohan kocek yang lebih dalam, hal ini terkait dengan biaya transportasi yang masih terbilang sangat mahal dan akses darat yang belum bisa begitu diandalkan.
Malam Papua di Fremantle menjadi jendela informasi yang sangat penting untuk mengimbangi derasnya berita-berita di media yang terkadang membuat kesan provinsi di bagian timur Indonesia itu tidak aman.
Seorang warga Papua yang sedang menemani istrinya berkuliah di Universitas Australia Barat (UWA) mengaku senang bila KJRI Perth menggelar ajang promosi seperti ini, "sebab Papua itu indah, ramah, dan aman," tukasnya.
Ada pula Kevin dan Marsel, dua mahasiswa asal Papua yang sedang menempuh pendidikan S1 di Universitas Curtin, yang menilai malam budaya Papua adalah terobosan yang patut dilakukan secara rutin pada tahun-tahun mendatang.
"Lebih bagus lagi bila mendatangkan penari-penari dan artis asli Papua untuk menunjukkan budaya asli Papua," kata Kevin yang berkuliah di Perth dengan beasiswa Pemerintah Provinsi Papua.
"Semoga dengan promosi Papua sebagai tujuan wisata, harga tiket ke sana bisa turun," ujar Kevin yang bercerita bulan Juli lalu harga tiket ke Papua melonjak sangat tinggi tanpa ia ketahui persis faktor pemicunya.
Sebagai acara pamungkas, Pacenogei membawakan 7 lagu dari album perdana mereka dengan dialek khas Papua. Lagu "Ini Papua" menggambarkan alam Papua yang indah dan kaya, sementara "Su Tralu Lama" berhasil membuat penonton tergugah meresapi kisah putus cinta berkat lirik berbahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang ditampilkan di layar besar di panggung.
Hentakan lagu-lagu lainnya juga sukses mengajak penonton berdansa, larut dalam kerancakan irama musik Papua.
"Balai Bahasa Indonesia Perth menjual CD Pacenogei, dan semua hasil penjualan akan diberikan semuanya ke program pendidikan dan kesehatan di Papua," ujar Michael, salah satu penyanyi yang tergabung dalam trio Pacenogei--yang berarti "kawan baik" dalam Bahasa Indonesia.
Malam budaya dan pariwisata Papua berlangsung sangat sukses dan semarak dengan total pengunjung melampaui perkiraan panitia yang mempersiapkan santap malam hanya untuk 250 orang, demikian kata Konsul Informasi dan Sosial Budaya KJRI Perth, Widya Sinedu. (Ant).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016
Acara yang diselenggarakan di Gedung Victoria Hall, 179 High Street, Fremantle, dimulai pukul 16.30 waktu setempat atau 15.30 WIB. Beberapa tarian bernuansa Papua oleh tim penari Jatayu Productions dan Selendang Sutera, menyemarakkan acara tersebut. Para pengunjung tenggelam dalam suasana yang mendekatkan Australia dengan Papua.
Dalam pidatonya, Konsul Jenderal RI di Perth, Ade Padmo Sarwono, memaparkan malam budaya dan pariwisata Papua--yang baru pertama kali digelar di Australia Barat dan turut didukung oleh Balai Bahasa Indonesia Perth--diisi dengan pemutaran dua klip video dan puncaknya adalah konser kelompok musik asal Papua, Pacenogei.
Klip video pertama menampilkan Raja Ampat sebagai destinasi wisata unggulan di Provinsi Papua, yang amat kesohor dengan wisata air menyelam karena memiliki kekayaan biota yang sangat tinggi.
Dalam video liputan "Today Tonight" televisi Australia, disebutkan bahwa Raja Ampat adalah tujuan wisata menyelam yang sangat patut untuk dikunjungi turis Australia meskipun lokasinya sangat terpencil. Untuk mencapai ke Raja Ampat, penerbangan dari Perth ke Denpasar harus dilanjutkan dengan penerbangan Denpasar-Sorong. Dari Kota Sorong, wisatawan menumpang kapal feri selama 2,5 jam untuk tiba di gugusan lebih dari 1,500 pulau Kabupaten Raja Ampat.
Dengan 70 persen jenis koral laut dunia berada di perairan Raja Ampat, untuk melihat keindahan bawah laut di tempat ini terkadang tidak perlu repot membawa tabung oksigen, cukup dengan masker dan snorkel.
Di video kedua muncul penggalan-penggalan ekspedisi pasangan sineas Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen (Alenia) yang berjudul "Alenia Journey: Uncover Papua". Perjalangan total selama 160 hari menelusuri Papua, melintasi kawasan pegunungan di bagian tengah, pesisir selatan dan utara, menunjukkan keaslian budaya dan potensi pariwisata Papua.
"Saya sangat tersentuh akan ketulusan dan toleransi yang sangat tinggi di Papua," ujar Nia Zulkarnaen yang hadir ke panggung bersama suaminya, Ari Sihasale, menjawab pertanyaan dari hadirin.
Menurut Nia, yang hadir dengan balutan gaun panjang dan rambut yang terurai cantik, Papua sangat aman dan indah tidak seperti yang diberitakan di media massa.
Suatu ketika saat mobil ekspedisi mereka terjerembab di bawah hujan nan deras, sepasang suami istri berusia lanjut menawarkan rumah mereka sebagai tempat beristirahat, tim Alenia--yang terdiri atas 13 orang termasuk Nia sebagai satu-satunya perempuan--disuguhi air hangat dan hidangan sederhana.
"Pernah juga kami bermalam di rumah penduduk yang bisa dilihat tidak memiliki kelebihan secara ekonomi, tapi anak mereka keluar dari dapur membawakan ubi rebus untuk kami santap. Kami dipinjami selimut bila terpaksa bermalam di rumah penduduk," ujarnya.
Di Papua, mereka tidak menanyakan apa agama kami, dari mana kami datang. Mereka sangat menerima," tambah artis yang tampak terharu saat mengenang balik pengalaman menjelajah Papua.
Selain alamnya yang cantik dan penduduknya yang tulus membantu, Nia menegaskan bahwa selama ekspedisi tim Alenia tidak pernah sehari pun perlu dikawal polisi atau tentara.
Ketika salah satu penonton bertanya tentang akses bagi warga negara asing masuk ke Papua, Ari Sihasale menjawab kebijakan Presiden Joko Widodo yang membuka Papua buat semua orang memungkinkan untuk warga negara asing datang ke Papua tanpa harus mengantongi izin khusus seperti dulu.
Sembari berkelakar Ari menyarankan agar warga Australia yang tertarik ke Papua segera mendatangi kantor KJRI di Perth.
"Datanglah ke Papua dan jangan lupa bawa uang yang banyak," tambah Nia yang diiringi dengan burai tawa kecil dari hadirin.
Berwisata ke Papua memang membutuhkan rogohan kocek yang lebih dalam, hal ini terkait dengan biaya transportasi yang masih terbilang sangat mahal dan akses darat yang belum bisa begitu diandalkan.
Malam Papua di Fremantle menjadi jendela informasi yang sangat penting untuk mengimbangi derasnya berita-berita di media yang terkadang membuat kesan provinsi di bagian timur Indonesia itu tidak aman.
Seorang warga Papua yang sedang menemani istrinya berkuliah di Universitas Australia Barat (UWA) mengaku senang bila KJRI Perth menggelar ajang promosi seperti ini, "sebab Papua itu indah, ramah, dan aman," tukasnya.
Ada pula Kevin dan Marsel, dua mahasiswa asal Papua yang sedang menempuh pendidikan S1 di Universitas Curtin, yang menilai malam budaya Papua adalah terobosan yang patut dilakukan secara rutin pada tahun-tahun mendatang.
"Lebih bagus lagi bila mendatangkan penari-penari dan artis asli Papua untuk menunjukkan budaya asli Papua," kata Kevin yang berkuliah di Perth dengan beasiswa Pemerintah Provinsi Papua.
"Semoga dengan promosi Papua sebagai tujuan wisata, harga tiket ke sana bisa turun," ujar Kevin yang bercerita bulan Juli lalu harga tiket ke Papua melonjak sangat tinggi tanpa ia ketahui persis faktor pemicunya.
Sebagai acara pamungkas, Pacenogei membawakan 7 lagu dari album perdana mereka dengan dialek khas Papua. Lagu "Ini Papua" menggambarkan alam Papua yang indah dan kaya, sementara "Su Tralu Lama" berhasil membuat penonton tergugah meresapi kisah putus cinta berkat lirik berbahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang ditampilkan di layar besar di panggung.
Hentakan lagu-lagu lainnya juga sukses mengajak penonton berdansa, larut dalam kerancakan irama musik Papua.
"Balai Bahasa Indonesia Perth menjual CD Pacenogei, dan semua hasil penjualan akan diberikan semuanya ke program pendidikan dan kesehatan di Papua," ujar Michael, salah satu penyanyi yang tergabung dalam trio Pacenogei--yang berarti "kawan baik" dalam Bahasa Indonesia.
Malam budaya dan pariwisata Papua berlangsung sangat sukses dan semarak dengan total pengunjung melampaui perkiraan panitia yang mempersiapkan santap malam hanya untuk 250 orang, demikian kata Konsul Informasi dan Sosial Budaya KJRI Perth, Widya Sinedu. (Ant).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016